Sejak 7 Oktober 2023, serangan yang dilancarkan Israel ke wilayah Palestina telah merenggut puluhan ribu nyawa. Bahkan, Defense for Children International-Palestine (DCIP) menyebukan, selama sebulan terakhir, jumlah anak-anak Palestina yang terbunuh akibat serangan pasukan Israel dua kali lipat lebih banyak dibandingkan jumlah total anak-anak Palestina yang terbunuh di Tepi Barat dan Gaza sejak tahun 1967.
Tragedi serangan ini bukan hanya tentang angka dan statistik; ini adalah kisah ribuan jiwa yang kini hidup dalam bayang-bayang ketakutan, kekhawatiran, dan teror. Mereka yang selamat kini menghadapi dilema kehidupan yang paling dasar: bertahan hidup di tengah reruntuhan yang pernah mereka sebut sebagai “rumah”.
Dalam kecaman yang tegas dan harapan yang mendalam, kita semua berdiri bersama warga Palestina. We Stand with Palestine! Kita mengutuk setiap serangan yang mengoyak kedamaian dan mengharapkan hari dimana warga Palestina dapat hidup dengan nyaman, dan aman dalam negara mereka sendiri. Harapan ini bukan hanya untuk mereka, tetapi juga sebagai penegasan bahwa mereka adalah bagian integral dari komunitas global, berhak atas kedamaian dan keamanan seperti setiap warga dunia lainnya.
Tulisan berikut akan menyajikan sebuah eksplorasi ringkas mengenai doktrin-doktrin yang dipegang oleh agama-agama Samawi—Islam, Kristen, dan Yahudi—yang menempatkan Palestina, lebih khusus Yerusalem atau juga dikenal sebagai Tanah Yudea, dalam posisi yang sangat sakral. Penelusuran sejarah dan teologi yang mengelilingi pentingnya wilayah ini bagi ketiga agama tersebut, memahamkan kita bagaimana setiap tradisi memandang dan menghormati tanah ini sebagai pusat keimanan dan spiritualitas. Melalui pemahaman ini, kita dapat mendekati inti dari konflik yang berkepanjangan dengan perspektif yang lebih berwawasan, dan empati yang lebih dalam terhadap nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masing-masing kepercayaan.
Islam tentang Al-Aqsha
Tanah Palestina, yang di dalamnya terletak Masjid Al-Aqsha, dihormati dalam Islam sebagai tanah yang diberkahi dan memiliki kedudukan yang signifikan dalam sejarah keislaman. Surah Al-Isra (17:1) menegaskan keberkahan yang Allah curahkan pada masjid ini dan sekitarnya, yang menjadi tempat peristiwa Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW, mengukuhkan pentingnya Yerusalem dalam Islam. Tafsir dari ayat ini menunjukkan bahwa keberkahan tersebut tidak hanya terbatas pada masjid itu sendiri tetapi juga pada tanah di sekitarnya, yang kaya akan sejarah dan penting bagi umat Islam.
Surah Al-Maidah (5:21) mengingatkan umat manusia untuk menghargai dan memelihara tanah yang diberkahi oleh Allah. Dalam konteks Islam, ayat ini sering diinterpretasikan sebagai peringatan kepada Bani Israil melalui Nabi Musa AS untuk menghormati tanah yang telah Allah tentukan bagi mereka. Tafsir dari ayat ini menekankan bahwa tanah suci yang dimaksud adalah tanah Palestina, yang merupakan warisan yang harus dijaga oleh umat Islam, mengingatkan mereka akan kedalaman spiritual yang terkait dengan tanah ini.
Surah Al-A'raf (7:137) menegaskan bahwa Allah mewariskan tanah yang diberkahi kepada mereka yang tertindas dan sabar, yang dalam konteks Islam, merujuk pada warisan yang diberikan kepada umat Islam sebagai pengganti atas kesabaran dan keteguhan mereka dalam menghadapi cobaan. Tafsir dari ayat ini menggambarkan bagaimana Allah menghargai kesabaran dan ketabahan dengan memberikan tanah yang subur dan kaya, yang kini dikenal sebagai Palestina, sebagai bukti janji-Nya yang terpenuhi bagi mereka yang taat dan sabar.
