Dark
Light
Dark
Light

Beda Pilihan Capres-Cawapres, Apakah Istri Durhaka pada Suami?

Beda Pilihan Capres-Cawapres, Apakah Istri Durhaka pada Suami?

Sebentar lagi rakyat Indonesia akan mengadakan pesta demokrasi yang diselenggarakan pada tanggal 14 Februari untuk menjatuhkan pilihan Capres-Cawapresnya. Kampanye pemenangan kandidat pun diadakan di berbagai tempat. Termasuk dalam internal keluarga pun aksi dukung-mendukung pasangan Capres-Cawapres tak terelakkan.

Persoalan mengemuka tatkala suami-istri berbeda pilihan terkait Capres-Cawapres yang akan diusung, sehingga merembet persoalan rumah tangga, yakni kepatuhan seorang istri kepada suami dalam konteks pilpres. Bahkan sebagian suami ada yang mewajibkan istri harus tunduk sesuai pilihan politiknya.

Pertanyaannya, bagaimana hukumnya istri berbeda pilihan Capres-Cawapres? Jika berbeda, apakah termasuk kategori istri yang membangkang pada perintah suami?

Seperti yang telah diketahui, tampuk kepemimpinan dalam rumah tangga dipegang oleh suami, sebab suami merupakan pengayom dan pemimpin keluarga. Karena itu, Islam mengharuskan ketaatan atau kepatuhan seorang istri terhadap suaminya karena banyak ayat Al-Qur'an dan hadits Rasulullah yang menunjukkan keharusan tersebut agar disebut sebagai istri salehah, istri yang patuh.

Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pengayom / pemimpin bagi kaum wanita. Hal ini karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa’ [4]: 34) 

Ketaatan atau kepatuhan seorang istri diharuskan oleh Islam mengingat tanggung jawab besar suami atas istrinya. Banyak ulama menggunakan hadits Rasulullah ini sebagai dalil keharusan ketaatan atau kepatuhan seorang istri pada suami.

أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ مَحْمِشٍ الزِّيَادِىُّ أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ: مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ الْقَطَّانُ حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُوسُفَ السُّلَمِىُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِى بَكْرٍ النَّخَعِىُّ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا حُصَيْنُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِىُّ عَنْ عَامِرٍ الشَّعْبِىِّ عَنْ قَيْسٍ قَالَ: قَدِمْتُ الْحِيرَةَ فَرَأَيْتُ أَهْلَهَا يَسْجُدُونَ لِمَرْزُبَانٍ لَهُمْ فَقُلْتُ نَحْنُ كُنَّا أَحَقَّ أَنْ نَسْجُدَ لِرَسُولِ اللَّهِ-صلى الله عليه وسلم-فَلَمَّا قَدِمْتُ عَلَيْهِ أَخْبَرْتُهُ بِالَّذِى رَأَيْتُ قُلْتُ: نَحْنُ كُنَّا أَحَقَّ أَنْ نَسْجُدَ لَكَ فَقَالَ:«لاَ تَفْعَلُوا أَرَأَيْتَ لَوْ مَرَرْتَ بِقَبْرِى أَكُنْتَ سَاجِدًا؟». قُلْتُ: لاَ. قَالَ:«فَلاَ تَفْعَلُوا فَإِنِّى لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لأَزْوَاجِهِنَّ لِمَا جَعَلَ اللَّهُ مِنْ حَقِّهِمْ عَلَيْهِنَّ 

Artinya: "Kami menerima riwayat dari Muhammad bin Muhammad bin Mahmisy Az-Zayadi, dari Abu Bakar, Muhammad bin Husein Al-Qathan, dari Ahmad bin Yusuf As-Sulami, dari Abdurrahman bin Abu Bakar An-Nakha‘i, dari ayahnya, dari Hushain bin Abdurrahman As-Sulami, dari Amir As-Sya‘bi, dari Qais, ia berkata, ‘Aku tiba di desa Hirah. Aku melihat penduduknya bersujud kepada tokoh masyarakat dan pemimpin mereka. aku berkata di dalam hati bahwa kami lebih berhak sujud kepada Rasulullah saw. Ketika kembali menemui Rasulullah, aku menceritakan fenomena yang kusaksikan dan kukatakan di hadapannya bahwa kami lebih berhak sujud kepadamu wahai Rasulullah saw.’ ‘Jangan kalian lakukan. Bagaimana pendapatmu bila melalui makamku kelak, apakah kau akan bersujud?’ tanya Rasulullah. ‘Tidak,’ kujawab. ‘Jangan kalian lakukan. Kalau boleh memerintah manusia bersujud kepada sesamanya, niscaya kuperintahkan para wanita itu untuk bersujud kepada suami mereka karena kebesaran hak suami mereka yang dianugerahkan Allah atas diri mereka,” (HR Abu Dawud, Al-Baihaqi, dan lainnya). 

