Pada dasarnya, manusia cenderung merasa tidak nyaman dengan kebohongan. Kebohongan, seperti yang dilakukan oleh pasangan suami dan istri, tentu saja bisa menimbulkan luka hati selain dapat merenggangkan hubungan keduanya.
Namun, dalam kehidupan sehari-hari, sering ditemui fenomena suami berbohong kepada istri seperti memberikan pujian yang tidak sepenuhnya jujur mengenai kualitas masakan yang dimasak oleh istri. Bohong ini dilakukan oleh suami untuk menyenangkan hati sang istri dan menghargai usaha yang telah dilakukannya. Contoh lain adalah seperti suami memuji kecantikan istri untuk meningkatkan suasana hati pasangannya.
Lantas, bolehkah suami berbohong demi menyenangkan hati istri?
Dalam Islam, berbohong dikategorikan sebagai perbuatan dosa besar yang harus dijauhi oleh setiap orang. Meski demikian, terdapat beberapa pandangan yang memberikan pengecualian terhadap larangan berbohong terutama dalam situasi darurat yang mengharuskan tindakan tersebut.
Ada beberapa kondisi di mana berbohong dibolehkan. Misalnya, tatkala seseorang ingin mendamaikan orang yang berselisih, atau suami-istri berbohong untuk menjaga hubungan mereka. Selain itu, dalam perang pasukan juga diperbolehkan untuk berbohong demi mengelabui musuh. Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits:
لَا يَحِلُ الْكَذِبُ إِلاَّ فِيْ ثَلَاثٍ: يُحَدِّثُ الْرَّجُلُ امْرَأَتَهُ لِيُرْضِيْهَا، وَالْكَذِبُ فِيْ الْحَرْبِ، وَالْكَذِبُ لِيُصْلِحَ بَيْنَ الْنَّاسِ
Artinya: “Tidak halal (tidak boleh) berbohong kecuali dalam tiga kondisi: (Bohong) seorang suami yang berbicara kepada istrinya untuk menyenangkannya, bohong dalam peperangan dan bohong untuk mendamaikan manusia (yang berselisih).” (H.R. At-Tirmidzi)
Berdasar pada hadits ini, para ulama kemudian menyatakan bahwa perbuatan bohong yang dilakukan suami demi menyenangkan hati istri dan menjaga ikatan rumah tangga hukumnya diperbolehkan. Hal ini sebagaimana penjelasan yang disampaikan oleh Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari (wafat 987 H) dalam kitabnya:
فَائِدَةٌ: الْكَذِبُ حَرَامٌ وَقَدْ يَجِبُ كَمَا إِذَا سَأَلَ ظَالِمٌ عَنْ وَدِيْعَةٍ يُرِيْدُ أَخْذَهَا فَيَجِبُ إِنْكَارُهَا وَإِنْ كَذَبَ وَلَهُ الْحَلْفُ عَلَيْهِ مَعَ التَّوْرِيَةِ وَإِذَا لَم يُنْكِرْهَا وَلَمْ يَمْتَنِعْ مِنْ إِعْلَامِهِ بِهَا جُهْدَهُ ضَمِنَ وَكَذَا لَوْ رَأَى مَعْصُوْمًا اِخْتَفَى مِنْ ظَالِمٍ يُرِيْدُ قَتْلَهُ وَقَدْ يَجُوْزُ كَمَا إِذَا كَانَ لَا يَتِمُّ مَقْصُوْدُ حَرْبٍ وَإِصْلَاحِ ذَاتِ الْبَيِّنِ وَإِرْضَاءِ زَوْجَتِهِ إِلَّا بِالْكَذِبِ فَمُبَاحٌ
Artinya: “Faidah: Berbohong adalah haram, namun terkadang bisa menjadi wajib seperti ketika seorang zalim bertanya tentang suatu harta titipan yang ingin diambilnya, maka wajib untuk mengingkari adanya harta tersebut meskipun dengan berbohong, dan boleh untuk bersumpah demi kebohongan tersebut dengan menggunakan mekanisme tertentu. Jika seseorang tidak menolak dan tidak berusaha semaksimal mungkin untuk menyembunyikannya, maka ia berkeharusan untuk mengganti rugi. Demikian pula, jika seseorang melihat orang yang terjaga (iman) yang bersembunyi dari seorang zalim yang hendak membunuhnya, maka hal itu bisa dibolehkan. Terutama jika tujuan perang, perdamaian, atau menyenangkan istri tidak dapat dicapai kecuali dengan berbohong, maka hal tersebut hukumnya diperbolehkan.” (Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari, Fath Al-Mu’in Bi Syarh Qurrah Al-Ain Bi Muhimmat Ad-Din [Beirut: Dar Ibn Hazm], vol. 1, h. 442)
Kendati dalam situasi tertentu berbohong dibolehkan, akan tetapi suami perlu ingat bahwa kebiasaan berbohong tidak boleh dijadikan sebagai kebiasaan karena dapat merusak terhadap kepercayaan dalam sebuah hubungan. Oleh karena itu, tindakan berbohong tidak dapat dilakukan secara sembarangan.
