"Tidak semua orang yang mengalami kejang menderita epilepsi" - Epilepsy Foundation.
Arina.id ~ Dunia olahraga Indonesia berduka. Mantan atlet angkat besi Lisa Rumbewas wafat pada usia 43 tahun, Ahad (14/1/2024) di Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura.
Lisa adalah seorang legenda. Putri Papua ini mengharumkan Indonesia dengan tiga medali di tiga Olimpiade berbeda. Jenazahnya telah dikebumikan Senin (15/1/2024).
Berdasarkan penuturan sang ibu, Ida Aldamina Korwa -- yang juga mantan lifter, putrinya memiliki riwayat penyakit epilepsi. Pada 6 Januari lalu, epilepsi yang diderita Lisa kambuh. "Kebetulan saat itu obatnya habis, ketika kambuh di malam hari dia di kamar. Ia terjatuh, tak sadar dan keningnya sudah berdarah," katanya.
Lisa kemudian dilarikan ke Rumah Sakit Provita Jayapura dan dirawat selama tiga hari. "Kami dirujuk ke RSUD Jayapura di Senin siang hingga anak kami mengembuskan napas terakhirnya dini hari tadi," imbuhnya seperti dikutip dari keterangan tertulis NOC Indonesia yang rilis Ahad, 14/1/2024.
Ida juga menyampaikan, Lisa sempat mengalami kejang cukup parah selama berada di rumah sakit. Tim dokter telah memberikan obat antikejang dan berbagai obat lainnya. "Ketika di rumah sakit katanya juga ada infeksi paru-paru dan kadar albumin juga sempat turun," ucap Ida.
Lantas, seperti apa penyakit epilepsi yang menyebabkan Lisa Rumbewas wafat? Merangkum dari berbagai sumber, artikel ini menguraikan informasi seputar epilepsi termasuk cara penanganan dan pencegahannya. Mari disimak.
Epilepsi, Penyakit Otak Kronis
Epilepsi merupakan penyakit otak yang tidak menular yang digolongkan sebagai salah satu kondisi kesehatan tertua di dunia. Sebabnya, kasusnya telah tercatat dalam sejarah sejak 4000 SM.
Karena ketidakpahaman, selama berabad-abad, penderita epilepsi menerima cemoohan, diskriminasi, dan ditakuti. Stigma itu, di beberapa negara, masih melekat. Sehingga berdampak pada kualitas hidup penderita dan keluarganya.
Epilepsi, juga disebut ayan, adalah penyakit otak kronis yang ditandai dengan kejang berulang (episode kejang). Saat kambuh, penderitanya melakukan gerakan tak sadar secara singkat dalam beberapa waktu. Episode kejang bisa melibatkan sebagian atau seluruh tubuh -- terkadang disertai dengan hilangnya kesadaran dan kemampuan mengontrol fungsi usus atau kandung kemih.
Dilansir Halodoc, terdapat neuron atau sel saraf pada otak manusia yang merupakan bagian dari sistem saraf. Setiap sel saraf tersebut berkomunikasi satu sama lain menggunakan impuls listrik. Pada kasus penderita epilepsi, impuls listrik tersebut dihasilkan secara berlebihan sehingga menyebabkan penderitanya mengalami kejang.
Durasi kejang bisa bervariasi. Mulai dari yang paling singkat, seperti kehilangan perhatian atau mengalami sentakan otot hingga yang berlangsung sangat lama, seperti kejang parah dan berkepanjangan. Frekuensi kejang juga bermacam-macam, beberapa orang mengalaminya kurang dari satu kali dalam setahun, sementara beberapa lainnya kejang lebih dari sekali dalam sehari.
Namun seseorang tidak dapat dikatakan menderita epilepsi apabila hanya mengalami kejang sebanyak sekali dalam seumur hidup. Hal ini dikarenakan epilepsi didefinisikan sebagai pengalaman kejang yang tidak beralasan sebanyak dua kali atau lebih.
Kenali Tanda dan Gejala Epilepsi
Gejala utama dari epilepsi adalah kejang. Namun, karakteristik kejang bisa berbeda-beda bergantung pada bagian otak mana yang pertama kali mengalami gangguan dan seberapa jauh penyebarannya.
Kejang yang dialami penderita epilepsi terbagi menjadi dua, yakni kejang parsial dan kejang umum atau kejang total. Kejang parsial adalah kondisi di mana otak hanya mengalami gangguan pada bagian tertentu saja sedangkan kejang umum terjadi ketika seluruh bagian otak mengalami gangguan.
