Kasus kekerasan terhadap anak kembali mencuat ke permukaan. Kali ini, seorang ibu terekam CCTV melakukan aksi kejinya. Ia tega menyiksa anak kandungnya sendiri hingga mengalami luka-luka serius. Dalam video itu, diperlihatkan si ibu menginjak perut dan memukuli punggung anaknya dengan sabuk hingga memar parah.
Korban yang tak kuasa menahan rasa sakit hanya bisa menangis dan memohon ampun. Kejadian ini terungkap setelah korban mengadu pada gurunya. Pelaku kini telah ditetapkan sebagai tersangka. Lantas, apakah boleh orang tua memukul anak dalam hukum Islam?
Anak merupakan karunia yang sangat berharga, layaknya permata yang menghiasi kehidupan orang tua. Namun, kehadiran anak juga bisa menjadi ujian yang harus dihadapi dengan penuh kesabaran. Allah SWT memberikan petunjuk tentang hal ini dalam Al-Qur’an:
الْمالُ وَالْبَنُوْنَ زِيْنَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا
Artinya: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, sedangkan amal kebajikan yang abadi (pahalanya) adalah lebih baik balasannya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Q.S. Al-Kahfi [18]: 46)
Di samping kewajiban memberikan nafkah, orang tua juga memiliki tanggung jawab moral untuk menanamkan nilai-nilai keagamaan pada diri anak, termasuk tata cara ibadah seperti halnya sholat dan wudhu. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
مُرُوْا أَوْلَادَكُمْ بِالْصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ سِنِيْنَ وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِيْ الْمَضَاجِعِ
Artinya: “Perintahkan anak-anak kalian untuk melaksanakan sholat tatkala mereka sudah berusia tujuh tahun, dan pukul lah mereka saat mencapai usia sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka.” (H.R. Abu Dawud)
Mengacu pada hadits ini, Imam Ar-Rafii (wafat 676 H) berpendapat bahwa orang tua memiliki kewajiban untuk mengajarkan tata cara ibadah, seperti bersuci dan sholat kepada anak-anaknya sejak usia tujuh tahun. Jika sang anak tidak mau melaksanakannya saat berusia sepuluh tahun, maka orang tua boleh untuk memukulnya dalam rangka mendidik:
قَالَ الرَّافِعِيُّ قَالَ الْأَئِمَّةُ يَجِبُ عَلَى الْآبَاءِ وَالْأُمَّهَاتِ تَعْلِيْمُ أَوْلَادِهِمْ الطَّهَارَةَ وَالصَّلَاةَ وَالشَّرَائِعَ بَعْدَ سَبْعِ سِنِيْنَ وَضَرْبُهُمْ عَلَى تَرْكِهَا بَعْدَ عَشْرِ سِنِيْنَ
Artinya: “Imam Ar-Rafii berkata: para imam berkata: diwajibkan bagi para ayah dan ibu untuk mengajari anak-anak mereka cara bersuci, sholat dan berbagai ajaran syariat setelah umur tujuh tahun, dan memukul mereka jika meninggalkannya setelah berumur sepuluh tahun.” (Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu Syarh Al-Muhadzab [Beirut: Dar Al-Fikr], vol. 3, h. 11)
Orang tua boleh memukul anak dalam rangka mendidiknya, hal itu sebagai bentuk pelajaran bagi si anak, bukan laksana hukuman. Tindakan pemukulan tersebut dilakukan ketika si anak meninggalkan sholat saat umur sepuluh tahun, atau tidak mau berpuasa dan melaksanakan kebaikan-kebaikan lainnya, ataupun saat si anak berperilaku buruk.
Orang tua dapat memukul anak yang enggan melakukan kewajiban, seperti meninggalkan sholat atau berpuasa. Namun, metode yang digunakan haruslah didasarkan pada kasih sayang dan bertujuan untuk membimbing anak agar kembali ke jalan yang benar, bukan semata-mata untuk menghukum atau menghakiminya.
