Puasa Ramadhan merupakan kewajiban setiap Muslim yang telah memenuhi syarat. Akan tetapi, tak jarang ditemukan beberapa orang yang berhalangan untuk melakukan puasa Ramadhan selama sebulan penuh. Hal ini bisa dikarenakan faktor adanya uzur seperti halnya sakit keras, menstruasi, wanita hamil dan menyusui, serta yang lainnya.
Kewajiban puasa yang terlewat itu kemudian bisa diganti di luar bulan Ramadhan seperti bulan Syawal hingga tiba Ramadhan berikutnya. Hal ini disebut dengan istilah qadha. Lantas, bagaimana jika seseorang lupa jumlah hari puasa Ramadhan yang ditinggalkannya?
Berdasarkan ketentuan fiqih, tatkala seseorang memiliki tanggungan puasa Ramadhan yang terlewat, maka kewajiban tersebut tetap berlaku dan harus ditunaikan dengan segera. Sehingga, bila dijumpai seseorang yang lupa berapa jumlah puasa yang ia tinggalkan, maka puasa itu harus diqadhainya hingga yakin sudah dilakukan semua.
Syekh Abdul Hamid Asy-Syirwani (wafat 1301 H) dalam anotasinya menjelaskan:
وَلَوْ عَلِمَ أَنَّهُ صَامَ بَعْضَ اللَّيَالِيْ وَبَعْضَ الْأَيَّامِ وَلَمْ يَعْلَمْ مِقْدَارَ الْأَيَّامِ الَّتِيْ صَامَهَا فَظَاهِرٌ أَنَّهُ يَأْخُذُ بِالْيَقِينِ فَمَا تَيَقَّنَهُ مِنْ صَوْمِ الْأَيَّامِ أَجْزَأَهُ وَقَضَى مَا زَادَ عَلَيْهِ
Artinya: “Apabila terdapat seseorang yang mengetahui bahwa dirinya berpuasa sebagian jatuh pada malam hari (karena tinggal di daerah yang tidak diketahui batas siang dan malamnya), dan sebagian jatuh pada siang hari. Sedangkan dia tidak mengetahui jumlah puasa yang dikerjakan pada siang harinya, maka menurut pendapat yang jelas orang itu wajib mengambil hitungan yang diyakininya, maka hitungan puasa siang hari yang diyakininya itu cukup baginya (untuk dijadikan jumlah puasa siang harinya) dan wajib mengqadha’ sisa puasa yang dilakukan pada malam harinya.” (Abdul Hamid Asy-Syirwani, Hawasyi Asy-Syarwani wa Ibn Qasim Al-‘Ubadi [Mesir: Al-Maktabah At-Tijariyyah Al-Kubra], vol. 3, h. 396)
Sementara itu, Imam Ibn Hajar Al-Haitami (wafat 976 H) lebih menganjurkan agar orang yang lupa jumlah beban puasanya untuk memperbanyak puasa sunah dengan niatan mengqadha tanggungan puasa Ramadhan. Imam Ibn Hajar Al-Haitami melalui fatwanya menganalogikan persoalan keraguan qadha puasa ini sebagaimana dalam konteks wudhu:
وَيُؤْخَذُ مِنْ مَسْأَلَةِ الْوُضُوءِ هَذِهِ أَنَّهُ لَوْ شَكَّ أَنَّ عَلَيْهِ قَضَاءً مَثَلًا فَنَوَاهُ إنْ كَانَ، وَإِلَّا فَتَطَوُّعٌ صَحَّتْ نِيَّتُهُ أَيْضًا وَحَصَلَ لَهُ الْقَضَاءُ بِتَقْدِيرِ وُجُودِهِ بَلْ، وَإِنْ بَانَ أَنَّهُ عَلَيْهِ وَإِلَّا حَصَلَ لَهُ التَّطَوُّعُ كَمَا يَحْصُل لَهُ فِي مَسْأَلَةِ الْوُضُوءِ... وَبِهَذَا يُعْلَمُ أَنَّ الْأَفْضَلَ لِمُرِيدِ التَّطَوُّعِ بِالصَّوْمِ أَنْ يَنْوِيَ الْوَاجِبَ إنْ كَانَ عَلَيْهِ وَإِلَّا فَالتَّطَوُّع، لِيَحْصُلَ لَهُ مَا عَلَيْهِ إنْ كَانَ
Artinya: “Dari masalah wudhu ini (kasus orang yang yakin sudah hadats dan ragu sudah bersuci atau belum, lalu ia wudhu dengan niat menghilangkan hadats bila memang hadats, dan bila tidak maka niat memperbarui wudhu, maka sah wudhunya) dapat dipahami bahwa jika seseorang ragu memiliki kewajiban untuk mengqadha puasa misalnya, lantas ia berniat mengqadhanya bila memang punya kewajiban qadha puasa, dan jika tidak dengan niat puasa sunah maka niatnya juga sah, dan qadha puasanya bisa hasil dengan mengira-ngirakan kewajiban qadhanya.” (Ahmad bin Muhammad bin Ali Ibn Hajar Al-Haitami, Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra [Beirut: Al-Maktabah Al-Islamiyyah], vol. 2, h. 90)
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwasanya dalam tinjauan fiqih mazhab Syafi’i, tatkala seseorang memiliki keharusan qadha puasa Ramadhan yang terlewat namun tidak diketahui berapa jumlah pastinya, maka diharuskan untuk mengqadhanya hingga yakin sudah dilakukan semua.
Hendaknya, agar orang yang lupa jumlah keharusan puasa untuk memperbanyak puasa sunah dengan niatan mengqadha tanggungan puasa Ramadhan. Apabila qadha puasa wajibnya telah selesai ditunaikan lalu ia terus mengqadha puasa tersebut maka selebihnya itu mendapatkan pahala puasa sunah. Wallahu a’lam bis shawab.