“No free lunch”. Demikianlah kira-kira tamsil yang pas untuk meneroka hubungan antara pemerintah Amerika Serikat dan para petinggi Angkatan Darat Republik Indonesia dalam lingkaran setan malapetaka Gerakan 30 September 1965 dan peristiwa-peristiwa sesudahnya.
Ungkapan “tidak ada makan siang gratis”–yang menurut laporan New York Times pada 1872–sudah populer sekira tahun 1800-an untuk menarik pelanggan, banyak bar di Crescent City (New Orleans), Amerika Serikat menawarkan makan siang gratis. Namun, jika ingin minum, mereka harus bayar. Pemilik bar sengaja menawarkan makan siang gratis, di mana biaya makanan tersebut ditanggung dari pembelian minuman. Jadi, Meskipun berkedok gratis, sebenarnya pelanggan tetap membayar.
Para pejabat AS, sebagaimana mitra-mitra militer Indonesia mereka, memandang operasi penumpasan pemimpin Partai Komunis Indonesia itu sebagai “sebuah perebutan kekuasaan” dan bukan “sebuah perjuangan ideologis”.
Konsul Inggris di Medan, Sumatera Utara merumuskan perlawanan antara Tentara dan PKI di Pulau Sumatera untuk merebut kendali atas pelabuhan-pelabuhan, perkebunan karet dan tambang-tambang timah lokal sebagai sebuah perlawanan untuk memperebutkan puncak-puncak kekuatan perekonomian Indonesia, dan mempercekakkan cadangan devisa dan akses sumber daya yang akan terbuka dengan adanya kendali itu.
Perkebunan-perkebunan di Sumatera Utara menjadi tempat terjadinya sejumlah serangan yang paling berdarah terhadap para pendukung PKI, dengan tentara menangkap, membuat beragama, atau ‘membereskan’ sekira 3.000 anggota PKI setiap pekan (Robison 2008).
Washington bersikap mendua terhadap militer Indonesia, bahkan saat mendukung upaya mereka untuk menumpas PKI dan merebut kursi kekuasaan dari Presiden Sukarno. Para pejabat AS khawatir mengenai kesediaan AD untuk menggulingkan Sukarno dan kimput bahwa mereka akan menolak tuntutan negara-negara Barat untuk merestrukturisasi ekonomi dan kebijakan luar negeri Indonesia. Negara-negara Barat bersikeras bahwa militer bukan hanya harus menghancurkan PKI, melainkan juga menyingkirkan Sukarno dan para pendukungnya.
Menurut Mattias Fibiger dalam Suharto’s Cold War: Indonesia, Southeast Asia, and the World (2023), selama Sukarno masih berkuasa, akan musykil bagi Mayor Jenderal Soeharto dkk. untuk membuat perubahan drastis yang oleh AS dan negara-negara lainnya dianggap perlu untuk memulihkan stabilitas ekonomi dan politik. Sebagaimana diperhatikan oleh salah seorang pejabat AS, angkatan bersenjata masih sangat nasionalis dan penumpasan PKI tidak akan mengubah hal ihwal ini.
Dalam hitungan jam setelah terjadinya G30S, Washington mulai mendaftar bantuan ekonomi dan finansial apa yang dibutuhkan oleh angkatan bersenjata jikalau nanti mereka mengambil alih kekuasaan. Pada pekan itu, para jenderal AD mendekati Kedutaan Besar AS untuk mendapatkan senjata, suku cadang, kapas, beras, dan perlengkapan lainnya.
Departemen Luar Negeri Amerika berpendapat bahwa Amerika seharusnya tidak terburu-buru untuk memberikan bantuan tersebut, dan andai kita memberikannya, bantuan itu harus disertai dengan pelbagai syarat yang jelas dan pasti. Sementara pembantaian dimulai, Washington dan sekutu-sekutunya mulai mendedahkan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar bantuan ekonomi mereka kepada Indonesia bisa dilanjutkan.
Menumpas PKI saja tidak cukup. Sukarno harus dimakzulkan. Konfrontasi dengan Malaysia harus berakhir. Dan tentu saja, serangan-serangan terhadap kebijakan dan investasi AS dan Barat harus berhenti. Begitu dilanjutkan, pemberian bantuan itu akan dikaitkan dengan kesediaan Indonesia untuk mengatasi beberapa di antara masalah struktural yang selama ini sudah mencegah kemajuan pembangunan ekonomi. Pemberian bantuan juga akan langsung berkelindan dengan kesediaan Indonesia untuk menerima rencana-rencana ekonomi yang disetujui oleh Amerika dan International Monetary Fund (IMF); pencairannya akan dilakukan secara multilateral, dan sebaiknya di bawah pimpinan Jepang.
