Arina.id - Sering terjadi dikota-kota besar, dengan kepadatan lalu lintas yang sangat tinggi seperti Jakarta dan Surabaya, terjadi macet total pada jam sholat maghrib. Hal ini disebabkan arus balik para pekerja yang pulang setelah seharian berada ditempat kerja. Kondisi ini menjadikan para umat Islam pengguna jalan memilih untuk menjamak sholat Maghrib dengan jamak ta’khir. Mereka khawatir tidak bisa melaksananakan sholat Maghrib akibat terjebak macet.
Pada dasarnya, menjamak sholat memang diperbolehkan oleh fiqih Islam saat dalam perjalanan jauh yang kurang lebih berjarak 88 kilometer. Sedangkan untuk perjalanan pendek, masih terjadi perdebatan di antara para ulama. Sebagian memperbolehkan, sebagaimana dalam madzhab Syafi’i dalam qaul qadim-nya, yang banyak dipilih oleh para pengikutnya.
Perdebatan terkait kebolehan menjamak sholat dalam perjalanan pendek biasa dikaitkan dengan penduduk Makkah yang menjamak sholat ketika berada di Arafah untuk wukuf serta di Muzdalifah dan Mina untuk Mabit dalam rangkaian melempar Jumrah. Hal ini sudah dicatat oleh Syaikh Yahya al-Amrani sebagai berikut:
وَأَمَّا الجَمْعُ بِعَرَفَةَ لِأَهْلِ مَكَّةَ وَمَنْ كَانَ مُقِيْماً بِهَا: فَقَالَ الشَّيْخُ أَبُوْ حَامِدٍ: إِنْ قُلْنَا: يَجُوْزُ الجَمْعُ فِي السَّفَرِ القَصِيْرِ جَازَ لَهُمْ الجَمْعُ، وَإِنْ قُلْنَا: لَا يَجُوْزُ لَهُمْ الجَمْعُ إِلَّا فِي السَّفَرِ الطَّوِيْلِ لَمْ يَجُزْ لَهُمْ الجَمْعُ، بَلْ يُصَلُّوْنَ الظُّهْرَ فِي وَقْتِهَا، وَالعَصْرُ فِيْ وَقْتِهَا.
Artinya: "Menjamak sholat bagi penduduk Makkah di Arafah dan orang yang bermukim di sana menurut Imam Ghazali terdapat dua pendapat. Jika mengikuti yang memperbolehkan menjamak sholat dalam perjalanan pendek maka boleh menjamak, jika mengikuti pendapat yang hanya boleh jamak dalam perjalanan jauh maka mereka tidak boleh menjamak dan melakukan shalah dzuhur dan ashar di waktunya masing-masing." (Yahya bin Abil Khair al-Amrani, Al-Bayan fi Madzhabil Imam al-Syafi’i, [Jeddah:Darul Minhaj, 2000], juz 4, hal. 313.).
Menjamak sholat karena terjebak macet tidak cocok jika diarahkan kepada kebolehan jamak di rumah (non-musafir) sebab ada hajat yang mendesak. Hal ini akan menimbulkan anomali lain yang justru memunculkan kesimpulan hukum yang terkesan bias.
Perhatikan catatan Syaikh al-Syirbini berikut:
وَذَهَبَ جَمَاعَةٌ مِنْ الْأَئِمَّةِ إلَى جَوَازِ الْجَمْعِ فِي الْحَضَرِ لِلْحَاجَةِ لِمَنْ لَا يَتَّخِذُهُ عَادَةً،
Artinya: "Salah satu kelompok dari para Imam mengatakan boleh menjamak sholat dirumah (non-musafir) sebab hajat bagi orang yang tidak menjadikan hal ini sebagai rutinitas." (Al-Khathib al-Syirbini, Hasyiyah ala al-Ghuraril Bahiyah, [Al-Maimaniyah], juz 1, hal. 468.).
Catatan al-Syirbini jelas menimbulkan anomali jika diarahkan kepada kebolehan menjamak sebab terjebak macet dan dilakukan dirumah yakni ketika sudah tidak berstatus musafir. Anomali itu adalah karena praktik ini jelas sudah menjadi suatu rutinitas hari kerja yang hampir dilakukan setipa hari dalam satu pekan. Ini tentu kontras dengan catatan al-Syirbini yang membatasi menjamak sholat bagi non-musafir karena bukan suatu rutinitas.
Oleh karena itu, penulis lebih mengarahkan legalitas menjamak sholat maghrib, ketika dalam kondisi terjebak macet parah, karena kebolehan menjamak sholat bagi pelaku safar dengan jarak dekat (kurang dari 88 km.).
Jika menjamak sholat boleh dilakukan dalam perjalanan dekat, sebagaimana catatan al-Amrani yang mengutip al-Ghazali tentang qaul qadim Imam Syafi’i, maka tentunya menjamak sholat maghrib dalam kasus ini diperbolehkan. Pelaksanaan sholat jamak ini tentunya harus dilakukan di masjid atau mushala yang berada sebelum masuk batas desa atau kecamatannya. Pasalnya, ketika sudah masuk batas desa, maka bukan lagi tergolong sebagai musafir dan otomatis tidak boleh melakukan jamak sholat. Wallahu a'lam bis shawab.