Namun kewajiban istri patuh terhadap suami itu tidak serta merta menjadi monopoli suami, sehingga istri tidak memiliki hak apapun. Dalam Kitab ‘Uqudul Lujain halaman 2-3 karya Syekh Nawawi Al-Bantani diuraikan secara lengkap sebagai berikut:

الفَصْلُ الأَوَّلُ:فِيْ بيان (حُقُوْقِ الزَوْجَةِ) الواجبة (عَلَى الزَوْج) وهي حُسْن العِشْرة، ومؤْنةُ الزوجة ومهْرُها، والقَسْم، وتعليمُها ما تحتاج إليه من فروض العبادات وسننها ولو غيرَ مؤكَّدة، ومما يتعلق بالحيض، ومن وجوب طاعته فيما ليس بمعصية

Artinya: "Pasal pertama tentang hak istri yang wajib dipenuhi suaminya, yaitu: menggaulinya dengan baik, menafkahinya, menyerahkan maharnya, pembagian yang adil secara lahir batin bagi suami yang beristri lebih dari satu, mengajari ilmu agama yang berkaitan dengan kewajiban beribadah dan sunah-sunahnya,  mengajari ilmu yang erat kaitannya dengan permasalahan haid, dan mengajari untuk selalu taat kepada suami dalam perkara selain maksiat."

الفَصْلُ الثَّانِيْ: فِيْ بيان (حُقُوْقِ الزَّوْجِ) الواجبة (عَلَى الزَّوْجَةِ) وهي طاعة الزوج في غير معصية، وحسن المعاشرة، وتسليم نفسها إليه، وملازمة البيت، وصيانة نفسها من أن توطئ فراشه غيره، والإحتجاب عن رؤية أجنبي لشيء من بدنها ولو وجهها وكفيها، إذ النظر إليهما حرام ولو مع انتفاء الشهوة  والفتنة، وترك  مطالبتها له بما فوق الحاجة ولو علمت قدرته عليه، وتعففها عن تناول ما يكسبه من المال الحرام، وعدم كذبها على حيضها وجودا وانقطاعا  

Pasal kedua, tentang hak-hak suami yang wajib dipenuhi istrinya, yaitu: wajib taat pada suami pada perkara selain maksiat, menggauli atau melayani suami dengan baik penuh adab, menyerahkan dirinya kepada suami, tidak meninggalkan tempat tinggal suaminya, menjaga dan memelihara kehormatan suami atas diri dan rumah tangganya, selalu menutupi badan serta auratnya dari pandangan lelaki yang bukan muhrimnya walaupun melihat wajah dan dua telapak tangannya, karena melihatnya itu hukumnya haram meski tanpa syahwat dan aman dari fitnah, tidak meminta sesuatu yang di atas kemampuan suaminya walaupun suami bisa mengusahakan untuk mendapatnya, memelihara diri serta agamanya dari mengkonsumsi makanan dari hasil usaha suami yang haram, tidak menutupi atau berbohong kepada suami akan  keadaan dirinya, baik sedang dalam keadaan haid atau selesai haidnya.

Berpijak dari sejumlah ayat dan hadits ini, para ulama menyepakati bahwa ketaatan atau kepatuhan istri terhadap suami adalah kewajiban. Hanya saja kewajiban taat dan patuh itu tidak bersifat mutlak tanpa batas, tetapi muqayyad yang bersifat terbatas sebagaimana keterangan berikut ini:

اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ طَاعَةَ الزَّوْجِ وَاجِبَةٌ عَلَى الزَّوْجَةِ، لِقَوْلِهِ تَعَالَى الرِّجَال قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّل اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ وَلِقَوْلِهِ تَعَالَى وَلَهُنَّ مِثْل الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَال عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ، وَاتَّفَقُوا كَذَلِكَ عَلَى أَنَّ وُجُوبَ طَاعَةِ الزَّوْجَةِ زَوْجَهَا مُقَيَّدَةٌ بِأَنْ لاَ تَكُونَ فِي مَعْصِيَةٍ لِلَّهِ تَعَالَى، لأِنَّهُ لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ، لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَل" 

