Arina.id - Mandi junub adalah salah satu mandi wajib dalam Islam yang harus dilakukan oleh seseorang yang berada dalam kondisi junub. Keadaan junub terjadi ketika seseorang mengeluarkan mani, baik akibat hubungan intim maupun hal lainnya seperti mimpi basah.
Tujuan mandi junub adalah untuk membersihkan diri dari hadats besar agar seseorang kembali suci dan dapat melaksanakan ibadah.
Prosesi mandi junub dilakukan dengan membasuh seluruh tubuh, mulai dari ujung kepala hingga kaki menggunakan air yang bersih dan suci. Selain bertujuan untuk membersihkan tubuh dan fisik, saat mandi junub juga diharuskan untuk berniat sebagai bentuk ibadah.
Mandi junub penting karena Islam mengutamakan kebersihan spiritual dan ritual sebagai syarat sahnya ibadah. Lantas, bagaimana hukumnya jika seseorang ingin melakukan aktivitas lain yang tidak berkaitan langsung dengan ibadah, seperti makan dan minum sebelum mandi junub?
Menurut tinjauan fiqih, melakukan aktivitas seperti makan dan minum dalam kondisi junub atau sebelum mandi hukumnya makruh. Lantaran tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW yang menganjurkan untuk mencuci kemaluan dan berwudhu terlebih dahulu.
Sebagaimana disebutkan dalam salah satu hadits:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ جُنُبًا فَأَرَادَ أَنْ يَأْكُلَ أَوْ يَنَامَ تَوَضَّأَ وُضُوْءَهُ لِلصَّلَاةِ
Artinya: “Rasulullah SAW ketika dalam keadaan junub dan beliau hendak makan atau minum, maka beliau melakukan wudhu sebagaimana wudhu saat hendak sholat.” (H.R. Muslim)
Berdasarkan hadits tersebut, para ulama menetapkan perihal kesunahan berwudhu sebelum makan dan minum dalam kondisi junub. Hikmah dari dianjurkannya melakukan wudhu ini, ialah untuk meringankan hadats yang sedang ditanggung serta menjaga kebersihan.
Pendapat demikian seperti yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshari (wafat 926 H) dalam karyanya:
وَفِي الصَّحِيحَيْنِ: كَانَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - إذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ وَهُوَ جُنُبٌ غَسَلَ فَرْجَهُ وَتَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ وَكَانَ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - إذَا كَانَ جُنُبًا فَأَرَادَ أَنْ يَأْكُلَ أَوْ يَنَامَ تَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ. وَقِيسَ بِالْجُنُبِ الْحَائِضُ وَالنُّفَسَاءُ إذَا انْقَطَعَ دَمُهُمَا وَبِالْأَكْلِ الشُّرْبُ وَالْحِكْمَةُ فِي ذَلِكَ تَخْفِيفُ الْحَدَثِ غَالِبًا وَالتَّنْظِيفُ وَقِيلَ لَعَلَّهُ يُنَشِّطُ لِلْغُسْلِ فَلَوْ فَعَلَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ بِلَا وُضُوءٍ كُرِهَ لَهُ
Artinya: “Dalam kitab Shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim) disebutkan bahwa Nabi SAW apabila hendak tidur dalam keadaan junub, beliau mencuci kemaluannya dan berwudhu layaknya wudhu untuk sholat. Dan Nabi SAW jika dalam kondisi junub lalu ingin makan atau tidur, maka beliau berwudhu seperti halnya wudhu untuk sholat. Dianalogikan pula dengan masalah ini, seorang perempuan yang tengah haid atau nifas jika darahnya telah berhenti maka berlaku hukum yang sama. Hal demikian juga berlaku untuk minum sebagaimana makan. Hikmahnya adalah untuk meringankan hadats pada umumnya dan menjaga kebersihan. Ada juga yang mengatakan bahwa hal demikian bertujuan agar seseorang termotivasi untuk segera mandi besar. Namun, bilamana seseorang melakukan salah satu dari hal tersebut tanpa berwudhu, maka hal itu dihukumi makruh baginya.” (Zakariya bin Muhammad Al-Anshari, Asna Al-Mathalib Fi Syarh Raud At-Thalib [Beirut: Dar Al-Kitab Al-Islami], vol. 1, h. 65)
Menurut pandangan ulama Syafi’iyyah, disunahkan bagi seseorang yang berada dalam keadaan junub untuk berwudhu sebelum makan atau minum. Oleh karena itu, makan dan minum sebelum mandi junub hukumnya makruh.