Hadis Nabi Muhammad SAW menambahkan bobot pada pentingnya Masjid Al-Aqsha, dengan menyatakan bahwa perjalanan untuk beribadah hanya dianjurkan ke tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjid Al-Aqsha. Ini menunjukkan kedudukan istimewa Masjid Al-Aqsha dalam Islam, yang pahala ibadah di dalamnya dikatakan berlipat ganda. Hadis ini menegaskan lagi keutamaan dan keberkahan yang Allah berikan kepada tempat ini, serta pentingnya menjaga dan menghormati masjid ini sebagai pusat spiritualitas Islam.
Selama berabad-abad, Palestina dan Yerusalem telah berada di bawah pemerintahan Islam yang dimulai sejak Khalifah Umar bin Khattab pada abad ke-7, menandai awal dari periode panjang pemerintahan Islam di wilayah tersebut. Di bawah pemerintahan Islam, Yerusalem berkembang menjadi pusat ilmu pengetahuan, perdagangan, dan kebudayaan, dihormati sebagai kota suci ketiga dalam Islam setelah Mekah dan Madinah. Kekhalifahan yang berbeda, mulai dari Umayyah, Abbasiyah, Fatimiyah, Ayyubiyah, hingga Kesultanan Utsmaniyah, telah memelihara dan memperkaya warisan kota ini dengan arsitektur yang megah dan institusi pendidikan yang terkenal. Selama periode ini, Yerusalem dan Palestina menikmati era toleransi dan keragaman, di mana umat Islam, Kristen, dan Yahudi hidup berdampingan dengan relatif damai, berbagi dan merayakan kekayaan sejarah serta spiritualitas yang mendalam yang ditawarkan oleh tanah ini.
Dalam konteks internasional, Organisasi Kerjasama Islam (OKI) telah menunjukkan dukungan yang kuat terhadap perjuangan rakyat Palestina untuk mendirikan dan mempertahankan negara mereka. OKI, yang merupakan suara kolektif dari negara-negara Islam, secara konsisten menegaskan solidaritasnya dengan Palestina dan menyerukan kepada komunitas internasional untuk mengakui dan mendukung hak-hak rakyat Palestina. Dukungan ini mencerminkan komitmen umat Islam di seluruh dunia untuk melihat Palestina berdiri sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, dengan Yerusalem sebagai hatinya, yang akan terus dihormati dan dipelihara sebagai warisan spiritual yang tak ternilai.
Penghargaan Umat Kristiani terhadap Kota Suci Yerusalem
Dalam tradisi Kristen, Yerusalem memiliki kedudukan yang sangat penting sebagai kota suci, yang kaya akan sejarah dan spiritualitas. Dalam Perjanjian Lama, Yerusalem dikenal sebagai kota yang dipilih oleh Allah untuk menempatkan nama-Nya dan di mana Bait Suci dibangun, yang menjadi pusat kehidupan beragama bagi umat Israel. Misalnya, dalam 1 Raja-raja 11:36, Allah berfirman kepada Raja Daud bahwa anaknya, Salomo, akan membangun Bait Suci di Yerusalem, yang akan menjadi tempat Allah menunjukkan kehadiran-Nya kepada umat-Nya. Ayat ini dan banyak lainnya dalam Perjanjian Lama menegaskan pentingnya Yerusalem sebagai pusat ibadah dan identitas bangsa Israel.
Dalam Perjanjian Baru, Yerusalem tetap menjadi pusat peristiwa penting, terutama dalam kehidupan Yesus Kristus. Kota ini adalah tempat Yesus mengalami penyaliban dan kebangkitan, yang merupakan inti dari iman Kristen. Dalam Injil Lukas 13:34, Yesus menyatakan kasih dan kepeduliannya terhadap Yerusalem, meskipun kota ini juga merupakan tempat di mana para nabi dan utusan Allah sering kali ditolak dan dibunuh. Yerusalem, oleh karena itu, dianggap sebagai tempat yang sakral dan tragis dalam sejarah keselamatan, yang menandai puncak dari rencana Allah untuk umat manusia melalui pengorbanan Yesus.