Artinya: "Para ulama sepakat bahwa ketaatan istri terhadap suami adalah wajib berdasarkan firman Allah swt, ‘Laki-laki adalah pengayom perempuan karena sejumlah kelebihan yang diberikan Allah kepada sebagian yang lain dan karena sebagian harta yang mereka nafkahkan,’ dan firman Allah SWT, ‘Mereka memiliki hak setara dengan kewajiban yang mereka tanggung dengan baik. Sementara kaum laki-laki memiliki kelebihan satu tingkat di atas mereka (perempuan).’ Para ulama juga sepakat bahwa ketaatan istri terhadap suami tidak bersifat mutlak (absolut, tak terbatas), tetapi bersifat terbatas (muqayyad), yaitu sejauh ketaatan itu berupa kedurhakaan terhadap Allah. Pasalnya, sebuah kaidah mengatakan bahwa tiada ketaatan kepada sesama makhluk perihal kedurhakaan kepada Allah sesuai sabda Rasulullah saw, ‘Tiada ketaatan kepada sesama makhluk perihal kedurhakaan kepada Allah,’” (Lihat Wizaratul Awqaf was Syu`unul Islamiyyah, Al-Mausu’atul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, [Kuwait, Darus Safwah: 1997 M/1417 H], cetakan pertama, juz 41, halaman 313). 

Sedangkan dalam kitab Fiqhul Islami wa Adillatuh karya Syekh Wahbah Az-Zuhayli menyebutkan: 

طاعة الزوجة لزوجها في الاستمتاع والخروج من المنزل 

Artinya: "Ketaatan istri terhadap suami itu terletak pada soal bersenang-senang dan soal izin keluar rumah. (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H] cetakan kedua, juz 7, halaman 334). 

Selain memikul kewajiban terbatas (muqayyad), seorang istri juga memilik hak yang harus dipenuhi oleh suaminya. Seorang istri memiliki hak yang bersifat ekonomi dan hak non-ekonomi. Hal ini disebutkah oleh Syekh Wahbah Az-Zuhayli dalam keterangan berikut ini: 

للزوجة حقوق مالية وهي المهر والنفقة، وحقوق غير مالية: وهي إحسان العشرة والمعاملة الطيبة، والعدل 

Artinya: "Istri memiliki hak ekonomi, yaitu mahar dan nafkah dan hak non-ekonomi, yaitu perlakuan yang baik, interaksi yang menyenangkan, dan keadilan,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz 7, halaman 327). 

Perlakuan yang baik, interaksi yang menyenangkan dan keadilan dalam redaksi ini, jika ditarik dalam konteks peran publik menurut prinsip-prinsip Islam, maka wanita diperbolehkan melakukan peran-peran itu dengan konsekuensi bahwa ia dapat dipandang mampu dan memiliki kapasitas untuk menduduki peran sosial dan politik tersebut.

Kedudukan wanita dalam proses sistem negara-bangsa telah terbuka lebar, terutama perannya dalam masyarakat majemuk ini, dengan tetap mengingat bahwa kualitas, kapasitas, kapabilitas, dan akseptabilitas bagaimanapun, harus menjadi ukuran, sekaligus tanpa melupakan fungsi kodrati wanita sebagai sebuah keniscayaan. 

Pada Muktamar Ke-30 NU di Pesantren Lirboyo Kabupaten Kediri pada 1999 M, para kiai NU menegaskan kesetaraan peran publik (salah satunya bidang politik) laki-laki dan perempuan. Mereka menolak diskriminasi peran politik perempuan yang menempatkan pihak perempuan sebagai obyek dari sistem politik yang dibangun secara sepihak oleh kaum laki-laki. Para kiai juga menolak sikap pasif perempuan terkait partisipasi publik. 

Para perempuan dapat memilih secara politik sesuai dengan pandangan pribadinya tanpa perlu khawatir dianggap sebagai istri durhaka. Perbedaan pilihan politik istri dan suami tidak mengeluarkan istri dari kepatuhan dan ketaatan yang diperintahkan agama. 

Dengan kata lain, perbedaan pilihan politik tidak menodai citra seorang perempuan sebagai istri salehah. Mengacu pada putusan Muktamar NU 1999 M dan Munas NU 1997 M perihal kedudukan dan peran publik perempuan, sebaiknya suami dan istri saling menghormati satu sama lain perihal perbedaan pilihan dan pandangan politik. Walhasil, perbedaan pilihan Capres antara suami istri tidak menjadikan seorang istri sebagai istri yang membangkang dan durhaka pada suami.

Home 2 Banner

Syariah Lainnya

Home 1 Banner