Arina.id - Lupa merupakan sifat alamiah yang dimiliki manusia. Sifat ini begitu melekat sehingga syariat memberikan dispensasi bagi mereka yang benar-benar lupa. Sebagai contoh, apabila seseorang lupa makan atau minum saat kondisi berpuasa, hal tersebut tidak membatalkan puasanya. Syariat memang memberi toleransi terhadap kekhilafan demikian.
Lupa sering kali terjadi pada hal-hal yang rutin dilakukan. Semakin sering seseorang melakukan sesuatu maka semakin besar pula kemungkinan ia akan lupa. Situasi semacam ini kerap muncul tatkala melaksanakan sholat, di mana terkadang muncul keraguan tentang jumlah rakaat yang telah atau belum diselesaikan.
Lantas, apa yang seharusnya dilakukan saat menghadapi kondisi demikian?
Berdasarkan hadits Nabi SAW, ketika seseorang merasa ragu dalam pelaksanaan sholat mengenai jumlah rakaat yang telah dilakukannya, apakah tiga atau empat rakaat, ia dianjurkan untuk berpegang teguh pada keyakinannya dan mengabaikan terhadap keraguan. Setelah itu, ia berkeharusan untuk melakukan sujud sahwi sebanyak dua kali:
إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ، فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى، ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا؟ فَلْيَطْرَحْ الشَّكَّ، وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ، ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ، فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلَاتَهُ، وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لِأَرْبَعٍ، كَانَتَا تَرْغِيْمًا لِلشَّيْطَانِ
Artinya: “Apabila salah seorang dari kalian ragu dalam sholatnya, dan tidak mengetahui berapa rakaat dia sholat tiga ataukah empat rakaat buanglah keraguan, dan ambilah yang yakin. Kemudian sujudlah dua kali sebelum salam, jika ternyata dia sholat lima rakaat maka sujudnya telah menggenapkan sholatnya. Lalu jika ternyata sholatnya memang empat rakaat, maka sujudnya itu adalah sebagai bentuk penghinaan bagi setan.” (H.R. Muslim)
Menurut pandangan Imam As-Shan’ani (wafat 1182 H), maksud dari hadits ini ialah bahwa seseorang yang mengalami keraguan dalam sholatnya seyogyanya berpegangan pada apa yang diyakininya dan ia diwajibkan untuk melakukan sujud sahwi:
الْحَدِيْثُ فِيْهِ دَلِيْلٌ عَلَى أَنَّ الشَّاكَّ فِيْ صَلَاتِهِ يَجِبُ عَلَيْهِ الْبِنَاءُ عَلَى الْيَقِينِ عِنْدَهُ وَيَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَسْجُدَ سَجْدَتَيْنِ، وَإِلَى هَذَا ذَهَبَ جَمَاهِيْرُ الْعُلَمَاءِ، وَمَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ، وَأَحْمَدُ
Artinya: “Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang ragu dalam sholatnya wajib berpegang pada keyakinan yang diyakininya serta wajib melakukan sujud sahwi dua kali. Pendapat ini dianut oleh mayoritas ulama, termasuk diantaranya Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad.” (Muhammad bin Isma’il As-Shan’ani, Subul As-Salam [Kairo: Dar Al-Hadits], vol. 1, h. 306)
Merujuk pendapat ulama mazhab Syafi’i, tatkala menghadapi keadaan demikian, seseorang harus berpegang pada apa yang diyakini yaitu jumlah rakaat yang lebih sedikit, karena itulah yang menjadi hukum asal atau dasar. Ia harus melakukan sisa sholatnya yaitu dengan menambah satu rakaat, sebab pada dasarnya rakaat tersebut belum selesai dilakukan. Setelah itu, lantas ia melakukan sujud sahwi.
