Industri film tanah air sedang tumbuh pesat. Bintang-bintang baru tengah bersinar, sutradara-sutradara muda pun berkibar, di samping para sineas lama yang masih bertahan. Sektor ekonomi kreatif ini memberikan eksistensi dan ruang ekspresi bagi para pelaku di dalamnya, seperti: penulis skenario, penata artistik, penata kostum, juga editor, skoring musik dan sound designer. Bagusnya, para pelaku ini didominasi para kreator dsn seniman muda.
Dari beragam genre, tema horor merupakan salah satu yang paling digandrungi penikmat film tanah air. Uniknya, dari sekian judul film horor yang beredar, horor bernuansa atau berlatar Jawa begitu mendominasi. Sebutlah judul Tembang Lingsir, Mangku Jiwo, Primbon, Sewu Dino, Panggonan Wingit, dan sejenisnya.
Tren sinema horor masa kini tampaknya ingin meneruskan semangat film horor jadul yang sukses besar yang mengorbitkan bintang fenomenal Suzzana. Film-film horor yang rilis masa itu juga sangat kental dengan dengan mitos Jawa, seperti Malam Jumat Kliwon, Malam Satu Suro, Kuntilanak, Beranak dalam Kubur, dan sejenisnya.
Jika pun tak memasang judul yang Njawani nyatanya konten film tetaplah kental dengan mitos dan simbol-simbol Jawa. Sebutlah film fenomenal KKN di Desa Penari yang menceritakan kutukan penari lengger yang menimpa sejumlah mahasiswa KKN di desa terpencil. Ada pula film Jagat Arwah yang menghadirkan unsur kejawen verbal, mengisahkan anak muda yang ingin mencari tahu lebih dalam tentang mistis.
Sementara film Inang berkisah tradisi Rabu Wekasan yang menceritakan ada seorang ibu hamil yang akan ditumbalkan oleh keluarga psikopat. Rabu Wekasan atau Rebo Wekasan dalam mitologi Jawa adalah Hari Rabu terakhir di bulan Safar, diyakini sebagai hari sial, atau menjadi hari turunnya bala bencana di bumi.
Budaya Jawa begitu menyimpan sakralitas dan misteri. Segala yang berbau Jawa dianggap sakral, keramat, punya wibawa dan daya magi. Kondisi seperti itulah yang sering ditampilkan dalam film-film horor kontemporer Indonesia. Didukung kecanggihan teknologi digital, para sineas –yang rata-rata berusia muda— mencoba mengetengahkan budaya Jawa sebagai pusat penceritaan dalam film garapannya. Dengan percaya diri, mereka memasukkan unsur-unsur seni, budaya dan tradisi Jawa melalui tembang-tembang, tari-tarian, lelaku, perlambang serta pernak-pernik yang kerap menghiasi dan melatarinya.
Salah kaprah
Sayangnya, entah karena kurangnya literasi, riset, atau setingan produser, tak sedikit sineas yang gegabah menyisipkan karya tembang, tari-tarian, atau simbol-simbol Jawa ke dalam film. Ada kerancuan dalam memaknai budaya Jawa seutuhnya, sehingga para penikmat film yang didominasi generasi masa kini banyak yang menelan mentah-mentah. Akibatnya, timbullah salah kaprah. Misalnya lagu Lingsir Wengi yang diidentikkan dengan tembang untuk mengundang arwah atau Kuntilanak.
Padahal lagu Lingsir Wengi sama sekali bukan lagu pengundang Kuntilanak. Lingsir Wengi atau dikenal juga Kidung Rumekso ing Wengi karya Sunan Kalijaga justru merupakan gita penjaga malam, penangkal dari segala mara bahaya. Film Tembang Lingsir (2019) ikut menjelaskan lebih rinci makna di dalamnya. Tidak hanya menceritakan lagu yang dipercaya mampu memanggil hantu.