Sebab pukulan ayah kepada anak itu semacam bentuk pendidikan, bukan takzir:
مِنَ الْأَصْحَابِ مَنْ يَخُصُّ لَفَظَ التَّعْزِيْرِ بِضَرْبِ الْإِمَامِ أَوْ نَائِبِهِ لِلتَّأْدِيْبِ فِي غَيْرِ حَدٍّ، وَيُسَمَّى ضَرْبَ الزَّوْجِ زَوْجَتَهُ، وَالْمُعَلِّمِ الصَّبِيَّ، وَالْأَبِ وَلَدَهُ تَأْدِيْبًا لَا تَعْزِيْرً... وَالْأَبُ يُؤَدِّبُ الصَّغِيْرَ تَعْلِيْمًا وَزَجْرًا عَنْ سَيْءِ الْأَخْلَاقِ... وَيُشْبِهُ أَنْ تَكُوْنَ الْأُمُّ فِيْ زَمَنِ الصَّبِيِّ فِي كَفَالَتِهِ كَذَلِكَ كَمَا ذَكَرْنَا فِي تَعْلِيْمِ أَحْكَامِ الطَّهَارَةِ وَالصَّلَاةِ وَالْأَمْرِ بِهَا وَالضَّرْبِ عَلَيْهَا أَنِ الْأُمَّهَاتِ كَالْآبَاءِ
Artinya: “Di antara Ashab Syafi’i ada yang mengkhususkan istilah takzir dengan pukulan yang diberikan oleh seorang imam atau wakilnya dalam rangka mendidik tanpa batasan tertentu, dan menganggap pukulan suami kepada istri, guru kepada murid, dan ayah kepada anak sebagai bentuk pendidikan, bukan takzir. Ayah mendidik anak kecil dengan cara mengajarkan dan menegur mereka dari perilaku buruk. Selain itu, ibu juga memiliki peran dalam mendidik anak pada masa kecilnya, sebagaimana yang telah disebutkan dalam pengajaran tentang hukum bersuci, sholat, dan perintah untuk melaksanakannya, serta mendisiplinkan mereka untuk itu, sehingga para ibu juga sama pentingnya dengan para ayah.” (Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Raudhah At-Thalibin Wa Umdah Al-Muftiyin [Beirut: Al-Maktab Al-Islami], vol. 10, h. 175)
Meskipun ada pendapat yang membolehkan tindakan memukul anak, akan tetapi orang tua harus ingat bahwa perbuatan itu bukan berarti serta-merta memberikan izin untuk melakukan kekerasan terhadap anak. Pemukulan hanya boleh dilakukan sebagai upaya terakhir dan dengan cara yang tidak menyakiti anak baik secara fisik maupun mental.
Merujuk ensiklopedia fiqih ulama Kuwait, jika langkah memukul dianggap perlu maka harus dilakukan dengan bijaksana dan sesuai dengan ketentuan tertentu. Pertama, perbuatan tersebut harus memiliki tujuan yang jelas demi kebaikan anak. Kedua, dilakukan dengan cara yang tidak menyakitkan. Ketiga, menghindari bagian tubuh yang sensitif seperti wajah.
كَذَلِكَ يُشْتَرَطُ فِيْ الضَّرْبِ عِنْدَ مَشْرُوْعِيَّةِ اللُّجُوْءِ إِلَيْهِ أَنْ يَغْلِبَ عَلَى الظَّنِّ تَحْقِيْقُهُ لِلْمَصْلَحَةِ الْمَرْجُوَّةِ مِنْهُ، وَأَنْ يَكُوْنَ غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلاَ شَاقٍّ، وَأَنْ يَتَوَقَّى فِيْهِ الْوَجْهَ وَالْمَوَاضِعَ الْمُهْلِكَةَ
Artinya: “Begitu pula, dalam hal kebolehan untuk menggunakan pukulan harus dipastikan bahwa ada keyakinan yang kuat bahwa tindakan tersebut akan mencapai kemaslahatan yang diharapkan, serta harus dilakukan dengan prosedur yang tidak menyakitkan atau menyiksa, dan harus menghindari pukulan di area wajah dan bagian-bagian tubuh yang vital.” (Lembaga Wakaf dan Urusan Keislaman Kuwait, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah [CD: Al-Maktabah Asy-Syamilah], vol. 45, h. 171)
Menurut pandangan Sulthan Al-Ulama Syekh Izzudin bin Abdissalam (wafat 660 H), tujuan pendidikan berorientasi pada kemaslahatan anak. Jika memukul itu justru akan membahayakan anak atau tidak menghasilkan kemaslahatan, maka perbuatan itu tidak perlu dilakukan kendati dengan alasan mendidik. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan daripada pendidikan adalah untuk memperbaiki perilaku anak dengan cara yang baik.
