Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), zodiak adalah lingkaran khayal di cakrawala yang dibagi menjadi dua belas bagian. Setiap bagian dikaitkan pada karakteristik tertentu dan dilambangkan dengan sebuah rasi bintang.
Meramal zodiak didasarkan pada anggapan bahwa setiap tanda bintang memiliki karakteristik unik yang dapat memprediksi kepribadian dan nasib seseorang yang lahir pada bulan tertentu. Zodiak sering digunakan untuk meramalkan kepribadian dan masa depan berdasarkan tanggal lahirnya.
Sedangkan, astrologi merupakan ilmu yang mempelajari hubungan antara benda langit dan kehidupan manusia. Ilmu astrologi ini menjadi dasar dari ramalan zodiak. Sebagai contoh, ramalan menyebutkan orang dengan zodiak Virgo akan mengalami kebahagiaan dalam hidupnya. Lantas, bolehkah percaya terhadap ramalan zodiak menurut Islam?
Praktik perdukunan sudah ada sejak masa pra-Islam. Istilah ramalan atau perdukunan dalam bahasa Arab memiliki beberapa sinonim, di antaranya kahanah yang berarti mengungkapkan suatu yang tidak diketahui oleh manusia pada umumnya (gaib). Adapun orang yang melakukan perdukunan disebut sebagai kahin. Selain itu, ada juga arraf yang mengacu pada orang yang tahu tentang barang yang hilang dan munajjim yang berarti ahli nujum atau rasi perbintangan.
Kendati demikian, Imam An-Nawawi (wafat 676 H) membedakan istilah kahin dan arraf yang mana keduanya dianggap punya kekuatan gaib, sosok kahin diduga memiliki kekuatan gaib dan seringkali melibatkan jin, namun arraf lebih spesifik dalam menemukan barang yang hilang:
وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْعَرَّافِ وَالْكَاهِنِ أَنَّ الْكَاهِنَ إِنَّمَا يَتَعَاطَى الْأَخْبَارَ عَنِ الْكَوَائِنِ فِيْ الْمُسْتَقْبَلِ وَيَدَّعِيْ مَعْرِفَةَ الْأَسْرَارِ وَالْعَرَّافُ يَتَعَاطَى مَعْرِفَةَ الشَّيْءِ الْمَسْرُوقِ وَمَكَانَ الضَّالَّةِ وَنَحْوِهِمَا
Artinya: “Perbedaan antara istilah arraf dan kahin adalah kahin hanya memperbincangkan berita mengenai kejadian yang akan datang dan mengeklaim mengerti rahasia, sementara arraf biasanya berurusan dengan pengetahuan tentang barang yang hilang dan menemukan tempat yang tersesat, serta hal-hal sejenisnya.” (Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Syarh An-Nawawi Ala Muslim [Beirut: Dar Ihya At-Turats Al-Arabi], vol. 5, h. 22)
Meramal zodiak bersumber pada astrologi, yaitu ilmu yang mempelajari pengaruh benda langit terhadap kehidupan manusia. Orang yang melakukannya disebut munajjim. Menurut Imam Al-Khattabi (wafat 388 H), munajjim adalah orang yang mengamati bintang dan mengaku bisa memprediksi berbagai peristiwa di dunia, mulai dari cuaca hingga nasib manusia. Mereka percaya pergerakan bintang-bintang dapat memberikan petunjuk tentang masa depan:
وَالمُنَجِّمُ أَوِ الْمُتَنَجِّمُ هُوَ الْشَّخْصُ الَّذِيْ يَدَّعِيْ عِلْمَ الْحَوَادِثِ أَوِ الْوَقَائِعِ الْأَرْضِيَّةِ الَّتِيْ سَتَقَعُ فِيْ الْمُسْتَقْبَلِ، كَإِخْبَارِهِ بِأَوْقَاتِ هُبُوْبِ الْرِّيَاحِ وَمَجِيْءِ الْمَطَرِ، وَتَغَيُّرِ الْأَسْعَارِ، وَالْسَّعَادَةِ وَالْشَّقَاءِ، وَالْحَيَاةِ وَالْمَوْتِ، وَمَا فِيْ مَعَانِيْهَا مِنَ الْأُمُوْرِ الَّتِيْ يَزْعَمُوْنَ أَنَّهَا تُدْرِكُ مَعْرِفَتُهَا بِمَسِيْرِ الْكَوَاكِبِ فِيْ مَجَارِيْهَا، وَاجْتِمَاعِهَا وَافْتِرَاقِهَا، فَيُعْتَقَدُ أَنَّ لِكُلِّ نَجْمٍ تَأْثِيٍرًا فِيْ حَوَادِثِ الْأَرْضِ