Di Yogyakarta, Arina meminta komentar seorang mahasiswa dari Universitas Gajah Mada (UGM), Diandra Rizqy Yodatama, perihal simbolisme Jawa dalam film horor di Indonesia. Andra (21 tahun) adalah mahasiswa FMIPA Elins (Elektronika dan Instrumentasi) semester 6 yang juga sedang menekuni produksi musik digital. Menurutnya, meski jarang nonton film horor, tapi dia tahu bahwa lagu Lingsir Wengi identik dengan lagu pengundang sosok Kuntilanak.
"Lagu Jawa terutama yang diiringi gamelan dalam film itu kesannya gelap, dingin, terus bikin nggak nyaman, karena interval nada yang dipakai," komentar Andra.
Adapun menurut Nida Khofifatun Ahya, mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), penggunaan simbol-simbol Jawa dalam sinema horor tanah air banyak yang kurang tepat.
"Menurut saya budaya Jawa itu sangat luhur. Kalau semisal dikemasnya dengan film horor nanti jadi berkembang mitos-mitos yang keliru dalam masyarakat," timpal Nida. "Tapi juga nggak salah sih, kalau semisal tokoh dalam film memakai atribut kejawen karena latar atau settingnya mengharuskan demikian."
Horor Jawa lebih sakral
Unsur-unsur budaya Jawa yang secara sosiologis termanifestasi dalam bahasa, tembang, tarian, kepercayaan, nilai, dan artefak budaya sering digunakan sebagai latar dalam struktur naratif film. Dalam sinema horor Indonesia kontemporer, unsur budaya lokal kental digunakan namun seringkali tidak dilihat sebagai bagian penting dari sebuah narasi yang utuh. Sebagai media pendidikan, film harus memiliki pesan positif yang ditampilkan secara utuh, tidak hanya menyuguhkan horor yang verbal.
Industri film horor Indonesia seringkali mengambil mitologi mengenai hantu, roh, dan mahluk gaib sebagai sumber fokus cerita. Meski mitos dan kepercayaan itu diyakini masyarakat lokal sebagai sesuatu yang memiliki unsur tremendum (menakutkan), pada kenyataannya film genre horor (baca: Horor Jawa) selalu diserbu penonton di bioskop. Artinya masyarakat memang suka. Meski beberapa film horor impor pun sempat diminati, toh film horor nasional atau Horor Jawa dianggap lebih medeni dan nggegirisi. Hantu-hantu nya lebih seram.
Yang perlu menjadi catatan, masih banyak sineas nasional, seperti sutradara Joko Anwar yang mampu menyajikan film horor dengan standar baru yang lebih berkualitas. Ini terlihat dari dua filmnya Pintu Terlarang (2008) dan Siksa Kubur yang tayang di bioskop pada April 2024 lalu. Menurut aktor Reza Rahardian yang bermain di kedua film besutan Joko Anwar itu, film yang dibintanginya itu lain dari film horor yang hanya menyuguhkan hantu dan ketakutan.
Misalnya dalam film Siksa Kubur, meski judul dan posternya seram, maka ekspektasi keseraman itu hanya ada di scene akhir film, itu pun hanya sekilas. Bagi penonton yang masih berandai-andai —'jika melakukan dosa ini di dunia, maka siksanya seperti itu di alam kubur?’— tak bakalan menemukan adegan siksaan yang menyeramkan itu. Namun seperti yang disebutkan di atas, bahwa ada pesan film yang ingin ditampilkan secara utuh. Film ini lebih bertujuan mematahkan pemahaman atheis, ketika ada Sosok Sita yang skeptis tentang agama khususnya tak percaya adanya alam kubur.
Paradoks
Kembali kepada simbolisme Jawa pada sinema horor kita, sebenarnya pemahaman bahwa budaya Jawa selalu berkaitan dengan sakralitas, misteri, dan horor tidak dapat dibenarkan secara objektif. Bagaimana mungkin budaya Jawa yang dikenal selalu mengutamakan nilai-nilai harmoni, kedamaian, persatuan yang erat antara Sang Pencipta dengan manusia dan alam semesta, serta tata krama dan budi pekerti justru menghadirkan suasana yang sebaliknya: misterius dan mencekam!.