Mengenai hal ini, Syekh Sulaiman Al-Bujairami (wafat 1221 H) dalam catatannya menyatakan:
وَيُسَنُّ الْوُضُوءُ عِنْدَ إرَادَةِ الْجُنُبِ أَكْلًا أَوْ شُرْبًا؛ لِأَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - إذَا كَانَ جُنُبًا فَأَرَادَ أَنْ يَأْكُلَ أَوْ يَنَامَ تَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ. وَقَالَ: إذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَعُودَ فَلْيَتَوَضَّأْ بَيْنَهُمَا وُضُوءًا فَإِنَّهُ أَنْشَطُ فِي الْعَوْدِ
Artinya: “Disunahkan berwudhu bagi orang yang junub ketika hendak makan atau minum, karena Nabi SAW apabila dalam kondisi junub lantas ingin makan atau tidur, maka beliau berwudhu sebagaimana wudhu untuk sholat. Beliau juga bersabda: Apabila salah seorang dari kalian mendatangi istrinya (bersetubuh) lalu ingin mengulangi lagi, maka hendaknya ia berwudhu di antara keduanya karena hal itu lebih menyegarkan untuk mengulangi hubungan tersebut.” (Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bujairami, Tuhfah Al-Habib Ala Syarh Al-Khatib [Beirut: Dar Al-Fikr], vol. 1, h. 179)
Selaras dengan pendapat tersebut, Syekh Sa’id bin Muhammad Baisyan Ad-Dau’ani (wafat 1270 H) juga menegaskan bahwa makan dan minum dalam keadaan junub hukumnya makruh. Oleh karena itu, disunahkan untuk mencuci kemaluan dan berwudhu terlebih dahulu. Bahkan, pokok kesunahan ini sudah bisa terpenuhi hanya dengan mencuci kemaluan saja:
وَيُكْرَهُ لِلْجُنُبِ الْأَكْلُ وَالشُّرْبُ وَالنَّوْمُ وَالْجِمَاعُ قَبْلَ غَسْلِ الْفَرْجِ وَالْوُضُوْءِ لِلْأَمْرِ بِهِ فِي الْجِمَاعِ وَلِلْاِتِّبَاعِ فِيْمَا عَدَا الشُّرْبَ... وَيَحْصُلُ أَصْلُ السُّنَّةِ بِغَسْلِ الْفَرْجِ
Artinya: “Dimakruhkan bagi orang yang junub makan, minum, tidur, atau berhubungan intim sebelum mencuci kemaluannya dan berwudhu, karena adanya perintah untuk melakukannya sebelum berhubungan badan serta mengikuti sunah dalam berhubungan intim selain minum. Dan inti kesunahan sudah dapat terpenuhi dengan cara mencuci kemaluannya.” (Sa’id bin Muhammad Baisyan Ad-Dau’ani, Busyra Al-Karim Bi Syarh Masail At-Ta’lim [Jeddah: Dar Al-Minhaj], vol. 1, h. 135)
Dari uraian ini, dapat disimpulkan bahwa melakukan aktivitas lain yang tidak berkaitan dengan ibadah seperti makan dan minum sebelum mandi junub hukumnya adalah makruh. Karena tidak sesuai dengan sunah Rasulullah SAW yang menganjurkan mencuci kemaluan serta berwudhu terlebih dahulu. Selain itu, hikmah disunahkannya wudhu sebelum makan dan minum dalam keadaan junub ialah untuk meringankan hadats yang sedang ditanggung sekaligus menjaga kebersihan. Wallahu a’lam bis shawab.