Pandangan gereja terhadap Yerusalem telah berkembang sepanjang sejarah, dengan mengakui kedua aspek sejarahnya yang kaya dan signifikansi spiritualnya yang mendalam. Gereja Katolik Roma, melalui Konsili Vatikan Kedua dan pengajaran para Paus, telah menekankan pentingnya Yerusalem sebagai kota yang harus terbuka dan dapat diakses oleh semua orang beriman, baik Yahudi, Kristen, maupun Muslim. Paus Yohanes Paulus II, misalnya, sering berbicara tentang Yerusalem sebagai "kota perdamaian" yang harus menjadi simbol rekonsiliasi dan harapan bagi dunia.
Selain itu, gereja-gereja Kristen lainnya juga menghormati Yerusalem sebagai tempat yang penting bagi kehidupan rohani mereka. Mereka mendukung upaya-upaya ekumenis dan dialog antaragama yang bertujuan untuk mempromosikan pengertian dan kerjasama di antara semua komunitas yang menghargai kota ini sebagai bagian dari warisan mereka. Dengan demikian, Yerusalem dianggap sebagai kota yang unik, di mana sejarah dan kepercayaan bertemu, dan di mana umat beriman dari berbagai tradisi dapat bersama-sama mencari dan memperdalam pengalaman mereka akan kehadiran Allah.
Agama Yahudi dan Kedatangan Mesiah
Dalam tradisi Yahudi, Yerusalem memegang tempat yang sangat suci dan sentral, sering disebut sebagai "Ibu Kota Israel" atau "Zion." Menurut kepercayaan Yahudi, Yerusalem adalah tempat di mana Abraham hampir mengorbankan putranya, Ishak, sebagai tanda iman kepada Yahweh, sebuah peristiwa yang dikenal sebagai "Akedah" dan dianggap sebagai ujian iman yang paling mendasar. Kota ini juga merupakan lokasi dari Bait Suci pertama yang dibangun oleh Raja Salomo, yang di dalamnya terdapat Ruang Mahakudus (Holy of Holies), tempat di mana Tabut Perjanjian disimpan dan dianggap sebagai tempat kediaman ilahi di bumi. Karena itu, Yerusalem tidak hanya merupakan pusat politik dan budaya bagi bangsa Israel kuno tetapi juga pusat spiritualitas dan ibadah.
Sejarah Yerusalem sebagai kota suci dalam Yahudi terus berlanjut dengan pembangunan Bait Suci kedua setelah pembuangan ke Babel, yang menjadi pusat kehidupan Yahudi hingga dihancurkan oleh Romawi pada tahun 70 M. Hari peringatan penghancuran Bait Suci, Tisha B'Av, adalah hari duka yang paling mendalam dalam kalender Yahudi, yang menandai kehilangan tempat suci ini dan dimulainya masa pengasingan Yahudi dari tanah leluhur mereka. Meskipun demikian, Yerusalem tetap menjadi fokus doa dan kerinduan Yahudi di seluruh dunia, yang menghadap ke arah kota ini saat berdoa dan mengingatnya dalam ritual-ritual penting seperti Paskah Yahudi (Pesach) dan pernikahan, dengan ucapan "Jika aku melupakan engkau, Yerusalem, biarlah tangan kananku melupakan ketrampilannya."
Teologi Yahudi mengenai Yerusalem juga erat kaitannya dengan konsep Mesias dan penebusan akhir zaman. Dalam eskatologi Yahudi, Yerusalem diharapkan akan menjadi tempat kedatangan Mesias dan pembangunan kembali Bait Suci ketiga, yang akan menandai era perdamaian dan keadilan universal. Doa-doa harian dan liturgi Yahudi penuh dengan referensi kepada pembangunan kembali Yerusalem dan pengharapan akan kedatangan zaman Mesias, yang akan memulihkan kota ini ke kemuliaan sebelumnya dan mengumpulkan kembali bangsa Yahudi dari empat penjuru dunia.
