Dark
Light
Dark
Light

Bersentuhan Kulit dengan Transgender, Batalkah Wudhunya?

Bersentuhan Kulit dengan Transgender, Batalkah Wudhunya?

Arina.id - Baru-baru ini, Isa Zega, seorang transgender menjadi sorotan di media sosial karena melaksanakan ibadah umrah dengan mengenakan hijab syar’i dan mengikuti rangkaian ibadah layaknya seorang perempuan. Tindakannya tersebut memicu kontroversi yang berujung pada laporan terhadap polisi dengan tuduhan penistaan agama.

Hal ini berdasarkan status jenis kelamin yang bersangkutan dalam melaksanakan ibadah. Jenis kelamin ini mempengaruhi kaidah dan cara pelaksanaan ibadah termasuk status apakah bersentuhan dengan transgender membatalkan wudhu. Fenomena ini lantas menimbulkan pertanyaan, apakah bersentuhan kulit dengan seorang transgender dapat membatalkan wudhu?

Sebelumnya, perlu diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan transgender. Menurut keterangan yang dilansir dari Alodokter, transgender adalah individu yang merasa bahwa identitas gender mereka tidak sesuai dengan jenis kelamin yang diberikan saat lahir.

Identitas gender mengacu pada bagaimana seseorang mengidentifikasi dirinya sebagai laki-laki atau perempuan, yang terbentuk melalui peran sosial, norma, perilaku, dan lingkungan. 

Contohnya, seorang perempuan transgender adalah seseorang yang lahir dengan jenis kelamin laki-laki tetapi merasa dirinya adalah seorang perempuan. Sebaliknya, pria transgender adalah individu yang lahir dengan jenis kelamin perempuan tetapi mengidentifikasi dirinya sebagai laki-laki.

Dalam Islam, istilah transgender lebih mendekati konsep al-mukhannits (laki-laki yang berperilaku seperti perempuan) dan al-mutarajjilat (perempuan yang berperilaku seperti laki-laki). Rasulullah SAW secara tegas melaknat perilaku takhannus, yaitu orang yang sengaja berusaha meniru perilaku perempuan, baik dalam gerakan, sikap, ucapan, maupun pakaian. Dalam sebuah redaksi hadits disebutkan:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمْ لَعَنَ الْمُخَنَّثِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلاتِ مِنَ النِّسَاءِ 

Artinya: “Sesungguhnya baginda Nabi SAW melaknat para lelaki yang mukhannits (laki-laki yang berperilaku seperti perempuan) dan para perempuan yang mutarajjilat (perempuan yang berperilaku seperti laki-laki).” (H.R. Al-Bukhari dan Abu Dawud)

Salah satu alasan dan hikmah di balik larangan terhadap perbuatan demikian adalah karena bertentangan dengan kodrat yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Berdasarkan pendapat Imam An-Nawawi (wafat 676 H), mukhannits terbagi menjadi dua jenis. Pertama ialah seseorang yang sejak lahir sudah memiliki sifat seperti mukhannits. Kedua, orang yang dengan sengaja berusaha meniru perilaku perempuan:

قَالَ النَّوَوِيُّ الْمُخَنَّثُ ضَرْبَانِ أَحَدُهُمَا مَنْ خُلِقَ كَذَلِكَ وَلَمْ يَتَكَلَّفِ التَّخَلُّقَ بِأَخْلَاقِ النِّسَاءِ وَزِيِّهِنَّ وَكَلَامِهِنَّ وَحَرَكَاتِهِنَّ وَهَذَا لَا ذَمَّ عَلَيْهِ وَلَا إِثْمَ وَلَا عَيْبَ وَلَا عُقُوبَةَ لِأَنَّهُ مَعْذُورٌ وَالثَّانِي مَنْ يَتَكَلَّفُ أَخْلَاقَ النِّسَاءِ وَحَرَكَاتِهِنَّ وَسَكَنَاتِهِنَّ وَكَلَامَهُنَّ وَزِيَّهُنَّ فَهَذَا هُوَ الْمَذْمُومُ الَّذِي جَاءَ فِي الْحَدِيثِ لَعْنُهُ

Artinya: “Mukhannits terbagi menjadi dua jenis. Pertama, orang yang sejak lahir sudah memiliki sifat seperti mukhannits, dan ia tidak dengan sengaja berusaha meniru perilaku perempuan, baik dalam hal pakaian, ucapan, maupun gerakan. Mukhannits jenis ini tidak tercela, tidak berdosa, dan tidak dikenai hukuman karena ia tidak melakukannya dengan sengaja, melainkan merupakan keadaan yang ditolelir (ma’dzur). Kedua, orang yang dengan sengaja berusaha meniru perilaku perempuan termasuk gerakan, ucapan, sikap, dan pakaian. Inilah mukhannits yang dilaknat dalam hadits.” (Abu Al-Ala Muhammad Abdurrahman Al-Mubarakfuri, Tuhfah Al-Ahwadzi [Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah], vol. 8, h. 57).