Ketentuan ini sejalan dengan pernyataan yang disampaikan oleh Syekh Khatib Asy-Syirbini (wafat 977 H) dalam karyanya:
وَإِذَا شَكَّ فِي عَدَدِ مَا أَتَى بِهِ مِنَ الرَّكَعَاتِ أَهِيَ ثَالِثَةٌ أَمْ رَابِعَةٌ (بَنَى عَلَى الْيَقِيْنِ وَهُوَ) الْعَدَدُ (الْأَقَلُّ) لِأَنَّهُ الْأَصْلُ (وَيَأْتِيْ) وُجُوْبًا (بِمَا بَقِيَ) فَيَأْتِي بِرَكْعَةٍ لِأَنَّ الْأَصْلَ عَدَمُ فِعْلِهَا (وَسَجَدَ لِلسَّهْوِ) لِلتَّرَدُّدِ فِي زِيَادَتِهِ
Artinya: “Jika seseorang ragu mengenai jumlah rakaat yang telah dilakukannya, apakah itu rakaat ketiga atau keempat ia harus berpegang pada keyakinan yaitu jumlah yang lebih sedikit, karena itulah yang menjadi hukum asal atau dasar. Dan ia harus melakukan sisa sholatnya yaitu dengan menambah satu rakaat sebab pada dasarnya rakaat itu belum dilakukan. Kemudian, ia harus melakukan sujud sahwi lantaran ragu terhadap kemungkinan adanya tambahan dalam sholatnya.” (Muhammad bin Ahmad Al-Khatib Asy-Syirbini, Al-Iqna’ Fi Halli Alfadz Abi Syuja’ [Beirut: Dar Al-Fikr], vol. 1, h. 158)
Keterangan serupa juga ditemukan dalam ensiklopedia fiqih karya ulama Kuwait. Dijelaskan bahwa jika seseorang yang sedang sholat merasa ragu, misalnya apakah ia telah melaksanakan tiga atau empat rakaat, atau apakah ia sudah melakukan suatu sujud atau belum, mayoritas ulama berpendapat bahwa ia harus berpegang pada jumlah yang diyakini paling sedikit (yakni rakaat atau sujud yang pasti telah dilakukan). Lalu, ia dianjurkan untuk menyempurnakan kekurangan tersebut dengan melaksanakan sujud sahwi.
إِذَا شَكَّ الْمُصَلِّي فِي صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى أَثَلاَثًا أَمْ أَرْبَعًا، أَوْ شَكَّ فِي سَجْدَةٍ فَلَمْ يَدْرِ أَسَجَدَهَا أَمْ لاَ، فَإِنَّ الْجُمْهُورَ (الْمَالِكِيَّةَ وَالشَّافِعِيَّةَ وَرِوَايَةً لِلْحَنَابِلَةِ) ذَهَبُوا إِلَى أَنَّهُ يَبْنِي عَلَى الْيَقِينِ وَهُوَ الأَقَل، وَيَأْتِي بِمَا شَكَّ فِيهِ وَيَسْجُدُ لِلسَّهْوِ
Artinya: “Jika seseorang yang sholat ragu dalam sholatnya, tidak tahu apakah ia telah melakukan tiga rakaat atau empat, atau ia ragu tentang suatu sujud, apakah ia telah melakukannya atau belum, mayoritas ulama (dari kalangan mazhab Malikiyah, Syafi’iyyah, dan salah satu riwayat dari mazhab Hanabilah) berpendapat bahwa ia harus berpegang pada keyakinan yang paling sedikit (yaitu jumlah rakaat atau sujud yang diyakini sudah dilakukan). Ia harus melengkapi apa yang diragukan dan melakukan sujud sahwi.” (Lembaga Wakaf dan Urusan Keislaman Kuwait, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah [CD: Al-Maktabah Asy-Syamilah], vol. 24, h. 235)
Dari penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa sikap tatkala seseorang yang tengah sholat merasa ragu perihal jumlah rakaat yang telah ia kerjakan, maka ia harus berpegang pada jumlah rakaat yang lebih sedikit, karena itulah hukum asal atau dasar keyakinannya. Kemudian, ia harus menyelesaikan sisa sholatnya dengan menambah satu rakaat untuk melengkapi kekurangan lantaran rakaat itu dianggap belum sempurna. Lalu, ia dianjurkan untuk melakukan sujud sahwi. Wallahu a’lam bis shawab.