Arina.id - Islam memerintahkan seorang anak untuk berbakti kepada orang tua, terutama ibu, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an dan hadits. Namun, bagaimana jika ibu memerintahkan sesuatu yang besar seperti meminta anaknya bercerai? Dalam kasus ini, Islam memberikan panduan yang bijak agar anak dapat mengambil keputusan yang sesuai dengan syariat, menjaga hubungan dengan ibu, sekaligus mempertimbangkan maslahat pernikahannya.
Terkait persoalan perceraian, ada sabda Nabi yang sangat terkenal, yakni:
أبغض الحلال إلى الله الطلاق
Artinya: "Kehalalan yang paling dibenci oleh Allah adalah perceraian."
Hadits ini menekankan agar umat Islam tidak bersikap ceroboh dan menggampangkan dalam urusan perceraian. Meskipun perceraian diperbolehkan jika berlandaskan alasan syar’i, namun sebaiknya hal tersebut dihindari jika masih ada jalan keluar yang menghadirkan maslahat lebih.
Dalam hadits yang lain, Rasulullah SAW juga bersabda:
ما زال جبريل يوصيني بالنساء حتى ظننت أنه سيحرم طلاقهن
Artinya: "Malaikat Jibril terus menerus berpesan tentang para wanita sampai-sampai aku mengira menceraikan mereka akan diharamkan."
Para ulama memahami hadits tersebut sebagai bagian dari upaya “menutup pintu” untuk urusan perceraian.
Berbakti kepada Ibu Adalah Kewajiban
Persoalan dilematis adalah bagaimana jika ada saran atau perintah dari seorang ibu untuk bercerai? Satu sisi ada semangat dalam Islam untuk mempertahankan pernikahan, namun di sisi lain ada pula perintah tegas untuk berbakti kepada seorang ibu.
Harus kita pahami bahwa berbakti kepada ibu adalah kewajiban utama seorang anak dalam Islam. Allah SWT berfirman dalam surat Luqman ayat 14:
وَوَصَّيْنَا ٱلْإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُۥ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَٰلُهُۥ فِى عَامَيْنِ أَنِ ٱشْكُرْ لِى وَلِوَٰلِدَيْكَ إِلَىَّ ٱلْمَصِيرُ
Artinya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”.
Dalam sebuah hadits yang sangat masyhur, Rasulullah SAW juga menegaskan untuk selalu memprioritaskan ibu melalui sabda beliau: “Ibumu, ibumu, ibumu, lalu ayahmu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun harus diingat, ketaatan kepada ibu bukan berarti mengikuti segala perintah tanpa melihat konteksnya, terutama jika perintah itu bertentangan dengan syariat.
Menimbang Maslahat dan Mudharat
Ketika ibu meminta anak menceraikan istrinya, penting untuk mencari tahu alasan di balik permintaan tersebut. Apakah alasannya berdasarkan kebenaran (seperti istri melakukan dosa besar atau merusak rumah tangga), atau karena alasan emosional yang kurang mendasar?
Sebagai bahan pertimbangan, pernah terjadi peristiwa ketika Sahabat Abbdullah bin Umar yang diperintah oleh ayahnya yakni Umar bin Khattab untuk menceraikan istrinya dan Rasulullah menyetujui perintah sang ayah:
كَانَتْ تَحتِى اِمْرَأَةٌ وَكُنْتُ أُحِبُّهَا، وَكَانَ عُمَرُيَكْرَهُهَا،فَقَالَ لِى :طَلِّقْهَا، فَأَبَيْتُ، فَأَتَى عُمَرُ رضى اللَّه عنه النَّبِيِّ صلّى اللّه عليه وسلم، فَدَكَرَذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صلّى اللّه عليه وسلم : طَلِّقْهَا
Artinya: “Aku mempunyai seorang istri serta mencintainya dan Umar tidak suka kepada istriku. Kata Umar kepadaku, ‘Ceraikanlah istrimu’, lalu aku tidak mau, maka Umar datang kepada Nabi SAW dan menceritakannya, kemudian Nabi SAW berkata kepadaku, ‘Ceraikan istrimu’” (HR. Abu Dawud 5138, Tirmidzi 1189, dan Ibnu Majah 2088)
Terdapat pula sebuah peristiwa ketika Sahabat Abu Darda RA didatangi oleh seseorang yang curhat tentang ibunya yang menyuruhnya untuk menceraikan istrinya. Tanggapan Sahabat Abu Darda ialah agar ia menuruti ibunya:
إِنِّ لِى امْرَأَةً وَإِنِّ أُمِّى تَأْمُرُنِى بِطَلاَقِهَا؟ فَقَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَلهِّ صلّى اللّه عليه وسلم يَقُولُ (الوَالِدُ أَوْسَطُ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ) فَإِنْ شِئْتَ فَاضشعْ ذَلِكَ الْبَابِ أَوِاحْفَظْهُ
Artinya: “Sesunggguhnya aku mempunyai seorang istri dan ibuku menyuruh untuk menceraikannya. Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Orang tua itu adalah sebaik-baik pintu surga, seandainya kamu mau maka jagalah pintu itu jangan engkau sia-siakan maka engkau jaga.” (HR. Tirmidzi)
Namun, ulama menjelaskan bahwa konteks perintah ini relevan jika alasan perceraian benar-benar sesuai dengan syariat dan membawa maslahat. Terbukti, suatu ketika, saat Imam Ahmad ditanyai soal bolehkah menceraikan istri karena perintah orangtua, beliau mengatakan tidak. Saat diingatkan tentang peristiwa Umar yang menyuruh anaknya untuk menceraikan istrinya, beliau menjawab: “Boleh kamu taati orang tua, jika bapakmu sama dengan Umar, karena Umar memutuskan sesuatu tidak dengan hawa nafsu.“
Tetap Berbakti Tanpa Menzalimi Istri
Jika permintaan ibu tidak didasarkan pada alasan yang sah menurut syariat, seorang anak tetap wajib menghormati ibunya dengan cara yang baik, namun tidak harus mengikuti perintah tersebut. Allah SWT berfirman dalam surat Luqman ayat 15:
وَإِن جَٰهَدَاكَ عَلَىٰٓ أَن تُشْرِكَ بِى مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِى ٱلدُّنْيَا مَعْرُوفًا ۖ
Artinya: "Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik..."
Dalam konteks ini, seorang anak dapat tetap menjaga kehormatan ibunya sambil menjelaskan bahwa keputusan untuk mempertahankan pernikahan adalah demi kebaikan.
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa ketika ibu meminta anak untuk menceraikan istrinya, keputusan tidak bisa diambil secara emosional. Sebagai seorang Muslim, anak harus menimbang antara kewajiban berbakti kepada ibu dan tanggung jawab menjaga keutuhan rumah tangga. Jika permintaan ibu tidak berdasarkan alasan syar’i, anak boleh mempertahankan pernikahannya sambil tetap berbakti kepada ibu dengan sikap lemah lembut dan penuh penghormatan.
Semoga Allah memberikan hikmah dan petunjuk kepada siapa saja yang menghadapi ujian semacam ini, sehingga mampu menjalani semuanya sesuai dengan tuntunan Islam. Wallahu a'lam bis shawab.