Gertak sambal
Para pejabat AS mengungkapkan rasa frustasi mereka bahwa Soeharto dan perwira-perwira militer lainnya ingin membicarakan masalah bantuan ini secara terpisah dari konteks politik-ekonomi yang lebih luas [tinimbang] hubungan Amerika-Indonesia.
Sebagaimana yang dikatakan oleh salah satu kelompok dari mereka kepada Duta Besar Green, yang tampaknya ingin diketahui oleh para pemimpin AD hanyalah “seberapa besar nilainya bagi kami jika PKI ditumpas dan kecenderungan [politis] di sini berbalik, sehingga bagian wilayah Asia Tenggara yang besar ini akan selamat dari komunisme?”
Walakin, frustasi Washington tidak pada tempatnya. Soeharto dkk. memiliki strategi yang menjantang, yaitu: memeras bantuan sebanyak mungkin yang bisa mereka dapatkan dari negara-negara Barat, dalam rangka mengonsolidasikan kekuasaan mereka seraya menghindari syarat-syarat yang ingin diterapkan oleh Washington sebagai harya dari pemberian dukungannya untuk pemerintahan militer. Posisi perusahaan-perusahaan minyak Barat di Indonesia merupakan yang paling dipentingkan di antara isu-isu yang lebih luas ini.
Masalahnya, sebagaimana dinyatakan oleh Kedutaan Besar AS, bahwa “bahkan pimpinan AD yang paling anti-komunis pun sangat dipengaruhi oleh keyakinan bahwa orang-orang Indonesia harus mengontrol sumber daya alam mereka sendiri” dan harus memiliki “kendali atas urusan [mereka] sendiri.” Para pejabat Australia dan Jepang, yang juga khawatir mengenai implikasi yang lebih luas dari tindakan Indonesia, secara tidak langsung memperingatkan bahwa mereka akan menolak memberi bantuan untuk Indonesia di masa depan jika Indonesia mengambil alih perusahaan-perusahaan minyak (Bevins 2022).
Gertak-gertak sambal ini berhasil mencapai tujuannya. Titimangsa 16 Desember 1965, Soeharto mengatakan kepada sekelompok pejabat tinggi Indonesia bahwa pihak militer tidak akan membiarkan langkah-langkah yang tergesa-gesa terhadap perusahaan-perusahaan minyak, guna mencegah terjadinya krisis yang berkanjang.
Sepanjang awal 1966, ekonomi Indonesia nyaris runtuh tatkala para petinggi AD semakin meningkatkan tekanan mereka terhadap Sukarno. Pada Januari, Sukarno memberitahu bank-bank negara Barat bahwa Indonesia tidak mampu lagi membayar utang-utangnya dan, seperti dikatakan oleh kedutaan besar AS, “melengkapi kehancuran reputasi kredit internasionalnya”. Kiwari Soeharto dkk. berusaha menjauhkan diri dari kebijakan ekonomi Sukarno, seraya berkata kepada pihak kedutaan besar negara-negara Barat agar mereka “jangan lagi memberi bantuan ekonomi kepada Indonesia”.
Mungkin yang lebih penting, para pemimpin AD mengupayakan, dengan dukungan AS dan Inggris, untuk mempercepat keruntuhan ekonomi Indonesia dengan jalan mengalihkan dana-dana dari Bank Sentral dalam rangka menciptakan sebuah anggaran parallel [terpisah dari anggaran resmi pemerintah Presiden Sukarno].
Pada Februari Soeharto dan Ibnu Sutowo mengatakan kepada para pejabat Caltex bahwa mereka sangat membutuhkan dan untuk mengimpor barang-barang kebutuhan pokok dan sejumlah perlengkapan untuk kebutuhan militer. Mereka menginstruksikan Caltex untuk mulai membayar pendapatan atas penjualan minyak Indonesia ke sebuah rekening yang tidak bernama pada sebuah bank di Belanda tinimbang menyetorkannya ke Bank Sentral Indonesia. Menteri Perkebunan Frans Seda membuat pengaturan yang serupa dengan Goodyear, US Rubber, dan juga untuk penerimaan atas penjualan timah (Simpson 2011: 278).
Pengalihan sumber-sumber utama devisa Indonesia merupakan pukulan telak terhadap Sukarno, sehingga pemerintah tidak memiliki akses untuk mendapatkan devisa utama, dan menunjukkan ketidakberdayaan sang Presiden untuk memberi makan dan pakaian kepada rakyatnya.
