Arina.id - Sholat berjamaah adalah amalan sunah yang disepakati oleh para ulama mengenai keutamaannya. Dibandingkan dengan sholat secara sendirian, sholat berjamaah memiliki keutamaan yang lebih besar. Keutamaan ini didasarkan pada pemahaman terhadap berbagai dalil yang tercantum dalam kitab-kitab hadits. Salah satu hadits bahkan menyebutkan hal ini dengan jelas:
صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلاَةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ دَرَجَةً
Artinya: “Sholat berjamaah lebih utama dibandingkan sholat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat.” (H.R. Bukhari)
Secara umum, kebiasaan di tengah masyarakat menunjukkan bahwa sholat berjamaah biasanya dilaksanakan di awal waktu terutama di lingkungan masyarakat perkotaan. Namun, di beberapa masyarakat pedesaan, khususnya untuk sholat seperti Dzuhur dan Ashar, pelaksanaan berjamaahnya sering dilakukan di pertengahan waktu.
Pasalnya, aktivitas mereka seringkali masih berlangsung seperti bekerja di sawah atau kebun ketika waktu sholat tiba. Pelaksanaan sholat berjamaahnya pun beragam, ada yang langsung dilakukan secara bersama-sama dan ada pula yang diawali dengan seseorang sholat sendirian lalu diikuti oleh orang lain yang berniat menjadi makmum.
Fenomena semacam ini kemudian menimbulkan pertanyaan apakah diperbolehkan berniat menjadi imam ketika makmum belum ada?
Niat merupakan syarat sah dalam pelaksanaan suatu ibadah. Dalam konteks sholat berjamaah, seorang imam pada dasarnya tidak diwajibkan untuk berniat menjadi imam. Hukum berniat menjadi imam hanya sebatas sunnah agar mendapatkan keutamaan sholat berjamaah. Oleh karena itu, jika seorang imam tidak berniat menjadi imam, maka ia tidak akan memperoleh keutamaan tersebut.
Syekh Wahbah Az-Zuhaili (wafat 1436 H) dalam ensiklopedi fiqihnya menjelaskan:
وَالنِّيَّةُ شَرْطٌ فِي جَمِيعِ الصَّلَاةِ، فَلَوْ شَكَّ فِي النِّيَّةِ، هَلْ أَتَى بِهَا أَوْ لَا، بَطَلَتْ صَلَاتُهُ. وَلَا يُشْتَرَطُ لِلْإِمَامِ نِيَّةُ الْإِمَامَةِ، بَلْ يُسْتَحَبُّ لِيَحُوزَ فَضِيلَةَ الْجَمَاعَةِ، فَإِنْ لَمْ يَنْوِ لَمْ تَحْصُلْ لَهُ، إِذْ لَيْسَ لِلْمَرْءِ مِنْ عَمَلِهِ إِلَّا مَا نَوَى
Artinya: “Niat menjadi syarat dalam semua pelaksanaan sholat. Bila seseorang ragu mengenai niatnya, apakah ia telah berniat atau belum maka sholatnya batal. Dan tidak diwajibkan bagi imam untuk berniat menjadi imam, akan tetapi disunahkan agar ia memperoleh keutamaan berjamaah. Apabila tidak berniat menjadi imam, maka ia tidak mendapatkan keutamaan tersebut karena seseorang hanya mendapatkan balasan dari amalnya sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (Wahbah bin Musthofa Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu [Damaskus: Dar Al-Fikr Al-Mu’ashir], vol. 1, h. 778)
Menurut pandangan Syekh Sulaiman Al-Bujairami (wafat 1221 H), seseorang yang melaksanakan sholat sendirian dianjurkan untuk berniat menjadi imam jika ia yakin atau memiliki dugaan kuat bahwa akan ada orang yang datang untuk berjamaah bersamanya. Bahkan andai pada akhirnya tidak ada yang bergabung untuk berjamaah, atau ia tidak menyadari bahwa ada orang yang bermakmum di belakangnya, sholatnya tetap sah.
