Arina.id — Sejak tayang di bioskop pada 8 Mei 2024, film Vina: Sebelum 7 Hari, ramai diperbincangkan di media sosial, khususnya TikTok dan X, lantaran menampilkan kasus pemerkosaan sungguhan secara eksplisit dan horor. Sutradara Anggy Umbara memilih horor sebagai genre yang tepat untuk film tersebut karena diambil dalam kisah nyata, titik terbesar dalam pengungkapan kejahatan itu dari kejadian supranatural dan ada rekamannya.
Film horor Indonesia banyak berasal dari urban legend atau mitos yang diturunkan secara turun temurun. Dalam kasus Vina unsur itu dimunculkan karena konon ada seorang teman dekat yang tiba-tiba kesurupan dan memberikan informasi bahwa Vina dan pacarnya dibunuh.
Anggy sendiri berdalih membuat film tersebut untuk meningkatkan kesadaran akan kasus tersebut, agar tidak ada lagi ‘Vina-Vina berikutnya’. Tapi, bagaimana etika menonton Vina sebelum 7 hari? Terlebih film tersebut menggunakan kasus nyata pemerkosaan dan femisida tanpa menyamarkan identitas korban.
Film Vina sebelum 7 Hari (2024) merekam kejadian pemerkosaan dan pembunuhan terhadap seorang perempuan berusia 16 tahun di sebuah jembatan layang di Kecamatan Talun, Cirebon, pada 2016 silam.
Film ini diperankan oleh Nayla Purnama (Vina) dan Yusuf Mahardika (Eky) yang menjadi korban dari kebrutalan geng motor. Sayangnya, dari 11 pelaku hanya 8 yang diadili dan divonis hukuman oleh pihak kepolisian. Tiga lainnya masih dalam daftar pencarian orang.
Film ini banyak menyoroti pertemuan Vina dan Egi (Fahad Haydra). Egi adalah anggota geng motor yang diduga menjadi pelaku utama dari pemerkosaan dan pembunuhan Vina dan kekasihnya. Dilatari rasa cemburu akibat cintanya ditolak Egi pun balas dendam.
Keluarga mulanya tak mengetahui kronologis pembunuhan, pihak kepolisian mengonfirmasi bahwa itu murni kecelakaan, kasus tersebut baru diproses usai keluarga mendapatkan bukti melalui suara rekaman Linda — teman Vina yang kesurupan kepada pihak berwajib. 8 tahun berlalu pelaku utama belum berhasil diadili.
Film ini mendorong proses hukum terhadap pelaku yang belum ditemukan, di sisi lain film ini abai terhadap dampak trauma kekerasan seksual bagi penonton. Adegan tersebut juga malah memicu persepsi seksual dari kelompok penonton yang lain.
Filmmaker dan kritikus film Nosa Normanda menilai film itu secara etika keliru karena tidak berperspektif korban. Di sisi lain, terang Nosa, memang tidak ada pelanggaran yang jelas dan mengikat secara regulasi. Makanya, film ‘Vina’ pada akhirnya tetap lulus sensor dan justru makin banyak ditonton orang.
Selain itu, Nosa melihat bahwa kemunculan film tersebut juga sebetulnya membawa kompas moral masyarakat ke permukaan. Kita jadi menyadari seberapa darurat moral masyarakat saat dihadapkan dengan kasus kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender (KBG).
“Terus terang, aku rasa antagonis film jenis kayak gini kita butuhkan di dunia ini untuk kita tahu bahwa kita punya masalah. Kita nggak tahu dan nggak sadar kalau masalah itu masih di situ.”
Ia melanjutkan, penting untuk menyorot bahaya kehadiran film-film seperti ini. Selain berdampak pada moral penonton dan reviktimisasi korban kekerasan seksual, film seperti itu juga dapat merugikan para pembuat film lainnya. “Yang mesti berhadapan dengan undang-undang nantinya, yang lagi dibikin terus,” katanya.
“Penting buat kita lihat ada bolong-bolong di sistem kita. Dan makna-makna utamanya adalah kita jadi evaluasi,” kata Nosa.
Pengajar Program Produksi Film insCinema, Anton Magasaki mengatakan film semacam itu bisa memunculkan kesadaran tentang masalah sosial yang serius dan mendidik penonton tentang pentingnya menghindari kekerasan. Namun, di sisi lain, mereka juga bisa memicu kontroversi dan perdebatan moral, serta memicu reaksi traumatis bagi beberapa penonton yang telah mengalami kekerasan serupa dalam kehidupan nyata.
Film yang menceritakan kehidupan supranatural dan kekerasan bisa memiliki dampak yang beragam pada para penonton. Di satu sisi, film semacam itu dapat memberikan hiburan dan pengalaman fantasi yang mendebarkan bagi penonton yang menikmati genre tersebut.