Mendaki Gunung Ertsberg
Kembalinya investor-investor asing sangat penting dalam perencanaan yang disusun AS untuk masa depan Indonesia. Tatkala Soeharto mengambil alih kekuasaan, para pejabat AS menekankan bukan saja kepercayaan kreditor asing, melainkan juga kepercayaan investor asing. Kasus perusahaan pertambangan yang berbasis di New Orleans, Freeport Sulphur, melukiskan apa yang dipertaruhkan.
Dalam bukunya, The Politics of Power: Freeport in Suharto's Indonesia (2003), Denis Lieth mengisahkan bahwa antara tahun 1959 dan 1965, Freeport bernegoisasi dengan Departemen Pertambangan Indonesia untuk mengeksplorasi mineral di Irian Barat, hanya untuk menyaksikan Sukarno menutup pintu investasi asing. Akan tetapi, beberapa hari saja sejak peralihan kekuasaan dari Sukarno titimangsa 11 Maret 1966, para teknisi Freeport sudah menjelajahi Irian Barat, sejauh 96,6 km dari pantai selatan pulau itu, sambil berharap untuk menjadi orang-orang perdana yang mencapai Ertsberg, sebuah “gunung tembaga” yang menjulang setinggi 3600 m.
Freeport dianggap sebagai ujian penting untuk membuktikan niat rezim baru di Indonesia. Kedutaan Besar AS menilai perundingan antara Freeport dan para pejabat Indonesia sebagai awal diajukannya pertanyaan penting mengenai apakah sikap negatif Indonesia terhadap investasi asing akan berubah.
Beberapa bulan kemudian Menteri Luar Negeri Adam Malik menyatakan kepada Duta Besar Green bahwa para menteri ekonomi telah mulai menyusun undang-undang investasi asing yang baru. Washington sangat memengaruhi penyusunan undang-undang itu. Seorang konsultan dari Van Sickle Associates yang berbasis di Denver membantu Widjojo Nitisastro, sang ekonom, menyusun undang-undang itu, yang lantas diserahkan oleh pejabat Indonesia ke Kedutaan Amerika, untuk dimintai komentarnya mengenai kemungkinan berbagai perbaikan dari pihak investor AS.
Setelah Freeport Sulphur, investor-investor asing yang prospektif mulai mengerubungi Indonesia, terutama di bidang ekstraksi dan produksi bahan baku: perusahaan pertambangan, kayu, minyak bumi, kimia dan pupuk, serta bank-bank yang membiayai mereka. Tahun 1967, para pejabat Indonesia menyebar di ibu kota negara-negara Barat, menyebarkan berita tentang adanya peluang-peluang anyar untuk masuknya modal asing di tanah air.
Arkian, tahun 1968, para pejabat AS memandang rezim Soeharto sebagai sebuah keberhasilan kebijakan luar negeri yang besar. Sukarno tersingkir; PKI dibabat habis; partai-partai politik dibonsai; pemerintahannya berkomitmen untuk melakukan reformasi ekonomi pro-Barat dan terbuka bagi modal asing; dan Militer RI sudah sulit dikalahkan. Selain itu, Indonesia memainkan peran yang moderat di kawasan ini melalui pembentukan Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Sementara Indonesia mempertahankan kebijakan luar negerinya yang non-blok, ketergantungan Indonesia terhadap bantuan dan investasi asing dan sikap militer yang sangat anti-komunis menjadikan netralitas Indonesia bercorak pro-Barat.
G3S dan penumpasan PKI membuat para pejabat AS tampak mahardika meramal masa depan serta mendapatkan keuntungan darinya. Bagi Washington, penghancuran PKI di Indonesia mengubah perhitungan politik Perang Vietnam dan secara signifikan mengurangi kemungkinan menangnya Hanoi dan the National Liberation Front (Front Pembebasan Nasional) di wilayah itu. Untuk Uni Soviet dan Cina, bersetai-setainya PKI membuat kedua negara itu semakin merasakan pentingnya mengukuhkan kedudukan mereka di Vietnam. Inggris melihat menggulingan Sukarno sebagai langkah pertama untuk mengakhiri Konfrontasi Indonesia-Malaysia dan menarik diri dari Asia Tenggara, sebuah kebijakan yang amat ditentang oleh Washington.
Muhammad Iqbal
Sejarawan IAIN Palangka Raya. Menulis tiga buku: Tahun-Tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021), dan Bermula dari Cerita Abah: Pemikiran Islam, Politik Islam, dan Islam Tradisi (Yogyakarta: Tanda Baca, Mei 2022).