Publik kembali dibuat penasaran dengan kisah rumah tangga Selebgram Medina Zein dan Lukman Azhari. Gugatan cerai terbaru yang diajukan Medina saat suaminya berada di penjara, menjadi topik yang ramai diperbincangkan di media sosial. Sebelumnya, hubungan keduanya juga sempat diwarnai oleh isu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang mencuat pada penghujung tahun 2021.
Meski sempat terjadi perselisihan, Medina dan Lukman kini tengah berusaha memperbaiki hubungan mereka. Seperti yang dilansir oleh Detik Hot, keduanya berkomitmen untuk menciptakan hubungan yang lebih baik dan menghindari terulangnya masalah serupa di kemudian hari.
Terlepas dari problematika yang menimpa keduanya, lantas bolehkah istri menggugat cerai suami saat terjerat hukum atau dipenjara?
Pernikahan merupakan ikatan suci yang menyatukan sepasang laki-laki dan perempuan, karenanya Islam mendorong suami istri untuk senantiasa menjaga keutuhan dan keharmonisan rumah tangga. Kendati kehidupan mengalami pasang surut akibat diterpa oleh berbagai cobaan, namun, hal tersebut tidak dapat dijadikan sebagai dalih untuk memutuskan ikatan pernikahan.
Di sisi lain, seorang istri juga memiliki hak untuk melindungi dirinya dengan mengajukan gugat cerai apabila mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau menghadapi perilaku buruk dari suaminya. Tetapi, perlu ditekankan bahwa Islam tidak membenarkan istri untuk mengajukan permohonan cerai tanpa adanya alasan syar’i yang kuat.
Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW:
أيُّمَا امْرَأةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ مِنْ غَيْرِ مَا بأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
Artinya: “Barang siapa yang yang meminta cerai dari suaminya tanpa alasan yang kuat, maka perempuan tersebut haram mencium wangi surga.” (H.R. Abu Dawud).
Syekh Abdurrauf Al-Munawi (wafat 1031 H) menjelaskan tentang maksud dari al-ba’s (alasan) dalam redaksi hadits ini. Menurutnya, adalah keadaan mendesak yang memaksa seseorang menuju perceraian lantaran timbul kekhawatiran bahwa pasangan tidak dapat memenuhi perintah Allah yang dibebankan kepadanya selama menjalani pernikahan, seperti bergaul dengan baik dan lain sebagainya:
أَيْ فِي غَيْرِ حَالَةِ شِدَّةٍ تَدْعُوْهَا وَتُلْجِئُهَا إِلَى الْمُفَارَقَةِ كَأَنْ تَخَافَ أَلَّا تُقِيْمَ حُدُوْدَ اللَّهِ فِيْمَا يَجِبُ عَلَيْهَا مِنْ حُسْنِ الصُّحْبَةِ وَجَمِيْلِ الْعِشْرَةِ لِكَرَاهَتِهَا لَهُ أَوْ بِأَنْ يُضَارَّهَا لِتَنْخَلِعَ مِنْهُ
Artinya: “Maksudnya ialah dalam keadaan tidak mendesak yang memaksanya untuk berpisah, seperti jika ia khawatir pasangan tidak dapat menjalankan ketetapan Allah dalam bergaul dengan baik dan bersikap baik kepada pasangan, atau karena timbul kebencian terhadap pasangan, sehingga ia merasa dirugikan serta ingin melepaskan diri darinya.” (Abdurrauf Al-Munawi, Faid Al-Qadir Syarh Al-Jami’ As-Shagir [Mesir: Al-Maktabah At-Tijariyyah Al-Kubra], vol. 3, h. 138)
Merujuk kajian fiqih, jika suami dipenjara akibat suatu kasus maka istri tidak diperbolehkan mengajukan gugatan cerai. Ketetapan tersebut selaras dengan pendapat mayoritas ulama dari kalangan Syafi’iyah, Hanabilah, dan Hanafiyah, hal ini dikarenakan suami masih dianggap hidup.
Sementara itu, mazhab Maliki membolehkan istri untuk mengajukan gugat cerai jika ia merasa kesepian tanpa kehadiran suami selama sekitar satu tahun, karena dalam keadaan tersebut suami dianggap seperti halnya orang yang hilang (ghaib).
