Dark
Light
Dark
Light

Sayembara dalam Keburukan, Bagaimana Hukumnya?

Sayembara dalam Keburukan, Bagaimana Hukumnya?

Seseorang terkadang harus mengadakan sayembara untuk memenuhi tujuan yang dia inginkan. Terkadang tujuan itu baik seperti sayembara menemukan mobilnya yang hilang. Namun ada juga sayembara yang ditujukan untuk hal yang buruk seperti menyiram kotoran ke rumah musuhnya dengan hadiah 200 juta Rupiah, misalnya.

Lalu, bagaimana hukum sayembara yang ditujukan untuk keburukan atau hal-hal yang negatif? 

Islam mengenal praktik sayembara dengan istilah Ju’alah sebagaimana yang tertulis dalam teks-teks para pakar fiqih. Definisi Ju’alah menurut Syaikh Ibnu Qasim al-Ghazi adalah sebagai berikut:

ومعناها لغة ما يجعل لشخص على شيئ يفعله, وشرعا التزام مطلق التصرف عوضا معلوما على عمل معين او غيره

Artinya: "Ju’alah secara etimologi adalah sesuatu yang dijadikan upah kepada seseorang atas sesuatu yang dia lakukan. Sedangkan menurut terminologi adalah praktik seseorang yang boleh melakukan tasaruf harta untuk menjanjikan suatu imbalan yang diketahui atas suatu pekerjaan tertentu atau tidak." (Ibnu Qasim al-Ghazi, Fathul Qaribul Mujib, [Jakarta: Darul Kutub Islamiyah, tt], juz 2, hal. 33.).

Praktik Ju’alah juga disebutkan dalam Al-Qur’an surat Yusuf ayat 72 sebagai berikut:

قَالُوْا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَنْ جَاۤءَ بِه حِمْلُ بَعِيْرٍ وَّاَنَا۠ بِه زَعِيْمٌ 

Artinya: "Mereka menjawab, “Kami kehilangan cawan raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh (bahan makanan seberat) beban unta dan aku jamin itu.”.

Praktik Ju’alah era kekinian bisa ditemui di status media sosial tentang berita sayembara entah karena kehilangan sesuatu atau ingin mewujudkan sesuatu. Ju’alah sering diibaratkan oleh para ulama dengan ungkapan sebagai berikut:

من رد ضالتي فله كذا وكذا

Artinya: "Barang siapa yang mengembalikan barangku yang hilang maka dia dia berhak menerima hal ini dan ini." (Muhammad al-Syathiri, Syarh al-Yaqut al-Nafis, [Beirut: Darul Minhaj, 2011], hal. 517.).

Sebagaimana akad dalam mua’alah Islam yang lain, Ju’alah atau akad sayembara memiliki syarat dan ketentuan tertentu. Prof. Wahbah menyebut syarat sah akad ju’alah ada empat sebagai berikut:

أولا ـ أهلية التعاقد: يشترط عند الشافعية والحنابلة في الجاعل مالكا كان أو غيره أن يكون مطلق التصرف (بالغا عاقلا رشيدا)، وأما العامل: فإن كان معينا اشترط فيه أهلية العمل، وإن كان غير معين مبهما كفى علمه بإعلان النداء على الجعل. 

Artinya: "Syarat pertama adalah lisensi melakukan akad, menurut Syafi’iyah, dan Hanabilah seorang penyelenggara sayembara (Ja’il) baik pemilik atau yang mewakili harus orang yang boleh melakukan tasaruf harta yakni harus baligh, berakal, dan waras (tidak idiot). Bagi peserta sayembara (amil) jika dia dipilih oleh penyelenggara maka harus bisa bekerja, jika tidak ditentukan oleh penyelenggara maka cukup dengan mengetahui pengumuman sayembara itu."

ثانيا ـ كون الجعل (أو الأجرة) مالا معلوما. فإن كان الجعل مجهولا فسد العقد لجهالة العوض

Artinya: "Syarat kedua hadiah sayembaranya harus berupa harta yang jelas, jika hadiahnya tidak diketahui maka akadnya tidak sah."

ثالثا ـ أن تكون المنفعة معلومة حقيقة، مباحا الانتفاع بها شرعا، فلا تجوز الجعالة على إخراج الجن من شخص، ولا على حل سحر مثلا، لأنه يتعذر معرفة كون الجن خرج أم لا، أو انحل السحر أم لا. كما لا تجوز الجعالة على ما يحرم نفعه كالغناء والزمر والنواح وسائر المحرمات.

Artinya: "Syarat ketiga adalah manfaat (yang dikerjakan dalam sayembara) harus benar-benar diketahui dan boleh dilakukan menurut syariah, maka tidak sah akad sayembara untuk mengeluarkan jin dari tubuh manusia, dan membebaskan pengaruh sihir, karena keluarnya jin dan pengaruh sihir tidak bisa diidentifikasi dengan pancaindera, begitu juga tidak sah sayembara melakukan hal yang diharamkan seperti bernyanyi, bermusik, meratap, dan hal-hal yang diharamkan lainnya. "

رابعا ـ اشترط المالكية ألا يحدد للجعالة أجل، وقال غيرهم: يصح الجمع بين تقدير المدة والعمل،.

Artinya: "Syarat keempat adalah menurut madzhab Maliki sayembara tidak boleh dibatasi dengan tempo tertentu, sedangkan menurut selain Maliki syarat ini tidak berlaku." (Wahbah bin Musthafa al-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, [Beirut: Darul Fikr, 2020], juz 4, hal. 582-583.).

Kasus sayembara untuk tujuan keburukan mencederai syarat ketiga yakni manfaat dari amal yang dilakukan adalah harus dibenarkan oleh syari’at. Sedangkan seperti sayembara mengotori rumah orang lain dengan kotoran manusia, tentunya perbuatan ini adalah negatif baik menurut syariah dan hukum positif hingga hukum sosial. Meskipun dijanjikan hadiah sebesar 200 juta Rupiah.

Konsep sayembara negatif seperti ini juga mencederai ayat Al-Qur’an surat al-Ma’idah ayat 2 yaitu:

وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ 

Artinya: "Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksaan-Nya."

Sebagaimana haramnya melakukan perbuatan yang diharamkan, maka haram pula menolong orang lain atau memfasilitasinya untuk melakukan keharaman itu sendiri. Begitu juga termasuk memfasilitasi orang lain untuk membantu melakukan tindakan haram. Termasuk haram menjadikannya sebagai sayembara. 

Home 2 Banner

Syariah Lainnya

Home 1 Banner