Arina.id - “Bro, kayaknya kamu harus berhenti pacaran, deh. Nggak sesuai sama ajaran agama tuh. Apalagi kuliah lho berantakan semenjak pacaran dengan dia”
“Lho, kamu kok ngomong gitu, tapi aku lihat kamu juga masih jalan bareng sama pacar kamu. Sama aja, kan?"
“Benar sih, aku tahu kok, aku juga sadar masih belum benar. Tapi, aku ngomong ini karena aku peduli. Pacaran itu nggak baik, dan aku juga lagi usaha buat berhenti.”
“Hmm, iya sih, tapi kalau mau kasih nasihat, mending kamu benerin diri dulu, bro. Kalau nggak, ya kayak nggak ada efeknya.”
Begitulah kira-kira dialog yang acapkali kita temui dalam keseharian. Ketika seseorang mencoba menasihati orang lain agar menjauhi maksiat seperti pacaran, sering kali respons yang didapat adalah kritik balik terhadap kehidupan pribadi si pemberi nasihat, bahkan kadangkala dikatakan “sok suci”. Akibatnya, banyak orang merasa enggan menasihati orang lain dengan alasan mereka sendiri juga tau diri belum sepenuhnya bersih dari kesalahan yang sama.
Lantas, apakah benar seseorang yang masih melakukan maksiat tidak boleh mengingatkan atau menegur orang lain untuk menjauhi dosa?
Kewajiban Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Dalam Islam, amar ma’ruf nahi munkar (memerinth kebaikan dan melaranag keburukan) adalah menjadi kewajiban setiap Muslim. Allah Swt berfirman dalam Al-Qur’an:
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ
Artinya: "Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, serta beriman kepada Allah." (QS. Ali ‘Imran: 110)
Rasulullah SAW juga bersabda:
مَنْ رَأَىٰ مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
Artinya: “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah mengubahnya dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman.” (Fathul Mun’im Syarah Sahih Muslim, juz 1 halaman 181 hadis ke 81)
Dr Mustafa Syahin dalam kitabnya Fathul Mun’im Syarah Sahih Muslim menjelaskan terkait hadis ini bahwa amar ma'ruf nahi munkar adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap orang yang mampu. hal ini hukumnya adalah fardhu kifayah, artinya jika sebagian orang sudah melakukannya, kewajiban ini gugur dari yang lain.
Namun, jika tidak ada seorang pun yang melakukannya, maka semua yang mampu tanpa uzur akan berdosa. Dalam situasi tertentu, kewajiban ini bisa menjadi fardhu 'ain, misalnya jika hanya seseorang yang tahu adanya kemungkaran atau hanya dia yang mampu mencegahnya, seperti menasihati anggota keluarga yang melakukan kesalahan.
Lebih lanjut Dr Mustafa Syahin menjelaskan cara dan tingkatan mencegah kemungkaran, dalam amar ma’ruf nahi munkar. Dimulai dengan cara yang paling ringan, yakni menasihati atau mengingatkan dengan lisan. Jika tidak berhasil dan si penasihat memiliki kemampuan, baru beralih ke tindakan fisik.
Namun, jangan langsung menggunakan cara yang berat jika cara ringan bisa menyelesaikan masalah. Terkadang, pelaku kemungkaran hanya tidak tahu bahwa apa yang dilakukannya itu salah, sehingga cukup dengan diberi tahu, dia bisa berhenti.
Tidak Harus Sempurna untuk Amar Ma'ruf Nahi Munkar
Terkait apakah benar seseorang yang masih melakukan maksiat tidak boleh menegur orang lain untuk menjauhi dosa, Syaikh Abu Bakar Syatha Ad Dimyathi dalam kitabnya I’anah At Thalibin juz 4 halaman 208 menjelaskan bahwa seseorang yang belum sempurna dalam menjalankan apa yang dia dakwahkan, tetap berkewajiban untuk menyampaikan kebenaran dan melarang keburukan. Baik itu kepada dirinya sendiri maupun kepada orang lain.
Sebagai contoh, seseorang yang belum sempurna menjaga sholat tetap wajib mengingatkan orang lain tentang pentingnya sholat. Begitu pula, seseorang yang masih memiliki kekurangan dalam akhlak tetap berkewajiban untuk mencegah kemungkaran yang dia temui.
وَلَا يُشْتَرَطُ فِي الْآمِرِ وَالنَّاهِي كَوْنُهُ مُمتَثِلًا مَا يَأْمُرُ بِهِ مُجْتَنِبًا مَا يَنْهَى عَنْهُ، بَلْ عَلَيْهِ أَنْ يَأْمُرَ وَيَنْهَى نَفْسَهُ وَغَيْرَهُ، فَإِنِ اخْتَلَّ أَحَدُهُمَا لَمْ يَسْقُطِ الْآخَرُ
Artinya: ”Tidak disyaratkan bagi seseorang yang memerintahkan kebaikan atau mencegah kemungkaran untuk sepenuhnya melaksanakan apa yang dia perintahkan atau meninggalkan apa yang dia larang. Dia tetap wajib memerintahkan dirinya sendiri dan orang lain untuk melakukan kebaikan serta meninggalkan kemungkaran. Jika salah satu dari kewajiban itu tidak terpenuhi, kewajiban lainnya tidak otomatis gugur.”
Dari ulasan ini dapat disimpulkan bahwa amar ma'ruf nahi munkar adalah kewajiban yang tidak mensyaratkan kesempurnaan pribadi. Oleh karenanya seorang Muslim bertanggung jawab untuk menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, baik kepada dirinya sendiri maupun orang lain.
Tidak ada alasan untuk menunda menyeru kebaikan hanya karena merasa belum sempurna. Justru, melalui kewajiban ini, kita dapat terus belajar dan berkembang bersama. Dengan niat yang ikhlas dan usaha yang tulus, amar ma'ruf nahi munkar bisa menjadi sarana perbaikan diri sekaligus membawa manfaat bagi orang-orang di sekitar kita. Mari mulai dari langkah kecil, karena kebaikan yang konsisten akan membawa dampak besar. Wallahu a’lam bissawab.
Ahmad Yaafi Kholilurrohman
Penikmat Insight Keislaman, Alumni Ma'had Aly Situbondo, Jawa Timur