Dark
Light
Dark
Light

Klaim Istri: Uangku ya Uangku, Uang Suami ya Uangku

Klaim Istri: Uangku ya Uangku, Uang Suami ya Uangku

Ungkapan “uangku ya uangku, uang suamiku ya uangku” seringkali terdengar dalam konteks percakapan sehari-hari, terutama saat membahas peran keuangan dalam rumah tangga. Ungkapan ini muncul dari dinamika hubungan antara suami dan istri, terutama dalam mengelola keuangan bersama.

Namun, benarkah ungkapan ini relevan atau tepat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari?

Dalam banyak budaya, terutama yang masih kental dengan nilai patriarki, suami dianggap sebagai pencari nafkah utama, sementara istri lebih bertanggung jawab atas pengelolaan rumah tangga. Ungkapan ini bisa jadi muncul dari pandangan tradisional tersebut, di mana uang yang diperoleh suami dianggap sebagai milik bersama, namun uang yang dihasilkan istri dianggap lebih pribadi.

Seiring dengan perkembangan zaman, peran suami dan istri dalam keluarga pun mulai bergeser. Banyak istri yang juga bekerja dan berkontribusi secara finansial terhadap keluarga. Namun, pandangan bahwa suami harus menanggung seluruh beban keuangan sering kali masih kuat, sehingga uang yang diperoleh istri dianggap sebagai hak pribadi istri, sedangkan uang suami adalah untuk kepentingan bersama. 

Apakah secara Islam hal ini dibenarkan?

Kalimat “uang suamiku ya uangku” dalam kajian Islam tidak sepenuhnya benar, namun tidak juga sepenuhnya salah. Hal ini karena dalam Islam, suami memiliki kewajiban untuk menafkahi istri dan anaknya disesuaikan dengan kelayakan.

Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan bahwa suami berkewajiban untuk memberikan tiga macam kebutuhan pokok sebagai nafkah untuk istri dan anak. kewajiban ini tetap berlaku bagi suami meskipun istrinya adalah seseorang yang kaya.

Dalam surat Al-Baqarah ayat 233, Allah berfirman tentang kewajiban pemberian nafkah pangan dan sandang:

وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ

Artinya: “Kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian mereka (ibu dan anaknya) dengan cara yang patut

Sementara dalam surat Ath-Thalaq ayat 6, Allah berfirman tentang kewajiban pemberian nafkah papan atau jaminan tempat tinggal:

اَسْكِنُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِّنْ وُّجْدِكُمْ وَلَا تُضَاۤرُّوْهُنَّ لِتُضَيِّقُوْا عَلَيْهِنَّۗ

Artinya: “Tempatkanlah mereka (para istri i) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.

Dalam hal pemberian nafkah dari suami untuk istri dan anak, terdapat ketentuan bahwa hal tersebut disesuaikan dengan kemampuan suami. Allah SWT berfirman dalam QS. Ath-Thalaq ayat 7:

لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِّنْ سَعَتِهٖۗ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهٗ فَلْيُنْفِقْ مِمَّآ اٰتٰىهُ اللّٰهُۗ لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا مَآ اٰتٰىهَاۗ سَيَجْعَلُ اللّٰهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُّسْرًاࣖ

Artinya: “Hendaklah orang yang lapang (rezekinya) memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari apa (harta) yang dianugerahkan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang dianugerahkan Allah kepadanya. Allah kelak akan menganugerahkan kelapangan setelah kesempitan”. 

Lantas bagaimana jika seorang istri merasa suaminya terlalu pelit dalam menafkahi dirinya dan anak-anak?

Pada masa hidup Rasulullah SAW pernah ada seorang perempuan bernama Hindun binti Utbah RA yang mengadu kepada Rasulullah perihal suaminya, Abu Sufyan yang pelit. Hindun bertanya kepada Nabi apakah ia diperbolehkan mengambil uang suaminya tanpa meminta izin. Nabi bersabda:

خُذِيْ مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ

Artinya: “Ambillah apa yang mencukupi dirimu dan anakmu dengan cara yang baik-baik”. (HR. Al-Bukhâri no.7180 dan Muslim no.1714)

Dari pernyataan Nabi ini, bisa kita pahami bahwa tidak seluruh harta suami bisa dianggap sebagai harta istri karena Nabi hanya memperkenankan seorang istri untuk mengambil nafkah secukupnya untuk istri dan anak-anak dari suaminya.

Selanjutnya, kalimat “uangku ya uangku” bisa dibenarkan secara syariat, karena seorang istri tidak memiliki kewajiban untuk menafkahi suami maupun anaknya. Bahkan sebaliknya justru ia yang berhak atas nafkah. Suami tidak berhak atas uang istrinya, tidak berhak membelanjakan uang istri tanpa seizinnya, dan jikapun istri mengizinkan, maka pembelanjaannya harus sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh istri.

Imam Abu Muhammad Ibnu Qudamah memberikan penjelasan:

ولأن المرأة من أهل التصرف، ولا حق لزوجها في مالها، فلم يملك الحجر عليها في التصرف بجميعه كأختها

Artinya: “Karena perempuan adalah ahli tasharruf, dan tidak ada hak bagi suami dalam harta istrinya. Maka suami tidak memiliki hak untuk mencegah istri dalam pentasharufan seluruh hartanya”. (Abu Muhammad Ibnu Qudamah, Al-Mughni [Kairo: Maktabah Al-Qahirah, 1968], j. IV, h. 349)

Pada akhirnya, keuangan adalah salah satu aspek penting dalam hubungan dan ketidakseimbangan dalam mengelolanya dapat menyebabkan ketegangan yang tidak perlu.

Oleh karena itu sebaiknya pasangan berfokus pada membangun kebiasaan komunikasi yang baik dan menghormati kontribusi satu sama lain dalam setiap aspek kehidupan berumah tangga. Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bis shawab.

Home 2 Banner

Syariah Lainnya

Home 1 Banner