Dalam penetrasinya, penggunaan tembang-tembang Jawa yang berfilosofi tinggi justru berhasil menciptakan misteri, tari-tarian yang indah justru membuat ngeri, mantra-mantra Jawa yang sastrais menjadi magis. Ditambah lagi penampilan kostum dan riasan pemainnya, lingkungan dan perilaku yang jadi latarnya, serta metafora-metafora kelam yang meliputinya. Maka, simbol-simbol Jawa itu seperti menjadi keharusan untuk menghitamkan warna sebuah film horor.
Aspek kesan dan pesan
Dosen ISI Surakarta, Darno Kartawi, tak menampik fenomena ini. Menurut Darno Kartawi, ada dua sisi yang menjadi tradisi latah bagi kebanyakan masyarakat Jawa yaitu dari aspek kesan dan pesan. Contoh dalam penggunaan lagu atau tembang. Dari aspek kesan, banyak yang mempersepsikan lagu yang berlaras pentatonik slendro dan pelog itu identik dengan peristiwa mistis. Adapun dari aspek pesan banyak yang menafsirkan makna-makna teks tembang Jawa itu terkait dengan hal-hal yang bersifat magis.
“Itu terjadi karena pembiaran persepsi publik yang tidak terkendali. Termasuk dunia pendidikan yang tidak sungguh-sungguh menerapkan program pembentukan karakter melalui pelajaran muatan lokal,” ungkap Darno.
Yang lebih ironi lagi, lanjut Darno, ada anak muda yang sudah masuk perguruan tinggi, tapi hingga sekarang masih merasa takut jika mendengarkan bunyi gamelan. Ketika ditanya, katanya ketika masih kecil anak tersebut sering melihat film horor dan ilustrasi musiknya dengan gamelan Jawa.
"Ini yang saya sebut sebagai kesalahan persepsi tentang kesan dan makna musikal dalam gamelan Jawa. Padahal gamelan itu adalah universal yang dibuat sebagai media representasi dari spirit masyarakat Jawa," tandas Darno.
Adapun Ratna Saraswati, seorang praktisi tari berkomentar, banyak masyarakat yang punya persepsi keliru tentang makna tari Jawa yang banyak mengiasi film horor kita. Misalnya tari Bedhaya yang berfungsi sebagai pelengkap upacara adat keraton yang sakral dan terbatas dalam penyajiannya. Bagi sebagian masyarakat menganggap tarian Bedhaya menjadi tarian yang mengandung unsur magis. Begitu pun tari lengger, yang sebenarnya tari pergaulan muda-mudi, tapi tari tersebut justru dikesankan sakral dalam sinema kita.
"Persepsi masyarakat tentang kesakralan dan kemagisan masih belum dapat dipisahkan sehingga terjadi salah tafsir. Dampak akhir para kreator film memasukkan unsur tari Jawa dalam film horor, para penikmat film tercekoki persepsi yang tidak pas itu," ungkap Ratna.
Dari sisi pemain dan kostum, sering ditampilkan sosok dukun yang biasanya diperankan lelaki tua dengan ikat kepala dan rambut gondrongnya. Berpakaian serba hitam atau lurik khas Jawa, lengkap dengan berbagai jimat dan sesaji. Celakanya, sosok yang sangat Njawani ini kerap disandingkan dengan figur religius secara hitam-putih. Hal ini tentu merugikan. Figur dengan simbol-simbol Jawa itu dianggap klenik, dukunistik dan sesat. Antitesis dengan tokoh religi yang serba putih.
Muji Prasetyo
Penulis dan jurnalis. Kontributor Arina. Tinggal dan mengabdi di Banjarnegara Jawa Tengah.