Baru-baru ini, viral di media sosial video dengan durasi singkat yang memperlihatkan aksi tidak menyenangkan dari seorang juru parkir. Pengendara yang hendak memarkir kendaraannya itu sontak terkejut saat diminta membayar biaya parkir yang sangat mahal, yakni berkisar 150 ribu.
Peristiwa ini kerap disebut sebagai getok parkir, yakni praktik penarikan biaya parkir yang jauh di atas tarif resmi pemerintah oleh juru parkir.
Pelaku praktik getok parkir umumnya bukan petugas parkir yang terdaftar dan diawasi oleh Dinas Perhubungan. Karena tidak terikat aturan resmi, mereka bebas menentukan tarif seenaknya.
Kelangkaan tempat parkir membuat sebagian pengendara terpaksa parkir di sembarang tempat, sehingga menjadi sasaran empuk bagi para pelaku getok parkir. Melihat fenomena demikian, lantas bagaimana hukum mematok tarif kendaraan liar?
Dalam Islam, pungutan liar atau yang dikenal dengan istilah pungli disebut sebagai al-maksu yaitu tindakan mengambil harta benda orang lain tanpa hak dan tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Syekh Ibn Manzur (wafat 711 H) dalam kitabnya menjelaskan:
الْمَكْسُ: دَرَاهِمُ كَانَتْ تُؤْخَذُ مِنْ بَائِعِ السِّلَعِ فِيْ الْأَسْوَاقِ فِيْ الْجَاهِلِيَّةِ
Artinya: “Al-maksu merupakan sejumlah dirham yang dipungut dari para pedagang di pasar-pasar pada masa jahiliyah.” (Ibn Manzur, Lisan Al-Arab [Beirut: Dar As-Shadir], vol. 6, h. 220)
Tindakan pungli termasuk dosa besar dan paling buruk-buruknya maksiat karena merampas harta orang lain secara zalim, bahkan tindakan ini sama kejinya dengan perbuatan mencuri. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT secara tegas melarang mengambil harta orang lain dengan cara yang batil:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: “Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 188)
Pelaku pungli tidak hanya akan menanggung beban dosa besar, namun juga mendapat ancaman tidak dapat masuk surga. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam salah satu hadits, Nabi Muhammad SAW bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ
Artinya: “Tidak akan masuk surga pelaku pungutan liar.” (H.R. Ahmad)
Menurut pandangan Syekh Badruddin Al-Aini Al-Hanafi (wafat 855 H) hadits tersebut di arahkan kepada orang yang mengambil harta orang lain secara zalim, yaitu mereka yang melakukan pungutan liar:
هَذا مَحمُوْلٌ عَلَى مَنْ يَأخُذُ أَمْوَالَ الْنَّاسِ ظُلْمًا وَهُمْ الْقَوْمُ المَكَاسُوْنَ الَّذِيْنَ يَأْخُذُوْنَ مِنَ التُّجَّارِ فِي مِصْرِ وَالشَّامِ وَحَلَبِ، فِيْ أَكْثَرَ مِنْ عَشَرَةِ مَوَاضِعَ ظُلْمًا وَعُدْوَانًا
Artinya: “Hadits ini ditujukan kepada mereka yang mengambil harta orang lain secara zalim, yaitu orang-orang yang melakukan pungutan liar, yang mengambil dari para pedagang di Mesir, Syam, dan Aleppo, di lebih dari sepuluh tempat secara zalim dan sewenang-wenang.” (Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad Badruddin Al-Aini, Al-Binayah Syarh Al-Hidayah [Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah], vol. 3, h. 390)
Imam An-Nawawi (wafat 676 H) dalam karyanya menyatakan bahwa pungli merupakan dosa besar. Beliau berpendapat bahwa tindakan demikian dapat merugikan serta menzalimi orang lain, sebab merupakan pengambilan harta yang tidak sah bahkan penyalurannya pun tidaklah tepat:
أَنَّ الْمَكْسَ مِنْ أَقْبَحِ الْمَعَاصِيْ وَالذُّنُوْبِ الْمُوْبِقَاتِ وَذَلِكَ لِكَثْرَةِ مُطَالَبَاتِ النَّاسِ لَهُ وَظَلَامَاتِهِمْ عِنْدَهُ وَتَكَرُّرِ ذَلِكَ مِنْهُ وَانْتِهَاكِهِ لِلنَّاسِ وَأَخْذِ أَمْوَالِهِمْ بِغَيْرِ حَقِّهَا وَصَرْفِهَا فِي غَيْرِ وَجْهِهَا
Artinya: “Sesungguhnya, perbuatan al-maksu (pungutan liar) adalah salah satu maksiat terburuk dan merupakan dosa besar. Hal ini disebabkan pungutan liar sering kali memaksa orang lain untuk membayarnya, menganiaya mereka secara berulang-ulang, dan memaksakan untuk membayar kepada masyarakat. Selain itu, tindakan ini juga mencakup mengambil harta orang lain tanpa hak serta menyalurkannya dengan cara yang tidak tepat.” (Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Syarh An-Nawawi Ala Muslim [Beirut: Dar Ihya At-Turats Al-Arabi], vol. 11, h. 203)
Sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Imam An-Nawawi di atas. Syekh Abdurrauf Al-Munawi (wafat 1031 H) dalam kitabnya menerangkan bahwa tindakan pungutan liar mirip dengan tindakan merampok serta lebih buruk daripada mencuri:
قَالَ الطَّيِّبِيُّ: وَفِيْهِ أَنَّ الْمَكْسَ مِنْ أَعْظَمِ الْمُوْبِقَاتِ وَعَدَّهُ الذَّهَبِيُّ مِنَ الْكَبَائِرِ ثُمَّ قَالَ: فِيْهِ شُبْهَةُ مَنْ قَاطَعَ الْطَّرِيْقَ وَهُوَ شَرٌّ مِنَ اللِّصِّ فَإِنْ عَسَفَ النَّاسُ وَجَدَّدَ عَلَيْهِمْ ضَرَائِبَ فَهُوَ أَظْلَمُ وَأَغْشَمُ مِمَّنْ أَنْصَفَ فِيْ مَكْسِهِ
Artinya: “Imam At-Thayibi berkata: Dalam hal ini, Al-Maksu termasuk daripada paling buruknya perbuatan buruk. Imam Adz-Dzahabi bahkan menganggapnya sebagai salah satu dosa besar. Beliau mengatakan: Perbuatan demikian mirip dengan tindakan perampok, dan lebih buruk daripada pencuri. Apabila ia menganiaya seseorang dan memberlakukan pungutan baru kepada mereka, maka ia lebih zalim dan lebih kejam daripada orang yang adil dalam memungut pajak.” (Abdurrauf Al-Munawi, Faidh Al-Qadir Syarh Al-Jami’ Ash-Shagir [Mesir: Al-Maktabah At-Tijariyyah Al-Kubra], vol. 6, h. 449)
Walhasil, dari uraian yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwasanya praktik getok parkir atau mematok tarif kendaraan melebihi regulasi yang telah ditetapkan oleh pihak pemerintah termasuk ilegal.
Perbuatan pungutan liar tersebut hukumnya diharamkan. Dengan demikian, pemerintah diharapkan untuk lebih aktif dalam mengawasi kinerja para juru parkir dan memberikan sanksi tegas kepada juru parkir liar yang melakukan pelanggaran serta merugikan masyarakat. Wallahu a’lam bis shawab.