Selain itu, memukul anak hanya dibolehkan sebagai upaya terakhir dan dengan cara yang tidak menyakitkan. Jika tujuan pendidikan tidak bisa tercapai dengan cara tersebut, maka memukul, baik yang ringan maupun yang berat juga tidak dibenarkan. Lantaran, tindakan demikian hanyalah perantaran untuk mencapai tujuan, dan jika tujuannya tidak tercapai maka wasilah itu menjadi tidak berguna:
الْمِثَالُ الرَّابِعُ: ضَرْبُ الصِّبْيَانِ عَلَى تَرْكِ الصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ، وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ الْمَصَالِحِ. فَإِنْ قِيلَ: إذَا كَانَ الصَّبِيُّ لَا يُصْلِحُهُ إلَّا الضَّرْبُ الْمُبَرِّحُ فَهَلْ يَجُوزُ ضَرْبُهُ تَحْصِيلًا لِمَصْلَحَةِ تَأْدِيبِهِ؟ قُلْنَا لَا يَجُوزُ ذَلِكَ، بَلْ يَجُوزُ أَنْ يَضْرِبَهُ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ؛ لِأَنَّ الضَّرْبَ الَّذِي لَا يُبَرِّحُ مَفْسَدَةٌ، وَإِنَّمَا جَازَ لِكَوْنِهِ وَسِيلَةً إلَى مَصْلَحَةِ التَّأْدِيبِ، فَإِذَا لَمْ يَحْصُلْ التَّأْدِيبُ سَقَطَ الضَّرْبُ الْخَفِيفُ، كَمَا يَسْقُطُ الضَّرْبُ الشَّدِيدُ؛ لِأَنَّ الْوَسَائِلَ تَسْقُطُ بِسُقُوطِ الْمَقَاصِدِ. فَإِنْ قِيلَ: إذَا كَانَ الْمُعَزَّرُ الْبَالِغُ لَا يَرْتَدِعُ عَنْ مَعْصِيَتِهِ إلَّا بِتَعْزِيرٍ مُبَرِّحٍ فَهَلْ يَلْحَقُ بِالصَّبِيِّ؟ قُلْنَا: لَا يَلْحَقُ بِهِ بَلْ نُعَزِّرُهُ تَعْزِيرًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَنَحْبِسُهُ مُدَّةً يُرْجَى فِيهَا صَلَاحُهُ
Artinya: “Contoh keempat: Memukul anak-anak karena meninggalkan sholat, puasa, dan hal-hal baik lainnya. Jika dikatakan bahwa anak tersebut tidak bisa diperbaiki kecuali dengan pukulan yang menyakitkan, maka apakah diperbolehkan memukulnya untuk mendapatkan kemaslahatan demi pendidikannya? Kami menjawab bahwa hal itu tidak diperbolehkan. Namun, diperbolehkan untuk memukulnya dengan cara yang tidak menyakitkan, karena pukulan yang tidak menyakitkan tidak menimbulkan kemudharatan. Pukulan hanya diperbolehkan sebagai sarana untuk mendidik. Jika pendidikan tidak tercapai, maka pukulan ringan pun tidak perlu dilakukan, sebagaimana halnya dengan pukulan berat. Karena sarana akan hilang jika tujuannya juga hilang. Jika dikatakan bahwa orang dewasa yang harus dikenakan takzir tidak akan menyesali perbuatannya kecuali dengan takzir yang menyakitkan, apakah hal ini berlaku juga untuk anak-anak? Kami menjawab: Tidak berlaku, tetapi kita akan memberi takzir yang tidak menyakitkan dan menahannya dalam jangka waktu tertentu dengan harapan dia dapat diperbaiki kembali.” (Izzuddin Abd Al-Aziz bin Abd As-Salam Ad-Dimisyqi, Qawaid Al-Ahkam Fi Mashalih Al-Anam [Kairo: Maktabah Al-Kulliyat Al-Azhariyah], vol. 1, h. 121)
Lebih daripada itu, terkait hukum memukul anak bagi orang tua dalam rangka mendidik dalam fatwanya Syekh Ali Jum’ah menjelaskan bahwa perbuatan fisik seperti memukul anak seringkali kontraproduktif dengan proses pendidikan. Alih-alih memperbaiki perilaku anak, tindakan demikian justru dapat memicu perilaku agresif dan menimbulkan perasaan benci pada anak. Oleh karena itu, beliau menyarankan agar orang tua mencari alternatif lain yang lebih efektif seperti mengedepankan dialog dan memberikan bimbingan edukasi:
وَلَا يَخْفَى أَنَّ الضَّرْبَ لَيْسَ هُوَ الْوَسِيْلَةُ الْأَنْفَعُ فِيْ التَّرْبِيَةِ كَمَا يُقَرِّرُهُ كَثِيْرٌ مِنْ عُلَمَاءِ التَّرْبِيَةِ وَالنَّفْسِ؛ مُعَلِّلِيْنَ ذَلِكَ بِأَنَّ اعْتِمَادَ الضَّرْبِ وَسِيْلَةٌ فِي التَّرْبِيَةِ عَادَةً مَا يُوَلِّدُ السُّلُوْكَ الْعُدْوَانِيَّ لَدَى الطِّفْلِ الْمُعَاقَبِ، فَيَنْظُرُ لِمَن ضَرَبَهُ نَظْرَةَ الْحِقْدِ وَالْكَرَاهِيَّةِ، وَالْعَمَلِيَّةُ التَّعْلِيْمِيَّةُ يَجِبُ أَنْ تَقُوْمَ عَلَى التَّفَاهُمِ وَالْحِوَارِ، وَيَجِبُ عَلَى الْقَائِمِيْنَ عَلَيْهَا أَنْ يَسْلُكُوْا السُّبُلَ التَّرْبَوِيَّةَ النَّافِعَةَ الَّتِي تُنْجِحُهَا؛ فَالتَّعْلِيْمُ يُهْدَفُ إِلَى نَقْلِ الْخُبْرَةِ وَالْمَعْلُوْمَاتِ وَالْمَنَاهِجِ الدِّرَاسِيَّةِ مِنَ الْمُدَرِّسِ إِلَى الْطِّفْلِ، وَيَجِبُ أَنْ يَتِمَّ ذَلِكَ فِي جَوٍّ مِنَ التَّفَاهُمِ، وَحَسْبِ قَوَاعِدِ التَّرْبِيَةِ الصَّحِيْحَةِ الْخَالِيَةِ مِنَ الْأَذَى وَالْبُغْضِ وَالْكَرَاهِيَّةِ، وَلَا يَجُوْزُ أَنْ تَكُونَ الْعَلَاقَةُ بَيْنَهُمَا عَلَاقَةَ خَوْفٍ، بَلْ يَجِبُ أَنْ تَكُونَ قَائِمَةً عَلَى الْمَوَدَّةِ وَالْحُبِّ وَالِاحْتِرَامِ، فَلَا يَجُوْزُ اللُّجُوْءُ لِضَرْبِ الطِّفْلِ مَعَ وُجُوْدِ الْبَدَائِلِ التَّرْبَوِيَّةِ النَّافِعَةِ لِلتَّوْجِيْهِ وَالتَّقْوِيْمِ تَرْغِيْبًا وَتَرْهِيْبًا
Artinya: “Tidak dapat dipungkiri bahwa memukul bukanlah cara yang paling efektif dalam pendidikan, sebagaimana ditegaskan oleh banyak ahli pendidikan dan psikologi. Mereka menjelaskan bahwa mengandalkan pukulan sebagai metode pendidikan sering kali menimbulkan perilaku agresif pada anak yang dihukum, sehingga mereka melihat orang yang memukulnya dengan rasa benci dan kebencian. Proses pendidikan harus didasarkan pada pemahaman dan dialog, dan para pendidik harus mengambil langkah-langkah pendidikan yang bermanfaat untuk keberhasilannya. Pendidikan bertujuan untuk mentransfer pengalaman, informasi, dan kurikulum dari guru kepada anak, dan hal ini harus dilakukan dalam suasana saling pengertian dan sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan yang bebas dari penyiksaan, kebencian, dan permusuhan. Hubungan antara mereka tidak boleh didasarkan pada rasa takut, tetapi harus dibangun atas dasar kasih sayang, cinta, dan penghormatan. Oleh karena itu, tidak dibenarkan untuk memukul anak ketika masih ada alternatif pendidikan yang lebih maslahat untuk memberikan arahan dan penilaian dengan cara yang menggugah atau menakut-nakuti.” (Ali Jum’ah Muhammad, Mauqi’ Dar Al-Ifta Al-Mishriyyah, Fatwa Nomor 565 Tanggal 05 Juli 2009)
Dengan begitu, bisa disimpulkan bahwa menurut tinjauan Islam, hukum memukul anak dibolehkan dalam kondisi tertentu. Meski demikian, terdapat sejumlah syarat yang harus dipenuhi antara lain: Langkah tersebut harus memiliki tujuan yang jelas dan maslahat, dilakukan dengan cara yang tidak menyakitkan. Serta menghindari organ vital seperti wajah dan bagian tubuh lainnya.
Dalam rangka mendidik, sikap keras bukanlah solusi yang tepat. Sebaliknya, orang tua dianjurkan untuk menggunakan kata-kata yang baik, pendekatan yang penuh kasih sayang, dan memberikan contoh yang baik. Tindakan fisik hanya boleh dijalankan sebagai upaya terakhir setelah berbagai cara lain telah ditempuh. Alih-alih menyiksa dan memukul anak, orang tua hendaknya bersabar serta senantiasa memberikan teladan yang baik bagi anak. Wallahu a’lam bis shawab.