Masjid dalam beragam literatur keislaman disebut sebagai pusat peradaban Islam, tempat kaum Muslim melakukan pemanifestasian ajaran-ajaran Islam. Tak jarang masjid juga di awal pekembangannya menjadi pusat belajar, di samping pusat dakwah Islam. Bahkan Charles M. Stanton tak jarang menyebut supremasi keilmuan Islam bermula dan berpuncak dari lembaga-lembaga non-formal semacam masjid, bukan lembaga formal semacam madrasah.
Catatan Johannes Pedersen (1984:20) menyebutkan bahwa secara historis, “the starting point and the center of prodigious literary activity that developed in Islamic lands was the mosque… every aspect of the intellectual life of Islam was cultivated in the mosque”. Untuk itu, membangun peradaban Islam pun bisa dimulai, berakar dan berbasis masjid. Adolf Heuken (2003: 16-17) dalam Mesjid-Mesjid Tua di Jakarta mencatat beberapa masjid tua di Indonesia berdasarkan tahun berdirinya, di antaranya yaitu: Masjid Baiturrahman Banda Aceh tahun 1292 M, Masjid Leran Pesucinan Gresik tahun 1385 M, Masjid Sawo Gresik tahun 1398 M, Masjid Mapauwe Leihitu Maluku Tengah tahun 1414 M, Masjid Panjunan Cirebon tahun 1453 M, Masjid Agung Demak tahun 1477 M, Masjid Menara Kudus tahun 1530 M, Masjid Sultan Suriansyah Banjarmasin tahun 1526 M, Masjid Katangka Gowa Sulawesi Selatan tahun 1603 M, Masjid Agung Palembang tahun 1663 M, Masjid Agung Kota Waringin Kalimantan Tengah tahun 1725 M, Masjid Besar Kauman Yogyakarta tahun 1773 M dan beberapa masjid lain di Indonesia yang berdiri memasuki abad ke-18 M hingga abad ke-19 M. Ini mengindikasikan bahwa perkembangan Islam di Indonesia tidak terlepas dari keberadaan masjid yang difungsikan masyarakat Muslim saat itu.
Sebuah artikel klasik berjudul The Mosque in Islam: Its Religious and Political Role ditulis oleh Desiderio Pinto (1993: 120) menyebutkan bahwa kata “masjid” secara morfologi berasal dari akar kata s-j-d yang berarti prostrate atau sujud. Akar kata s-j-d ini kemudian diderivasi menjadi kata yang menunjukkan tempat, sehingga menjadi “masjad” atau “masjid” yang berarti tempat membungkuk dengan khidmat atau tempat bersujud (Munawwir, 1984:650). Secara terminologi, Quraish Shihab (1996: 460) dalam Wawasan Al-Qur’an menyatakan bahwa meski kata “masjid” secara bahasa berarti bangunan tempat bersujud, tapi lebih dari itu, masjid sesungguhnya merupakan tempat melaksanakan segala aktivitas manusia yang mencerminkan kepatuhan kepada Allah.
Peradaban Masjid
Masjid terus mengalami perluasan fungsi. Mohammed Makki Sibai (1987:15-34) dalam Mosque Libraries: An Historical Study menyebutkan tiga peranan dasar (three basic roles) masjid secara historis, yaitu: peran sosial, peran politik dan peran pendidikan. Secara umum masjid merupakan tempat favorit bagi orang-orang Islam untuk melakukan upacara atau peringatan terhadap suatu peristiwa, baik yang bersifat keagamaan maupun sosial. Selain itu, masjid juga berfungsi sebagai pusat kegiatan yang berorientasi politik. Sebagian orang meyakini bahwa perkembangan ini tidak dapat dielakkan. Hal ini didukung oleh fakta bahwa apa saja yang akan dilakukan oleh Rasulullah pasti selalu kembali kepada masjid. Dari masjid, Beliau dapat mengontrol masyarakat Islam secara politis, meskipun peran politik masjid untuk saat ini sudah tidak kontekstual dan relevan lagi, mengingat sudah adanya lembaga politik secara tersendiri.