Pandangan ini tidak hanya terbatas pada aspek religius tetapi juga memiliki implikasi politik dan sosial yang kuat, terutama dalam konteks Zionisme modern. Zionisme, sebagai gerakan nasional Yahudi, telah memainkan peran penting dalam upaya memusatkan perhatian pada Yerusalem sebagai ibu kota negara Israel modern. Bagi banyak orang Yahudi, kembalinya ke Yerusalem dan negara Israel merupakan pemenuhan dari nubuat dan janji ilahi yang telah lama ditunggu-tunggu, yang menguatkan ikatan mereka dengan kota ini dan memperkuat identitas Yahudi mereka. Yerusalem, dengan demikian, tidak hanya menjadi simbol kesinambungan dan ketahanan Yahudi tetapi juga harapan dan masa depan bangsa tersebut.
Tragedi Holocaust, yang dilakukan oleh rezim Nazi terhadap jutaan Yahudi, telah meninggalkan luka mendalam dan tak terhapuskan dalam memori kolektif umat Yahudi, membangkitkan rasa dendam dan keinginan untuk keadilan yang kuat. Peristiwa mengerikan ini tidak hanya menjadi simbol dari kekejaman yang mungkin terjadi ketika kebencian dan intoleransi dibiarkan berkembang, tetapi juga memperkuat kerinduan umat Yahudi akan "rumah" - tempat yang aman di mana mereka dapat menjalankan kehidupan dan tradisi mereka tanpa takut. Kembalinya mereka ke Tanah Israel setelah perang dunia kedua, yang mereka anggap sebagai pemulihan historis dan biblis atas hak mereka, merupakan manifestasi dari harapan yang telah lama tertunda untuk membangun kembali kehidupan mereka di tanah yang dijanjikan dan dianggap suci, sebuah tempat di mana mereka dapat memulihkan identitas dan warisan mereka yang hampir hilang.
Refleksi: Agama dan Jalan Damai
Yerusalem, kota yang terletak di persimpangan sejarah dan kepercayaan, telah lama menjadi simbol dari ketiga agama Samawi—Islam, Kristen, dan Yahudi—yang masing-masing memiliki argumen teologis yang mendalam untuk menghormati dan menganggapnya suci. Bagi umat Islam, Yerusalem adalah tempat di mana Nabi Muhammad SAW menjalani perjalanan spiritualitas Isra' Mi'raj, sebuah peristiwa yang mengukuhkan kota ini sebagai tanah yang diberkahi. Kristen menghargai Yerusalem sebagai tempat penyaliban dan kebangkitan Yesus Kristus, yang menjadi pusat iman dan keselamatan. Sementara itu, Yahudi memandang Yerusalem sebagai tempat di mana Bait Suci pernah berdiri, simbol dari kehadiran ilahi dan titik fokus bagi doa dan harapan mereka akan kedatangan Mesias. Ketiga agama ini, meskipun berbeda dalam doktrin dan praktik, bersatu dalam penghormatan mereka terhadap kota ini, yang menandai pentingnya dialog dan pengertian lintas iman.
Sejak zaman kuno hingga era modern, Yerusalem telah menjadi saksi bisu atas pergulatan sejarah yang melibatkan ketiga agama ini. Setiap batu dan jalan di kota ini menyimpan cerita dari generasi yang telah lama berlalu, yang kehidupannya terjalin dalam tapestri keagamaan yang kompleks. Peristiwa-peristiwa penting dari setiap agama telah meninggalkan jejaknya di sini, dari perjalanan para nabi hingga kehidupan para pengikut yang taat. Yerusalem tidak hanya menjadi tempat suci bagi mereka yang berdoa di dalam tembok-temboknya, tetapi juga bagi mereka yang merenungkan sejarahnya dari kejauhan, mengingatkan bahwa kita semua adalah bagian dari narasi yang lebih besar yang terus berkembang.