Berkenaan dengan hal ini, Syekh Wahbah Az-Zuhaili (wafat 1436 H) dalam ensiklopedi fiqihnya menguraikan:
لَمْ يُجِزْ جُمْهُوْرُ الْفُقَهَاءِ غَيْرَ الْمَالِكِيَّةِ التَّفْرِيْقَ لِحَبْسِ الزَّوْجِ أَوْ أَسْرِهِ أَوْ اعْتِقَالِهِ، لِعَدَمِ وُجُوْدِ دَلِيْلٍ شَرْعِيٍّ بِذَلِكَ. وَلَا تُعَدُّ غَيْبَةُ الْمَسْجُوْنِ وَنَحْوُهُ عِندَ الْحَنَابِلَةِ غَيْبَةً بِعُذْرٍ. أَمَّا الْمَالِكِيَّةُ فَأَجَازُوْا طَلَبَ التَّفْرِيْقَ لِلْغَيْبَةِ سَنَةً فَأَكْثَرَ، سَوَاءٌ أَكَانَتْ بِعُذْرٍ أَمْ بِدُوْنِ عُذْرٍ، كَمَا تَقَدَّمَ. فَإِذَا كَانَتْ مُدَّةُ الْحَبْسِ سَنَةً فَأَكْثَرَ جَازَ لِزَوْجَتِهِ طَلَبُ التَّفْرِيْقِ، وَيُفَرِّقُ الْقَاضِيْ بَيْنَهُمَا، بِدُوْنِ كِتَابَةٍ إِلَى الزَّوْجِ أَوْ إِنْظَارٍ. وَتَكُوْنُ الْفِرْقَةُ طَلَاقًا بَائِنًا
Artinya: “Mayoritas ulama, kecuali mazhab Maliki tidak membenarkan perceraian karena suami dipenjara, baik karena penahanan, penangkapan, atau pengasingan, sebab tidak adanya dalil syar’i yang melandasinya. Menurut mazhab Hanbali, keberadaan suami yang dipenjara dan sejenisnya tidak dianggap sebagai ghaib karena uzur. Adapun, mazhab Maliki membolehkan mengajukan gugat cerai karena ghaib yang berlangsung satu tahun atau lebih, baik dengan alasan maupun tanpa alasan sebagaimana yang telah diterangkan. Jika masa penahanan telah berlangsung satu tahun atau lebih, maka istri dapat mengajukan gugat cerai, dan hakim boleh memisahkan mereka tanpa perlu mengirimkan surat kepada pihak suami atau menunggunya, dan perceraian tersebut dikategorikan sebagai talak bain.” (Wahbah bin Mustafa Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu [Damaskus: Dar Al-Fikr Al-Mu’ashir], vol. 9, h. 7068)
Sementara itu, dalam ensiklopedia fiqih ulama Kuwait juga dijumpai pandangan yang serupa. Secara mutlak, istri tidak perkenankan untuk mengajukan permohonan cerai terhadap suami yang sedang menjalani masa tahanan, terlepas dari lamanya masa penahanan, alasan penahanan, maupun diketahui atau tidaknya keberadaan suami. Hal ini dikarenakan suami yang dipenjara statusnya masih dianggap layaknya orang yang hidup:
إِذَا حُبِسَ الزَّوْجُ مُدَّةً عَنْ زَوْجَتِهِ، فَهَلْ لِزَوْجَتِهِ طَلَبُ التَّفْرِيْقِ كَالْغَائِبِ؟ الْجُمْهُوْرُ عَلَى عَدَمِ جَوَازِ التَّفْرِيْقِ عَلَى الْمَحْبُوْسِ مُطْلَقًا، مَهْمَا طَالَتْ مُدَّةُ حَبْسِهِ، وَسَوَاءٌ أَكَانَ سَبَبُ حَبْسِهِ أَوْ مَكَانِهِ مَعْرُوْفَيْنِ أَمْ لَا، أَمَّا عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ فَلِأَنَّهُ غَائِبٌ مَعْلُوْمُ الْحَيَاةِ، وَهُمْ لَا يَقُوْلُوْنَ بِالتَّفْرِيْقِ عَلَيْهِ كَمَا تَقَدَّمَ، وَأَمَّا عِنْدَ الْحَنَابِلَةِ فَلِأَنَّ غَيَابَهُ لِعُذْرٍ. وَذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ إِلَى جَوَازِ التَّفْرِيْقِ عَلَى اْلمَحْبُوْسِ إِذَا طَلَبَتْ زَوْجَتُهُ ذَلِكَ وَادَّعَتْ الضَّرَرَ، وَذَلِكَ بَعْدَ سَنَةٍ مِنْ حَبْسِهِ، لِأَنَّ الْحَبْسَ غَيَابٌ، وَهُمْ يَقُوْلُوْنَ بِالتَّفْرِيْقِ لِلْغَيْبَةِ مَعَ عَدَمِ الْعُذْرِ، كَمَا يَقُوْلُوْنَ بِهَا مَعَ الْعُذْرِ عَلَى سَوَاءٍ كَمَا تَقَدَّمَ
Artinya: “Jika suami dipenjara dalam jangka waktu tertentu, apakah istri dapat mengajukan gugat cerai seperti halnya kasus suami yang hilang? Mayoritas ulama berpendapat bahwa mengajukan cerai istri terhadap suami yang dipenjara tidak diperbolehkan secara mutlak, baik berapa lama masa penahanannya, dan apakah sebab penahanannya atau keberadaannya diketahui atau tidak. Sementara itu, menurut pendapat mazhab Hanafi dan Syafi’i, suami dianggap sebagai orang yang hilang namun masih hidup, dan mereka tidak membolehkan perceraian dalam situasi demikian. Sedangkan, menurut pendapat mazhab