Imam Al-Ghazali (wafat 505 H) telah menetapkan tiga batasan khusus terkait kondisi di mana kebohongan dapat dibenarkan:
الْكَلَامُ وَسِيْلَةٌ إِلَى الْمَقَاصِدِ فَكُلُّ مَقْصُوْدٍ مَحْمُوْدٍ يُمْكِنُ الْتَّوَصُلُ إِلَيْهِ بِالْصِّدْقِ وَالْكَذِبِ جَمِيْعًا فَالْكَذِبُ فِيْهِ حَرَامٌ وَإِنْ أَمْكَنَ الْتَّوَصُلُ إِلَيْهِ بِالْكَذِبِ دُوْنَ الْصِّدْقِ فَالْكَذِبُ فِيْهِ مُبَاحٌ إِنْ كَانَ تَحْصِيْلُ ذَلِكَ الْقَصْدُ مُبَاحًا وَوَاجِبٌ إِنْ كَانَ الْمَقْصُوْدُ وَاجِبًا
Artinya: “Bahasa merupakan perantara untuk mencapai tujuan. Setiap tujuan yang baik dapat dicapai melalui ucapan yang jujur maupun bohong. Namun, berbohong tetap diharamkan apabila tidak ada kebutuhan yang mendesak. Bila suatu tujuan mulia dapat tercapai melalui kebohongan, dan tidak dapat dicapai melalui kejujuran, maka kebohongan tersebut dapat dibenarkan asalkan tujuan akhirnya juga benar, bahkan menjadi wajib jika tujuan tersebut merupakan suatu kewajiban.” (Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali At-Thusi, Ihya Ulumiddin [Beirut: Dar Al-Ma’rifah], vol. 3, h. 137)
Batasan-batasan yang telah dijelaskan menunjukkan bahwa kebohongan dapat dibenarkan untuk mencapai tujuan yang mubah asalkan tujuannya itu tidak dapat dicapai melalui kejujuran. Lebih lanjut, jika tujuan yang ingin dicapai merupakan kewajiban dan tidak dapat terpenuhi tanpa kebohongan, maka kebohongan tersebut menjadi wajib.
Imam An-Nawawi (wafat 676 H) kemudian menambahkan beberapa syarat tambahan sebagai berikut:
يَنْبَغِيْ أَنْ يُقَابِلَ بَيْنَ مَفْسَدَةَ الْكَذِبِ وَالْمَفْسَدَةِ الْمُتَرَتَّبَةِ عَلَى الْصِّدْقِ، فَإِنْ كَانَتْ الْمَفْسَدَةُ فِيْ الْصِّدْقِ أَشَدُّ ضَرَرًا، فَلَهُ الْكَذِبُ، وَإِنْ كَانَ عَكْسُهُ، أَوْ شَكَّ، حَرُمَ عَلَيْهِ الْكَذِبُ، وَمَتَى جَازَ الْكَذِبُ، فَإِنْ كَانَ الْمُبِيْحُ غَرَضًا يَتَعَلَّقُ بِنَفْسِهِ، فَيُسْتَحَبُّ أَنْ لَا يَكْذِبَ، وَمَتَى كَانَ مُتَعَلِقًا بِغَيْرِهِ، لَمْ تَجُزْ الْمُسَامَحَةُ بِحَقِّ غَيْرِهِ، وَالْجَزْمُ تَرْكُهُ فِيْ كُلِّ مَوْضِعٍ أُبِيْحَ، إِلَّا إِذَا كَانَ وَاجِبًا
Artinya: “Seyogyanya dilakukan perbandingan antara keburukan dari berbohong dan keburukan yang timbul akibat berkata jujur. Jika keburukan dari berkata jujur lebih besar, maka diperbolehkan untuk berbohong. Namun, jika sebaliknya atau terdapat keraguan, maka berbohong tersebut menjadi haram. Lalu kapan berbohong diperbolehkan? Jika tujuannya hanya untuk kepentingan pribadi dan tidak melibatkan hak orang lain, maka sebaiknya tetap hindari kebohongan. Namun, jika berkaitan dengan hak orang lain, jangan mempermudah kebohongan yang menyentuh hak mereka. Tetaplah berpegang teguh untuk tidak berbohong pada hal-hal yang hanya mubah, tetapi jika berhubungan dengan hal yang wajib, maka berbohong hukumnya diperbolehkan.” (Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Adzkar An-Nawawi [Beirut: Dar Al-Fikr], h. 378)
Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa hukum seorang suami berbohong kepada istrinya dalam kondisi tertentu, misalnya untuk menyenangkan hati istri atau menjaga keharmonisan rumah tangga adalah diperbolehkan. Akan tetapi, penting untuk diingat bahwa tindakan berbohong ini hanya dibenarkan dengan batasan dan dalam situasi-situasi khusus serta tidak boleh dijadikan sebagai suatu kebiasaan.