Sementara itu, merujuk keterangan sejumlah kitab fiqih klasik disebutkan bahwa status seorang mukhannits atau mutarajjilat tidak dapat berubah dari jenis kelamin yang ditetapkannya sejak lahir. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Abdul Hamid Asy-Syirwani (wafat 1301 H) dalam anotasinya:

وَلَوْ تَصَوَّرَ الرَّجُلُ بِصُورَةِ الْمَرْأَةِ أَوْ عَكْسُهُ فَلَا نَقْضَ فِي الْأُولَى وَيَنْتَقِضُ الْوُضُوءُ فِي الثَّانِيَةِ لِلْقَطْعِ بِأَنَّ الْعَيْنَ لَمْ تَنْقَلِبْ، وَإِنَّمَا انْخَلَعَتْ مِنْ صُورَةٍ إلَى صُورَةٍ

Artinya: “Jika ada seorang laki-laki yang mengubah bentuknya menjadi seperti perempuan, atau sebaliknya maka dalam kasus pertama (laki-laki yang mengubah bentuk seperti perempuan), wudhunya tidak batal jika ada yang menyentuhnya. Namun, dalam kasus kedua (perempuan yang mengubah bentuk seperti laki-laki), wudhunya batal karena dipastikan bahwa tidak ada perubahan pada hakikatnya, yang berubah hanyalah bentuk luar atau penampilannya saja.” (Abdul Hamid Al-Makki Asy-Syirwani, Hawasyi Asy-Syirwani Wa Al-Ubbadi [Mesir: Al-Maktabah At-Tijariyah Al-Kubra], vol. 1, h. 137)

Syekh Sulaiman Al-Bujairami (wafat 1221 H) juga mengungkapkan pendapat yang senada dalam kitabnya, bahwa menyentuh transgender tidak membatalkan wudhu lantaran pada dasarnya wujud fisiknya tidak berubah. Hanya saja bentuknya berubah dari satu bentuk ke bentuk lain dengan tetap mempertahankan sifat maskulinitasnya:

وَِوَقَعَ السُّؤَالُ عَمَا لَوْ تَصَوَّرَ وَلِيٌ بِصُوْرَةِ امْرَأَةٍ أَوْ مَسَخَ رَجَلٌ امْرَأَةً هَلْ يَنْقُضُ أَوْ لَا؟ فَأُجِيْبَ عَنْهُ: بِأَنَّ الْظَاهِرَ فِي الْأَوَلِ عَدَمُ الْنَقْضِ لِلْقَطْعِ بِأَنَّ عَيْنَهُ لَمْ تَنْقَلِبَ، وَإِنَّمَا انْخَلَعَ مِنْ صُوْرَةٍ إِلَى صُوْرَةٍ مَعَ بَقَاءِ صِفَةِ الذُّكُوْرَةِ، وَأَمَّا الْمَسْخُ فَالْنَقْضُ بِهِ مُحْتَمِلٌ لِقُرْبِ تَبَدُّلِ الْعَيْنِ مَعَ أَنَّهُ قَدْ يُقَالُ فَيْهِ بِعَدَمِ النَّقْضِ أَيْضًا لِاِحْتِمَالِ تَبَدُّلِ الصِّفَةِ دُوْنَ الْعَيْنِ

Artinya: “Diajukan pertanyaan mengenai apakah jika seseorang yang berwujud laki-laki berubah menjadi tampak seperti perempuan atau jika seorang laki-laki diubah menjadi perempuan, apakah ketika menyentuhnya dapat membatalkan wudhu atau tidak? Maka dijawab: Berdasarkan dzahirnya, dalam kasus pertama tidak membatalkan wudhu karena pada dasarnya wujud fisiknya tidak berubah, hanya saja bentuknya berubah dari satu bentuk ke bentuk lain dengan tetap mempertahankan sifat kelaki-lakiannya. Adapun dalam kasus perubahan bentuk, hukumnya masih ihtimal sebab kemungkinan adanya perubahan bentuk fisik. Namun, ada juga pendapat yang mengatakan tidak sampai membatalkan wudhu, karena mungkinnya perubahan suatu sifat tanpa perubahan bentuk fisiknya.” (Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bujairami, Tuhfah Al-Habib Ala Syarh Al-Khatib [Beirut: Dar Al-Fikr], vol. 1, h. 211)

Alhasil pada kesimpulannya dalam tinjauan fiqih, hukum bersentuhan kulit dengan seorang transgender tidak membatalkan wudhu. Kendati transgender tersebut menyerupai sosok perempuan, baik dalam perilaku, sifat dan pakaiannya, namun statusnya tidak dapat berubah dari jenis kelamin yang ditetapkan sejak lahir. Dalam artian, yang laki-laki tetap dianggap sebagai seorang laki-laki dan yang perempuan tetap dianggap sosok perempuan. Wallahu a’lam bis shawab.

Home 2 Banner

Syariah Lainnya

Home 1 Banner