Namun, tergantung pada tingkat kekerasan dan cara penyajiannya, film tersebut juga bisa memicu ketakutan atau kecemasan pada sebagian penonton, terutama anak-anak atau orang yang mudah terpengaruh.
“Penting bagi pembuat film untuk mempertimbangkan bagaimana kekerasan dipresentasikan agar tidak memicu trauma atau efek negatif pada penontonnya,” kata Anton.
Menurt Anton, adegan dalam film yang tidak disensor bisa menjadi kontroversial. Penting untuk mempertimbangkan dampaknya terhadap penonton, terutama yang rentan terhadap pengaruh visual seperti anak-anak dan remaja.
Sebagai gantinya, kata dia, film bisa menggambarkan kekerasan dengan cara yang lebih halus atau mempertimbangkan alternatif naratif untuk menyampaikan pesan yang sama tanpa mengandalkan kekerasan yang eksplisit.
Meski aturan dan regulasi terkait penayangan adegan kekerasan dan konten sensitif dalam industri perfilman Indonesia sudah diatur oleh Lembaga Sensor Film (LSF). Beberapa aturan umum meliputi usia, sensor konten, dan pemotongan adegan.
Penayangan film biasanya diklasifikasikan berdasarkan usia penonton, seperti "Semua Umur" (SU), "Remaja" (R), "Dewasa" (D), dan sebagainya.
LSF juga melakukan sensor terhadap konten-konten yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai moral dan budaya Indonesia, termasuk adegan kekerasan, seksual, atau konten yang dianggap melecehkan agama, suku, atau golongan tertentu.
“Jika sebuah film dianggap melanggar aturan atau terlalu eksplisit dalam kontennya, LSF dapat memerintahkan pemotongan adegan atau dialog tertentu sebelum film tersebut bisa ditayangkan,” terang Anton.
Beberapa film mungkin memerlukan peringatan khusus sebelum penayangannya untuk memberi tahu penonton tentang konten yang mungkin mengganggu atau sensitif. Regulasi ini, kata Anton, bertujuan untuk menjaga moralitas dan keamanan penonton serta memastikan bahwa konten yang disajikan sesuai dengan norma-norma yang berlaku di Indonesia.
Kemudian terkait penggunaan materi rekaman suara kesurupan dalam film horor dapat meningkatkan ketegangan dan menciptakan atmosfir yang mencekam bagi penonton. Namun, pembuat film perlu mempertimbangkan sensitivitas budaya dan agama terkait dengan topik tersebut, serta memastikan penggunaannya tidak merendahkan atau menyinggung pihak-pihak tertentu.
“Batasan yang jelas harus diterapkan untuk menghindari penyalahgunaan atau penyalahgunaan potensi traumatis bagi penonton,” kata Anton.
Anton mengatakan membuat film yang mengangkat kisah nyata membutuhkan perhatian khusus terhadap beberapa hal. Pertama, penelitian yang mendalam. Dalam hal ini melakukan riset menyeluruh tentang kisah dan tokoh yang akan diangkat dalam film untuk memastikan keakuratan dan keautentikan cerita.
Kedua, kepatuhan norma hukum. Pastikan untuk mematuhi hukum terkait hak cipta, privasi, dan semua peraturan terkait ketika mengangkat kisah nyata.
Ketiga, menghormati narasi asli. Meskipun bisa ada beberapa penyesuaian dramatis, penting untuk tetap menghormati inti cerita dan pengalaman asli orang-orang yang terlibat.
Keempat, kualitas produksi. Film yang baik membutuhkan produksi berkualitas tinggi, termasuk penggunaan lokasi yang sesuai dan pemilihan pemeran yang tepat untuk menghidupkan kembali karakter-karakter dalam kisah nyata.
Kelima, konsultasi dengan pihak terkait. Melibatkan orang-orang yang terlibat dalam kisah nyata, seperti keluarga atau tokoh utama, bisa membantu memastikan bahwa cerita disampaikan dengan sensitif dan akurat.
Keenam, pesan yang jelas. Tentukan pesan atau tujuan film dengan jelas agar dapat menyampaikan makna yang tepat kepada penonton. Keenam, kepekaan terhadap sensitivitas.
“Perhatikan sensitivitas budaya, etika, dan nilai-nilai sosial yang terlibat dalam kisah nyata yang diangkat,” jelasnya.
Ketujuh, pemasaran dan distribusi. Setelah film selesai, strategi pemasaran dan distribusi yang tepat akan membantu memastikan bahwa cerita tersebut dapat diakses oleh khalayak yang tepat.