Artinya: “Astrolog atau ahli perbintangan adalah orang yang mengeklaim memiliki pengetahuan terhadap peristiwa atau kejadian di bumi yang akan terjadi di masa depan, seperti memberitakan waktu datangnya angin dan hujan, perubahan harga, kebahagiaan dan kesedihan, serta kehidupan dan kematian, beserta makna-makna lainnya. Mereka menganggap pengetahuan ini bisa dipahami melalui pergerakan bintang-bintang dalam jalurnya, pertemuan dan perpisahannya, sehingga diyakini setiap bintang memiliki pengaruh terhadap kejadian di bumi.” (Abu Sulaiman Hamad bin Muhammad Al-Khittabi, Ma’alim As-Sunan [Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah], vol. 4, h. 229-230)
Semua jenis praktik ramalan yang telah disebutkan di atas dilarang dalam Islam. Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً
Artinya: “Barang siapa yang mendatangi seorang peramal dan bertanya kepadanya perihal suatu perkara, maka sholatnya tidak akan diterima selama empat puluh hari.” (H.R. Muslim)
Hadits ini maksudnya ialah jika seseorang bertanya pada peramal, maka selama empat puluh hari ke depan, sholat yang dia kerjakan tidak akan memperoleh pahala. Walaupun sholatnya tetap dihukumi sah, tetapi ia tidak meraih pahala ibadahnya:
وَأَمَّا عَدَمُ قَبُوْلِ صَلَاتِهِ فَمَعْنَاهُ أَنَّهُ لَاثَوَابَ لَهُ فِيْهَا وَإِنْ كَانَتْ مُجْزِئَةً فِيْ سُقُوْطِ الْفَرْضِ عَنْهُ وَلَايَحْتَاجُ مَعَهَا إِلَى إِعَادَةٍ وَنَظِيْرُ هَذِهِ الصَّلَاةُ فِيْ الْأَرْضِ الْمَغْصُوْبَةِ مُجْزِئَةً مُسْقِطَةً لِلْقَضَاءِ وَلَكِنْ لَا ثَوَابَ فِيْهَا
Artinya: “Adapun tidak diterimanya sholat berarti ia tidak meraih pahala dari sholat tersebut, meskipun sholatnya tetap sah dalam hal menggugurkan kewajiban dan tidak perlu diulang. Hal yang serupa adalah sholat yang dilakukan di tanah ghasab, sholat itu tetap sah serta menggugurkan kewajiban, kendati tidak bernilai pahala.” (Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Syarh An-Nawawi Ala Muslim [Beirut: Dar Ihya At-Turats Al-Arabi], vol. 14, h. 227)
Sementara itu, Imam At-Thibbi (wafat 743 H) menjelaskan bahwasanya beberapa ulama berpendapat ahli nujum yang meramal berlandaskan pergerakan bintang termasuk dalam kategori peramal. Sehingga, larangan Nabi SAW untuk mendatangi peramal juga berlaku bagi mereka yang mencari ramalan dari ahli nujum:
وَمِنْهُمْ مَنْ يُسَمَّى الْمُنَجِمُ كَاهِنًا، وَحَدِيْثُ الْنَّهْيِ عَنْ إِتْيَانِ الْكَهَّانِ يَشْتَمِلُ عَلَى الْنَّهْيِ عَنْ هَؤُلَاءِ إِتْيَانِ كُلِّهِمْ، وَعَلَى الْنَّهْيِ عَنْ تَصْدِيْقِهِمْ وَالْرُّجُوْعِ إِلَى قَوْلِهِمْ
Artinya: “Di antara para ulama ada yang menyebut ahli nujum sebagai peramal. Hadits yang melarang mendatangi para peramal mencakup larangan untuk mendatangi semua orang ini, serta melarang untuk memercayai dan merujuk pada perkataan mereka.” (Syarafuddin Al-Husain bin Abdullah Ath-Thibbi, Syarh Ath-Thibbi Ala Misykah Al-Mashabih [Riyadh: Maktabah Nizar Musthofa], vol. 7, h. 2102)
Pada dasarnya, tidak ada manusia yang bisa memahami hal-hal yang gaib kecuali Allah. Klaim orang yang memiliki kepiawaian mengetahui hal gaib patut dipertanyakan. Meski begitu, Allah SWT kadang memberikan ilham kepada orang-orang tertentu seperti para nabi atau orang-orang saleh agar mengerti sebagian perkara gaib:
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَّسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا
Artinya: “Dia mengetahui yang gaib. Lalu, Dia tidak memperlihatkan yang gaib itu kepada siapa pun, kecuali kepada rasul yang diridai-Nya. Sesungguhnya Dia menempatkan penjaga-penjaga (malaikat) di depan dan di belakangnya.” (Q.S. Al-Jin: 26-27)