Hanbali, ketidakhadiran suami disebabkan oleh alasan tertentu. Di sisi lain, mazhab Maliki membolehkan perceraian bagi suami yang dipenjara jika istri mengajukan cerai tersebut dan menyatakan bahwa ia mengalami bahaya (darar), setelah satu tahun dari masa penahanan, karena penahanan itu dianggap sebagai ghaib, dan mereka berpendapat bahwa perceraian dibolehkan meski tanpa alasan (uzur), sebagaimana terdapat uzur.” (Lembaga Wakaf dan Urusan Keislaman Kuwait, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah [CD: Al-Maktabah Asy-Syamilah], vol. 29, h. 66)
Mengacu pada referensi yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa tidak diperbolehkan bagi istri untuk menggugat cerai pasangannya, kecuali dalam kondisi di mana suami dipenjara sementara istri tidak mendapatkan nafkah yang bisa memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshari (wafat 926 H) dalam anotasinya mengungkapkan:
وَجَرَى ابْنُ الصَّلَاحِ وَشَيْخُ الْإِسْلَامِ وَكَثِيْرٌ مِنْ الْمُحَقِّقِيْنَ عَلَى أَنَّهُ إذَا تَعَذَّرَ اسْتِيْفَاءُ النَّفَقَةِ مِنْ كُلِّ الْوُجُوْهِ لِانْقِطَاعِ خَبَرِهِ أَوْ تَعَذُّرُهُ بِحَيْثُ لَا يَتَمَكَّنُ الْحَاكِمُ مِنْ جَبْرِهِ وَلَمْ يُوجَدْ لَهُ مَالٌ فُسِخَتْ بِالْحَاكِمِ قَالُوْا لِأَنَّ سِرَّ الْفَسْخِ بِالْإِعْسَارِ التَّضَرُّرُ وَهُوَ مَوْجُودٌ هُنَا وَلَوْ مَعَ الْيَسَارِ فَلَا نَظَرَ لِعَدَمِ تَحَقُّقِ الْإِعْسَارِ وَظَاهِرٌ أَنَّهُ لَا إمْهَالَ هُنَا لِأَنَّ سَبَبَ الْفَسْخِ كَمَا عَلِمْتَ هُوَ مَحْضُ التَّضَرُّرِ مِنْ غَيْرِ نَظَرٍ لِلْيَسَارِ وَالْإِعْسَارِ
Artinya: “Menurut pendapat Imam Ibn Shalah, Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshari, dan ulama Muhaqqiqin jika tidak mungkin untuk memenuhi kewajiban nafkah dari segala cara karena terputusnya berita tentang suami atau ketidakmampuannya, sehingga hakim tidak dapat memaksanya dan tidak ada harta yang dimilikinya, maka perceraian dapat dilakukan oleh hakim. Mereka berpendapat bahwa alasan perceraian dalam keadaan tidak mampu ialah adanya potensi bahaya (darar), dan hal itu terwujud pada kasus ini meskipun ia kaya. Sehingga, tidak dilihat kondisi tidak mampu. Selain itu, sudah jelas bahwa tidak ada penundaan dalam kasus ini, karena alasan perceraian seperti yang telah diketahui, semata-mata karena bahaya tanpa mempertimbangkan akan kaya atau tidak mampunya.” (Zakariya bin Muhammad bin Ahmad Al-Anshari, Al-Ghurar Al-Bahiyyah Fi Syarh Al-Bahjah Al-Wardiyyah [Mesir: Al-Maktabah Al-Maimuniyyah], vol. 4, h. 394)
Berdasarkan ketentuan hukum positif di Indonesia, khususnya Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, seorang istri berhak mengajukan permohonan pembatalan pernikahan (fasakh) apabila suaminya meninggalkan rumah tanpa izin dan kabar selama jangka waktu dua tahun.
Pasal tersebut berbunyi: “Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin dari pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena ada hal lain yang di luar kemampuannya.”
Dengan demikian, dapat disimpulkan dari penjelasan ini bahwa mayoritas ulama berpendapat istri tidak diperkenankan mengajukan gugatan cerai saat suami terlibat masalah hukum atau dipenjara, dikarenakan status suami yang dipenjara masih dianggap layaknya orang yang hidup.
Namun, jika akibat suami dipenjara tidak ada yang menafkahi istri serta memenuhi kebutuhan sehari-harinya atau ia merasa kesepian tanpa kehadiran suami dalam durasi waktu sekitar satu tahun, maka suami dianggap seperti halnya orang yang hilang (ghaib). Maka dalam situasi demikian hukumnya diperkenankan bagi istri untuk mengajukan gugatan cerai. Wallahu a’lam bis shawab.