Arina.id - Baru-baru ini, sebuah kasus viral menjadi perbincangan hangat di media sosial. Pasalnya seorang anak di daerah Cirebon nekat membakar rumah orang tuanya hanya karena permintaan untuk dibelikan motor tidak terpenuhi. Kejadian ini pun mengundang perhatian dan keprihatinan banyak orang, terutama berkaitan dengan pola asuh dan tanggung jawab orang tua dalam menghadapi permintaan anak.
Orang tua pastinya ingin selalu memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Namun, seringkali mereka dihadapkan pada kebingungan antara memenuhi keinginan anak dan kekhawatiran. Jika seluruh permintaan anak, seperti membeli motor, dipenuhi, hal tersebut justru dapat berdampak negatif terhadap perkembangan karakter anak.
Lantas haruskah orang tua memenuhi permintaan anak untuk dibelikan motor?
Dalam khazanah Islam dijumpai keterangan bahwa kewajiban nafkah anak dibebankan kepada sang ayah. Hal ini sebagaimana telah Allah firmankan dalam Al Quran surat At-Thalaq ayat 6 berikut;
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى [الطلاق: 6]
Artinya: “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan. Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anakmu) maka berikanlah imbalannya kepada mereka; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”
Dalam memaknai lafadz وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ, ulama memberikan penjelasan bahwa kata “lahu” (miliknya) menunjukkan hubungan khusus antara anak dan ayahnya. Kata ini menunjukkan bahwa ayah memiliki tanggung jawab atas nafkah dan kebutuhan hidup anaknya.
فَإِنَّ نِسْبَةَ الوَلَدِ إِلَى أَبِيهِ بِلامِ الِاخْتِصَاصِ، وَهِيَ (لَهُ) تَقْتَضِي مَسْؤُولِيَّةَ صَاحِبِ الِاخْتِصَاصِ، وَهُوَ الأَبُ، عَنْ نَفَقَةِ وَلَدِهِ وَمَئُونَتِهِ. وَكَذَلِكَ وُجُوبُ نَفَقَةِ المُرْضِعَةِ لِلْوَلِيدِ وَكِسْوَتِهَا تَدُلُّ عَلَى وُجُوبِ نَفَقَةِ الوَلَدِ وَكِسْوَتِهِ مِنْ بَابِ أَوْلَى كَمَا عَلِمْتَ.
Artinya: ”Penyebutan anak yang dihubungkan kepada ayahnya dengan menggunakan "لَه" (miliknya) menunjukkan bahwa ayah memiliki tanggung jawab atas nafkah dan kebutuhan hidup anaknya. Sama halnya dengan kewajiban memberi nafkah dan pakaian kepada ibu yang menyusui, hal ini menunjukkan bahwa memenuhi kebutuhan nafkah dan pakaian anak adalah tanggung jawab utama seorang ayah.” (Al Fiqh Al Manhaji juz 4 halaman 171)
Terkait nafkah apa saja yang wajib diberikan kepada anak, ulama cenderung mewajibkan kepada kebutuhan yang bersifat primer, seperti makanan, pakaian, rumah dan lain lain. Namun dalam kebutuhan primer ini ulama masih berbeda pendapat terkait kadarnya. Semisal Imam Al Baghawi berpendapat dalam makanan tidak wajib ada lauk pauk.
وَعِبَارَةُ الْبُجَيْرِمِيِّ: دَخَلَ فِي الْكِفَايَةِ الْقُوتُ، الْأُدْمُ وَالْكِسْوَةُ، وَخَالَفَ الْبَغَوِيُّ فِي الْأُدْمِ وَتَجِبُ الْكِسْوَةُ بِمَا يُلِيقُ بِهِ لِدَفْعِ الْحَاجَةِ وَالْمَسْكَنُ وَأُجْرَةُ الْفَصْدِ وَالْحِجَامَةِ وَطَبِيبٌ وَشُرْبُ الْأَدْوِيَةِ وَمَئُونَةُ الْخَادِمِ إِنِ احْتَاجَ إِلَيْهِ لِزَمَانَةٍ أَوْ مَرَضٍ
Artinya: “Menurut al-Bujairimi: “Dalam pemenuhan kebutuhan, termasuk di dalamnya makanan pokok, lauk-pauk, dan pakaian. Namun, al-Baghawi berbeda pendapat terkait lauk-pauk. Wajib pula pakaian yang sesuai untuk mengatasi kebutuhan pokok juga diwajibkan, begitu pula dengan tempat tinggal, biaya untuk pengobatan seperti pembekaman atau berbekam, dokter, minum obat-obatan, dan biaya pelayan jika memang dibutuhkan, misalnya karena kondisi lanjut usia atau penyakit.” (Ianah At Thalibin juz 4 halaman 110)
Berdasarkan penjelasan ini, tanggung jawab orang tua dalam memberikan nafkah kepada anak meliputi kebutuhan pokok yang bersifat primer, seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Para ulama sepakat bahwa kebutuhan-kebutuhan dasar ini wajib dipenuhi agar anak dapat menjalani kehidupan yang layak.
Namun, terdapat perbedaan pandangan di antara para ulama terkait detail pemenuhan kebutuhan ini, terutama dalam hal seberapa jauh cakupan kebutuhan pokok tersebut. Misalnya, Imam al-Bujairimi menyatakan bahwa dalam pemenuhan makanan diwajibkan menyediakan lauk-pauk, sedangkan sebagian ulama lain seperti al-Baghawi menganggap lauk-pauk tidak termasuk kebutuhan yang perlu dipenuhi. Pandangan ini menunjukkan bahwa sekalipun untuk kebutuhan primer, masih ada perdebatan terkait batas kewajiban yang harus dipenuhi oleh orang tua.
Oleh karenanya permintaan anak untuk dibelikan sepeda motor, yang tergolong kebutuhan sekunder atau bahkan tersier, tidak menjadi kewajiban bagi orang tua. Sepeda motor bukanlah kebutuhan yang mendesak untuk kehidupan dasar anak dan bukan bagian dari tanggung jawab nafkah yang diwajibkan oleh syariat. Wallahu a’lam bis shawab.
Ahmad Yaafi Kholilurrohman
Penikmat Insight Keislaman, Alumni Ma'had Aly Situbondo, Jawa Timur