Imam Ibn Jarir At-Thabari (wafat 310 H) menjelaskan, dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa cuma Dia yang memiliki pengetahuan sempurna mengenai hal-hal yang gaib. Namun, Allah juga bisa memberikan ilham kepada orang-orang tertentu, seperti para nabi atau orang-orang saleh, supaya memahami sebagian dari hal-hal yang gaib:
يَعْنِيْ بِعَالَمِ الْغَيْبِ عَالَمٌ مَا غَابَ عَنْ أَبْصَارِ خَلْقِهِ، فَلَمْ يَرَوْهُ فَلَا يَظْهَرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا، فَيَعْلَمُهُ أَوْ يَرِيْهِ إِيَّاهُ إِلَّا مَنْ ارْتَضَى مِنْ رَسُوْلٍ، فَإِنَّهُ يَظْهَرَهُ عَلَى مَا شَاءَ مِنْ ذَلِكَ
Artinya: “Yang dimaksud alam gaib adalah alam yang tidak mungkin dilihat oleh makhluk-Nya, sehingga tidak ada seorang pun mampu mengetahui atau melihat hal-hal gaib tersebut, kecuali orang yang diridai dari kalangan rasul. Allah akan menampakkan sebagian dari hal-hal gaib kepada mereka sesuai kehendak-Nya.” (Muhammad bin Jarir At-Thabari, Jami’ Al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an [Beirut: Muassasah Ar-Risalah], vol. 23, h. 671)
Menurut pandangan Imam Ibn Hajar Al-Asqalani (wafat 852 H), ayat ini menegaskan semata-mata Allah mengetahui segala sesuatu yang akan terjadi. Sekaligus menolak klaim para ahli nujum dan siapa pun yang mengaku memiliki kemampuan untuk meramalkan masa depan, baik itu tentang kehidupan, kematian, atau hal lainnya.
Mereka dianggap telah mendustakan Al-Qur’an:
وَفِيْ الْآيَةِ رَدٌّ عَلَى الْمُنَجِّمِيْنَ وَعَلَى كُلِّ مَنْ يَدَّعِيْ أَنَّهُ يَطَّلِعُ عَلَى مَا سَيَكُوْنُ مِنْ حَيَاةٍ أَوْ مَوْتٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ لِأَنَّهُ مُكَذِّبٌ لِلْقُرْآنِ وَهُمْ أَبْعَدُ شَيْءٍ مِنَ الْإِرْتِضَا
Artinya: “Dalam ayat tersebut terdapat penolakan terhadap para ahli nujum dan siapa pun yang mengeklaim mereka bisa mengerti apa yang akan terjadi, baik itu kehidupan, kematian, atau hal lainnya, karena mereka mendustakan Al-Qur'an dan sangat jauh dari diterima.” (Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Fath Al-Bari Syarh Sahih Al-Bukhari [Beirut: Dar Al-Ma’rifah], vol. 13, h. 364)
Dalam redaksi hadits yang lain, Nabi Muhammad SAW menegaskan siapa saja yang berkonsultasi dengan dukun atau peramal, lalu percaya pada apa yang dikatakannya, maka orang itu telah kufur:
مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ عَرَّافًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
Artinya: “Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal atau dukun dan dia membenarkan ucapannya, maka dia berarti telah kufur pada Al-Qur’an yang telah diturunkan pada Nabi Muhammad.” (H.R. Ahmad)
Berdasarkan hadits ini, Syekh Syihabuddin An-Nafrawi Al-Azhari (wafat 1126 H) dalam anotasinya mengungkapkan bahwa kita tidak boleh memercayai orang yang mengaku memiliki keterampilan untuk meramalkan masa depan atau menemukan benda hilang. Lantaran hanya Allah yang mengetahui tentang hal-hal gaib:
لَا يَجُوْزُ لِأَحَدٍ تَصْدِيْقُ الْكَاهِنِ وَهُوَ الَّذِيْ يُخْبِرُ بِمَا يَقَعُ فِيْ الْمُسْتَقْبَلِ، وَلَا الْعَرَّافِ وَهُوَ الَّذِي يُخْبِرُ بِمَا وَقَعَ كَإِخْرَاجِ الْمُخَبَّآتِ وَكَتَعْيِيْنِ السَّارِقِ لِأَنَّ ذَلِكَ مِنْ دَعْوَى عِلْمِ الْغَيْبِ وَلَا يَعْلَمُهُ إلَّا اللَّهُ، وَلِذَا قَالَ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: مَنْ صَدَّقَ كَاهِنًا أَوْ عَرَّافًا أَوْ مُنَجِّمًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
