Arina.id - Penulis pernah melakukan perjalanan dari Surabaya ke Jakarta dengan menggunakan bus untuk sebuah keperluan. Dari Surabaya pukul 19.00 WIB dan sampai ke tujuan pada waktu itu di Jakarta Barat pada pukul 06.25 WIB. Penulis mengalami kendala untuk melakukan sholat Subuh sebab masih dalam perjalanan. Tentunya tidak ada tempat yang memadai untuk melakukan sholat dengan leluasa.
Kondisi seperti ini sering dialami oleh orang yang melakukan perjalanan panjang dengan menggunakan transportasi umum. Lantas, bagaimana cara melaksanakan sholat Subuh ketika dalam kondisi perjalanan seperti ini?
Selain tempat yang tidak memadai untuk melakukan sholat dengan gerakan yang sempurna, kondisi ini juga sering berkaitan dengan kesulitan untuk bersuci dari hadats atau najis. Meskipun sebagian bus atau kereta kelas eksekutif sudah menyediakan toilet yang memadai dengan fasilitas air bersih dan juga cukup digunakan untuk berwudhu.
Pada dasarnya, seorang Muslim wajib melaksanakan sholat meskipun tidak dilakukan dengan posisi yang sempurna karena keterbatasan fisik, seperi tidak bisa berdiri dan sholat dengan duduk. Begitu juga ketika tidak menemukan air atau debu yang bisa digunakan untuk bersuci sebelum sholat, maka tetap melaksanakan sholat dengan semampunya dan sholat yang dilakukan ini dinamakan dengan sholat li hurmatil waqti. Dalam artian, sholat ini dilakukan untuk menghormati waktu agar tidak dianggap sengaja meninggalkan sholat. Ketika sudah ada waktu dan tempat yang memungkinkan, sholatnya akan diulangi.
Niat sholat lihurmatil waqti adalah sebagai berikut:
اُصَلِّيْ فَرْضَ الصُّبْحِ لِحُرْمَةِ الوَقْتِ للهِ تَعَالَى
Artinya: "Saya niat sholat fardhu Subuh untuk menghormati waktu karena Allah Ta’ala."
Kemudian, niat sholat subuh yang dilakukan kembali ketika sampai ditempat tujuan atau tempat istirahat yang mungkin bisa melakukan sholat sejenak adalah sebagai berikut:
اُصَلِّي فَرْضَ الصُّبْحِ اِعَادَةً للهِ تَعَالَى
Artinya: "Saya niat sholat fardhu subuh dengan mengulangi karena Allah ta’ala."
Sholat lihurmatil waqti ini sebagaimana catatan Imam Nawawi berikut:
قَالَ أَصْحَابُنَا وَلَوْ حَضَرَتْ الصَّلَاةُ الْمَكْتُوْبَةُ وَهُمْ سَائِرُوْنَ وَخَافَ لَوْ نَزَلَ لِيُصَلِّيَهَا عَلَى الأَرْضِ إِلَى القِبْلَةِ اِنْقِطَاعاً عَنْ رِفْقَتِهِ أَوْ خَافَ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ لَمْ يَجُزْ تَرْكُ الصَّلَاةِ وَإِخْرَاجُهَا عَنْ وَقْتِهَا بَلْ يُصَلِّيْهَا عَلَى الدَّابَةِ لِحُرْمَةِ الوَقْتِ وَتَجِبُ الإِعَادَةُ لِأَنَّهُ عُذْرٌ نَادِرٌ.
Artinya: "Ashab Syafiiyah mengatakan jika waktu sholat datang dan mereka masih dalam perjalanan, mereka takut jika turun untuk sholat dengan menghadap kiblat akan terpisah dari rombongan atau takut akan dirinya atau kehilangan hartanya maka dia tidak boleh meninggalkan sholat dan melakukan di luar waktunya, akan tetapi wajib baginya sholat di atas kendaraan untuk menghormati waktu dan wajib i’adah (mengulang sholat) karena kondisi ini terhitung udzur yang langka." (Yahya bin Syarf al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, [Kairo: Al-Muniriyah], juz 3, hal. 242.).
Catatan al-Nawawi jelas menunjukkan bahwa seseorang meskipun dalam kondisi perjalanan dan tidak fleksibel melakukan sholat, tetap harus melaksanakan sholat di waktunya dengan tujuan hurmatul waqti dan wajib untuk mengulangi sholatnya ketika sudah dalam kondisi yang longgar dan fleksibel.
Catatan al-Nawawi juga mengindikasikan sholat hurmatul waqti tidak perlu untuk menghadap kiblat dengan sempurna dan melakukan gerakan dengan sempurna. Akan tetapi dilakukan dengan gerakan yang memungkinkan karena keterbatasan ruang gerak karena sedang dalam kendaraan.
Oleh karena itu, ketika sudah mengetahui masuknya waktu Subuh maka seseorang yang dalam perjalanan harus mempersiapkan diri untuk melakukan sholat dengan kondisi seadanya dan menghadap arah manapun, dan dalam posisi sebisanya seperti dengan duduk dan melakukan rukuk dan sujud dengan isyarat. Kemudian ketika sampai tujuan atau sampai di tempat istirahat perjalanan, maka wajib untuk mengulang sholat (i’adah) sholat subuh yang dilakukan dengan hurmatul waqti tersebut. Wallahu a'lam bisshawab.