Namun, tragedi yang terjadi di Yerusalem dan sekitarnya, di mana perang telah menjadi solusi yang terlalu sering diambil untuk menyelesaikan perselisihan atas tanah ini, adalah sebuah pengingat pahit bahwa belum ada yang mencapai perdamaian ideal sebagaimana yang diajarkan agama-agama. Pertumpahan darah dan penderitaan yang terjadi di tanah ini sepanjang sejarah telah menjadi luka yang mendalam bagi kemanusiaan, yang terus membutuhkan penyembuhan. Setiap konflik yang terjadi tidak hanya merobek kain keberagaman yang kaya tetapi juga menantang kita untuk mencari solusi yang lebih adil dan damai, yang menghormati hak setiap individu untuk beribadah dan hidup dengan damai.
Dalam mencari solusi untuk konflik yang telah berlangsung lama ini, kita harus mengingat bahwa nilai-nilai universal yang diajarkan oleh agama-agama—kasih sayang, keadilan, dan perdamaian—tidak seharusnya menjadi alasan untuk kebencian dan pertumpahan darah. Sebaliknya, ada nilai-nilai yang harus dikejar dengan semangat yang sama guna mempertahankan tempat-tempat suci. Kita harus berusaha untuk mengatasi perbedaan dengan cara yang memperkuat ikatan kemanusiaan, bukan yang memecah belahnya. Dengan demikian, Yerusalem dapat menjadi simbol harapan dan persatuan, bukan perpecahan, dan tempat di mana setiap suara dari ketiga agama ini dapat bergema dengan harmoni yang menunjukkan keindahan dan kekayaan tradisi mereka.
Agama, dalam intinya, adalah pengungkapan dari kasih sayang, keadilan, dan hasrat akan kedamaian yang murni. Nilai-nilai ini, yang terpancar dari Yerusalem dan Palestina, harus menjadi cahaya pemandu bagi umat manusia dalam menuntun ke arah penyelesaian konflik dengan keadilan. Sejarah telah berbicara, menunjukkan bahwa ketika kasih sayang dan keadilan menjadi landasan, perdamaian tidak hanya akan tercipta tetapi juga akan membuka pintu kemakmuran yang adil bagi semua, khususnya bagi rakyat Palestina yang telah lama menderita.
Perang yang terus berulang di tanah Palestina bukanlah solusi yang diajarkan oleh agama-agama, justru menjadi kontradiksi langsung terhadap ajaran-ajaran agama yang murni. Solusi militer yang telah digunakan hingga saat ini hanya menambah panjang deretan luka dan kehancuran yang tak terperikan.
Dalam lembaran sejarah kekhalifahan, Islam telah menunjukkan bahwa toleransi dan koeksistensi antariman bukanlah mitos tetapi kenyataan yang terbukti. Dalam konteks saat ini, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak Palestina bukan hanya menjadi kewajiban moral, tetapi juga langkah kritis dalam merajut kembali tapestri kemanusiaan yang telah terkoyak oleh konflik. Kita harus berhenti mengulangi kesalahan sejarah dan bersama-sama bekerja untuk mengakhiri tragedi yang tak kunjung henti antara Israel dan Palestina, dengan menegaskan kembali komitmen kita terhadap perdamaian yang adil dan merata.
Sebagai bagian komunitas internasional, ada tanggung jawab untuk tidak mendukung tindakan-tindakan yang memperpanjang penderitaan atau mengobarkan api perang. Sebaliknya, kita harus aktif mendorong dan mendukung langkah-langkah rekonsiliasi yang berbasis pada dialog dan pengertian mutual. Kekuatan sejati terletak pada kemampuan untuk memediasi dan mendamaikan, bukan dalam kebrutalan kekuatan senjata.
Puji Raharjo Soekarno, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Lampung, Alumni Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung
Puji Raharjo Soekarno
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Lampung