Terkait dengan peran pendidikan, sejak masa awal Islam, proses belajar mengajar umat Islam telah dilakukan di masjid. Bahkan George Makdisi (1981: 21) dalam The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West menyebut proses pendidikan di masjid dalam periode keemasan Islam dipandang sebagai pendidikan tinggi (higher learning) dan lembaga belajarnya disebut Mosque Colleges karena tinggi dan beragamnya materi yang diajarkan di dalam lembaga pendidikan masjid. Hubungan antara masjid dan belajar merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, untuk membangun peradaban Islam Indonesia yang unggul dapat dimulai dari masjid dengan beragam fungsi keagaman dan sosialnya.
Beberapa fungsi masjid di atas mendapatkan penekanan serius dari Rasulullah melalui hadis yang diriwayatkan Muslim (Sahih Muslim No. 285). Beliau bersabda bahwa “masjid-masjid itu ditujukan untuk ẓikr Allāh, salat dan membaca al-Qur’an”. Ẓikr Allāh artinya mengingat Allah. Peradaban Islam Indonesia dimaksudkan dengan ini adalah peradaban yang dapat mengakomodir segala aktivitas umat yang dilakukan dalam rangka mengingat Allah. Segala aktivitas sosial dan budaya yang dilakukan dengan tujuan ẓikr Allāh akan diakomodasi dan diimplementasikan dalam rangka pencapaian peradaban yang unggul. Shalat tentu saja menjadi kunci peradaban Islam Indonesia yang unggul, karena menjadi bagian rukun Islam dengan segala hikmah di dalamnya. Membaca al-Qur’an pun demikian, menjadi salah satu keunggulan peradaban Islam Indonesia agar tercipta peradaban qur’ani. Akan tetapi, pembacaan atas terma “membaca al-Qur’an” ini perlu pemahaman konteksual, bukan melulu tekstual dalam arti betul-betul membaca al-Qur’an. Secara kontekstual dapat dipahami bahwa segala aktivitas yang dilakukan dalam rangka memahami konten dan kandungan al-Qur’an, yang tentunya diwujudkan melalui jalur pendidikan mulai tingkat pradasar hingga perguruan tinggi, maka ini diupayakan dalam rangka pencapaian peradaban Islam Indonesia yang unggul.
Moderasi beragama
Masjid merupakan Rumah Allah (Bait Allāh) yang kesuciannya harus tetap dijaga. Segala sesuatu yang diduga dapat mengurangi kesucian masjid, tidak boleh dilakukan di dalam masjid. Allah telah menyerukan agar para pengunjung masjid memakai pakaian yang bersih dan sopan (zinah) setiap hendak memasuki masjid (QS. al-A’raf: 31). Semua ini dilakukan agar masjid mampu memberikan ketenangan dan ketenteraman bagi para pengunjung dan lingkungan sekitarnya. Rasulullah pun telah melarang munculnya benih-benih pertengkaran di dalam masjid, karena masjid dibangun atas dasar takwa (Al-Taubah: 108). Al-Thabari dalam tafsirnya dengan mengutip Imam Abu Ja’far menerangkan bahwa melalui ayat 108 surat al-Taubah ini Allah memberikan peringatan kepada Rasulullah untuk tidak melakukan ibadah di masjid (lā taqum fīhi abadā) yang dibangun oleh orang-orang Munafik, yaitu masjid yang dapat menimbulkan mudarat (Ḍarār) dan mengakibatkan perpecahan (Tafrīq) di kalangan orang Mukmin.