Artinya: “Tidak diperkenankan bagi seseorang untuk membenarkan peramal, yakni orang yang menginformasikan mengenai apa yang akan terjadi di masa depan. Maupun dukun, yakni orang yang memberitakan berkenaan apa yang telah terjadi, seperti mengungkapkan barang yang tersembunyi dan menentukan pencuri, karena termasuk klaim ilmu gaib yang hanya diketahui Allah. Oleh sebab itu, Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal dan membenarkan ucapannya, maka dia berarti telah kufur pada Al-Qur’an yang telah diturunkan pada Nabi Muhammad.” (Ahmad bin Ghanim Syihabuddin An-Nafrawi Al-Azhari, Al-Fawakih Ad-Dawani Ala Risalah Ibn Abi Zaid Al-Qairawani [Beirut: Dar Al-Fikr], vol. 2, h. 344)
Syekh Athiyyah Shaqr (wafat 1427 H) dalam himpunan fatwa ulama Al-Azhar menjelaskan secara rinci perihal hukum kepercayaan terhadap suatu ramalan. Bila meyakini ramalan tersebut dapat memberikan manfaat atau mudarat tanpa seizin Allah, atau percaya selain Allah memiliki pengetahuan tentang hal-hal gaib, maka orang tersebut dikatakan kafir. Melainkan, bila memahami ramalan itu bersifat tidak pasti dan tidak bisa memengaruhi kehidupan, maka ia berdosa dan pahala kebaikannya akan berkurang:
قَالَ الْعُلَمَاءُ: مَنْ صَدَّقَ هَذِهِ الْطَّوَالِعَ وَاعْتَقَدَ أَنَّهَا تَضُرُّ وَتَنْفَعُ بِدُوْنِ إِذْنِ اللهِ، أَوْ أَنَّ غَيْرَ اللهِ يَعْلَمُ الْغَيْبَ فَهُوَ كَافِرٌ. وَمَنْ آمَنَ بِأَنَّهَا ظَنِّيَةٌ وَلَمْ يَعْتَقِدْ أَنَّهَا تَضُرُّ وَتَنْفَعُ فَهُوَ مُؤْمِنٌ عَاصٍ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ حَسَنَاتِهِ
Artinya: “Para ulama berkata: Barang siapa yang membenarkan ramalan-ramalan ini dan meyakini ramalan tersebut dapat memberikan kemanfaatan atau kemudaratan tanpa izin Allah, atau menganggap selain Allah mengetahui hal-hal gaib, maka ia divonis kafir. Tetapi, andaikan seseorang percaya ramalan tersebut bersifat tidak pasti dan tidak meyakini ramalan itu mampu memberikan manfaat atau mudarat, maka ia berdosa, serta pahala kebaikannya dikurangi.” (Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Mesir, Fatawa Al-Azhar [CD: Al-Maktabah Asy-Syamilah], vol. 7, h. 398)
Dengan demikian, bisa ditarik kesimpulan bahwa memercayai ramalan zodiak dalam Islam diperinci sebagai berikut: Jika meyakini ramalan tersebut dapat memberikan manfaat atau bahaya tanpa izin Allah, atau menganggap selain Allah mengetahui hal-hal gaib maka hukumnya haram dan orang tersebut dianggap kafir.
Akan tetapi, jika percaya ramalan tersebut bersifat tidak pasti dan tidak meyakini ramalan itu dapat memberikan manfaat atau bahaya, maka ia berdosa, serta pahala kebaikannya dikurangi. Lantaran, ahli nujum yang meramal berdasarkan pergerakan bintang termasuk dalam kategori peramal yang tidak diperkenankan untuk didatangi serta percaya pada apa yang dikatakannya.
Maka agar terhindar dari kekufuran, seorang muslim harus lebih cermat terhadap orang yang punya keahlian memahami hal-hal gaib. Pasalnya, dalam Islam hanya Allah yang maha mengetahui perkara gaib. Meski Allah terkadang memberikan ilham kepada orang-orang tertentu seperti para nabi atau orang-orang saleh supaya mengerti sebagian perkara gaib.
Namun, perlu diingat bahwasanya tidak semua orang saleh bisa menangkap ilham, dan tidak semua yang mengaku saleh memang benar-benar saleh. Sehingga, jangan mudah percaya terhadap ramalan zodiak dan yang sejenisnya. Wallahu a’lam bis shawab.