سَيَصِيْرُ إِمَامًا: قَدْ يَقْتَضِي أَنَّ الْفَرْضَ فِيْمَنْ يَرْجُوْ جَمَاعَةًَ يُحَرِّمُوْنَ خَلْفَهُ أَمَّا غَيْرُهُ فَالظَّاهِرُ الْبُطْلَانُ فَلْيُحَرِّرْ قَالَ الزَّرْكَشِيُّ بَلْ يَنْبَغِي نِيَّةُ الْإِمَامَةِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ خَلْفَهُ أَحَدٌ إِذَا وَثِقَ بِالْجَمَاعَةِ وَأَقَرَّهُ فِي الْإِيْعَابِ... وَإِذَا نَوَى الْإِمَامَةَ وَالْحَالَةُ هَذِهِ وَلَمْ يَأْتِ خَلْفَهُ أَحَدٌ فَصَلَاتُهُ صَحِيْحَةٌ
Artinya: “Akan menjadi imam: Hal ini menunjukkan bahwa keharusan untuk berniat berlaku pada seseorang yang berharap ada jamaah yang mengikuti di belakangnya, serta bertakbiratul ihram di belakangnya. Adapun, selain itu yang tampak adalah batalnya sholat tersebut sehingga permasalahan ini perlu diteliti lebih lanjut. Imam Az-Zarkasyi berkata: Bahkan semestinya untuk berniat menjadi imam meskipun tidak ada seorang pun di belakangnya, bilamana ia yakin akan adanya jamaah. Pendapat ini juga diakui dalam kitab Al-I’ab. Apabila seseorang berniat menjadi imam dalam kondisi seperti ini (yaitu saat tidak ada yang mengikuti di belakangnya) dan ternyata tidak ada yang benar-benar hadir di belakangnya, maka sholatnya tetap sah.” (Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bujairami, Tuhfah Al-Habib Ala Syarh Al-Khatib [Beirut: Dar Al-Fikr], vol. 2, h. 132)
Kendati hukum berniat menjadi imam meski makmum belum ada adalah sunah, niat tersebut tidak boleh disertai dengan unsur main-main (at-talaa'ub). Jika tujuannya semata-mata untuk bercanda atau bermain-main, maka sholatnya dihukumi batal.
Ketetapan demikian seperti dijelaskan oleh Imam Ar-Ramli (wafat 1004 H) dalam kitabnya:
فَرْعٌ: الْمُتَبَادِرُ مِنْ كَلَامِهِمْ أَنَّ مَنْ نَوَى الْإِمَامَةَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنْ لَا أَحَدَ ثُمَّ يُرِيدُ الِاقْتِدَاءَ بِهِ لَمْ تَنْعَقِدْ صَلَاتُهُ لِتَلَاعُبِهِ... نَعَمْ إنْ ظَنَّ ذَلِكَ لَمْ يَبْعُدْ جَوَازُ نِيَّةِ الْإِمَامَةِ أَوْ طَلَبُهَا، ثُمَّ رَأَيْته فِي شَرْحِ الْعُبَابِ قَالَ: أَيْ الزَّرْكَشِيُّ: بَلْ يَنْبَغِي نِيَّةُ الْإِمَامَةِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ خَلْفَهُ أَحَدٌ إذَا وَثِقَ بِالْجَمَاعَةِ
Artinya: “Cabang permasalahan: Yang dipahami dari perkataan para ulama bahwasanya seseorang yang berniat menjadi imam sementara ia tahu tidak ada seorang pun yang akan bermakmum kepadanya, maka sholatnya tidak sah karena dianggap bermain-main. Iya, apabila ia menyangka ada orang yang akan bermakmum kepadanya, maka tidak jauh kemungkinan dibolehkan berniat menjadi imam atau meminta agar diikuti. Kemudian, aku (pengarang) menemukan keterangan dalam kitab Syarh Al-‘Ubab, Imam Az-Zarkasyi berkata: Bahkan, seyogyanya untuk berniat menjadi imam meski tidak ada seorang pun di belakangnya, jika ia yakin akan adanya jamaah.” (Syamsuddin Muhammad bin Abi Al-Abbas Ahmad bin Hamzah Ar-Ramli, Nihayah Al-Muhtaj Ila Syarh Al-Minhaj [Beirut: Dar Al-Fikr], vol. 2, h. 212)
Dari penjelasan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa niat menjadi imam, sedangkan makmumnya belum ada, hukumnya diperbolehkan. Jika orang yang niat menjadi Imam itu berkeyakinan atau punya dugaan kuat akan ada orang yang bermakmum kepadanya. Bahkan kendati pada akhirnya tidak ada yang jadi berjamaah kepadanya, atau ia kemudian tidak mengetahui kalau ada yang berjamaah di belakangnya, maka sholatnya tetap sah.
Hal ini berlaku dengan catatan tidak ada unsur bermain-main (at-talaa’ub). Andai ada tujuan seperti itu, maka hukum sholatnya menjadi batal.
Dengan demikian, alangkah baiknya bagi orang yang sholat sendirian agar berniat menjadi imam, ketika dia yakin akan ada yang ikut sholat bersamanya. Seandainya tidak berniat di awal, maka masih terdapat kesempatan untuk berniat di pertengahan sholat saat ada orang yang bermakmum kepadanya. Wallahu a’lam bis shawab.