Konteks di atas menyiratkan bahwa masjid merupakan pilar peradaban untuk membangun kesucian dan ketenangan umat, serta sekaligus sebagai instrumen untuk menangkal kemudaratan dan perpecahan. Ketika Kementerian Agama yang bekerja sama dengan PPIM Jakarta pada tahun 2020 menerbitkan buku berjudul Pedoman Penguatan Moderasi Beragama di Masjid, maka nilai-nilai moderasi beragama sejatinya dapat dibangun dari peradaban masjid. Segala tindakan berbau liberalisme dan atau extremisme/radikalisme tidak layak dilakukan dan disemaikan melalui masjid. Karena tindakan-tindakan ini akan menodai kesucian dan ketenangan masjid yang dapat melanggar fungsi zīnah, bahkan sekaligus dapat melahirkan Ḍarār dan Tafrīq di kalangan umat manusia. Visi kenabian Nabi Muhammad jelas, yaitu Wa mā arsalnāka illā raḥmah li al-‘ālamīn (QS Al-Anbiya: 107), maka masjidpun dapat menjadi arena persemaian rahmat (kasih sayang), bukan kemudaratan dan perpecahan. Inilah esensi moderasi beragama, sebagaimana ditegaskan Kementerian Agama melalui tersebut.
Aplikasi Sistem Informasi Masjid (SIMAS) milik Kementerian Agama menyebut hingga Agustus 2023, terdapat 299.644 masjid di Indonesia dengan berbagai kategorinya, di luar tempat ibadah yang disebut musholla. Jumlah ini sangat signifikan sekali ketika semua masjid di Indonesia mengusung ajaran Islam Wasathiyyah. Masjid difungsikan sebagai bagian dari instrumen peradaban yang mengedepankan ketenangan dan kesejukan bagi umat, bukan peradaban yang justru malah menelorkan perpecahan dan kemudaratan melalui masjid. Dari sini tampak relevansi dan kontribusi NU melalui program LTMNU-nya untuk memoderasi masjid, sehingga fungsi masjid dikembalikan ke khittahnya, yaitu sebagai instrumen peradaban untuk menyemaikan ketenangan dan kesucian. Inilah alasan mengapa Ketua Umum PBNU, Gus Yahya, misalnya menegaskan akan bahaya menjadikan masjid sebagai media untuk kampanye politik, terutama dalam menghadapi tahun politik 2024.
NU sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia memiliki konsen pada pembangunan peradaban manusia. Terkait dengan masjid, NU memiliki lembaga yang khusus melaksanakan kebijakan PBNU dalam pengelolaan masjid, yaitu LTMNU (Lembaga Takmir Masjid Nahdlatul Ulama). Situs resmi NU, https://www.nu.or.id, menyebut sembilan program LTMNU, di antaranya adalah memakmurkan masjid dengan ajaran Islam Wasathiyyah. Program LTMNU ini tentu sangat sejalan dengan kebijakan pemerintah yang tertera dalam RPJMN 2019-2024, yaitu kebijakan moderasi beragama.
Berbagai survei menyebut bahwa saat ini jamiyyah NU dengan paham Aswaja An-Nahdliyyah merupakan Muslim mayoritas di negeri ini, dan otomatis masjid yang dikelola NU pun menjadi dominan, maka kondisi ini menjadi aset NU untuk memperkuat moderasi beragama melalui peradaban masjidnya. Tinggal lagi bagaimana masjid-masjid NU itu dikelola secara modern dengan memperhatikan aspek Idārah masjid (penataan manajemen masjid), ‘Imārah masjid (kegiatan memakmurkan masjid melalui peribadatan, sosial budaya, dakwah, pendidikan, dan pemberdayaan ekonomi), serta aspek Ri’āyah masjid (pemeliharaan masjid yang meliputi kebersihan, keindahan, penataan lingkungan, pembangunan dan pengadaan sarana-prasarana masjid). Ketika ketiga aspek masjid ini diarahkan secara modern, maka masjid-masjid NU yang di bawah LTMNU itu menjadi mesin peradaban yang efektif dalam memperkuat moderasi beragama di tanah air.
Toto Suharto
Rektor UIN Raden Mas Said Surakarta, Wakil Rais PCNU Sukoharjo, dan Ketua Umum Pengurus Masjid Agung Sukoharjo.