Gejala lain yang bersifat sementara, di antaranya kehilangan kewaspadaan dan kesadaran, mengalami gangguan pada sistem gerak tubuh, panca indera, suasana hati, dan fungsi kognitif lainnya. Penderita epilepsi juga cenderung memiliki sejumlah permasalahan fisik, seperti patah tulang dan memar akibat cedera yang berhubungan dengan kejang dan permasalahan psikis seperti gangguan kecemasan dan depresi.
Penyebab Epilepsi
Epilepsi dapat dialami oleh siapa pun. Beberapa faktor yang berpotensi meningkatkan risiko terserang penyakit ini. Mengutip laman resmi Kementerian Kesehatan Indonesia, faktor-faktor tersebut di antaranya, usia (umumnya dialami oleh anak-anak dan lansia), genetik (riwayat penyakit keluarga), cedera pada kepala, stroke dan penyakit vascular, demensia, infeksi otak dan riwayat kejang di masa kecil yang disebabkan oleh demam tinggi.
Epilepsi bukanlah penyakit menular. Kendati begitu, penyebab penyakit ini masih belum diketahui pada sekitar 50 persernnya kasusnya di seluruh dunia. Ada pun beberapa penyebab epilepsi dari kasus-kasus yang pernah terjadi di antaranya:
- Kerusakan otak akibat penyebab prenatal atau perinatal, seperti kehilangan oksigen, trauma saat lahir, dan berat badan lahir rendah
- Kelainan bawaan atau kondisi genetik yang berhubungan dengan malformasi otak
- Cedera kepala parah
- Stroke yang membatasi jumlah oksigen ke otak
- Infeksi otak, seperti meningitis, ensefalitis atau neurocysticercosis
- Sindrom genetik tertentu
- Tumor otak
Penanganan & Pencegahan Epilepsi
Kejang pada penderita epilepsi bisa dikendalikan dengan mengonsumsi obat antikejang yang tepat secara rutin. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan 70 persen penderita epilepsi berhasil mengontrol kejang dengan melakukan pengobatan tersebut. Konsumsi obat antikejang dapat dihentikan apabila penderitanya sudah mempertimbangkan faktor klinis, sosial, dan pribadi serta telah melalui dua tahun tanpa kejang.
Untuk pencegahannya, diperkirakan sekitar 25 persen kasus epilepsi dapat dicegah dengan melakukan beberapa hal, seperti:
- Mencegah cedera kepala, misalnya dengan lebih berhati-hati untuk meminimalisir kemungkinan jatuh, kecelakaan lalu lintas, dan cedera olahraga. Kewaspadaan merupakan cara paling efektif untuk mencegah epilepsi pasca trauma.
- Melakukan perawatan perinatal yang memadai dapat mengurangi kasus epilepsi baru yang disebabkan oleh cedera lahir.
- Menggunakan obat-obatan dan cara lainnya untuk menurunkan suhu tubuh anak ketika demam mampu mengurangi kemungkinan terjadinya kejang akibat demam.
- Melakukan pencegahan epilepsi yang berkaitan dengan stroke yang difokuskan pada pengurangan faktor risiko kardiovaskular, seperti mengikut langkah-langkah pencegahan atau pengendalian tekanan darah tinggi, diabetes dan obesitas, serta menghindari penggunaan tembakau dan alkohol secara berlebihan.
Tingkat Penyakit Epilepsi di Seluruh Dunia
Epilepsi menyumbang sebagian besar pada beban penyakit di dunia. Berdasarkan data WHO, penyakit ini diderita oleh 50 juta penduduk di berbagai belahan dunia. Di negara-negara maju, sekitar 49 dari 100.000 orang mengidap epilepsi, sementara di negara-negara berkembang, angkanya bisa mencapai 139 dari 100.000 orang.
Kemungkinan besar, penyakit epilepsi yang dialami oleh penduduk negara berkembang disebabkan oleh peningkatan risiko penyakit endemik, seperti malaria atau neurocysticercosis, angka laka lantas yang tinggi, cedera yang berkaitan dengan kelahiran, serta keadaan infrastruktur media, ketersediaan program kesehatan preventif dan layanan kesehatan yang dapat diakses.
Risiko kematian dini pada penderita epilepsi juga tiga kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum, dengan tingkat kematian dini tertinggi ditemukan di negara berkembang atau negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah serta di daerah pedesaan.