Mereka yang meyakini bahwa idealisme moral hanya bisa dilakukan melalui gerakan di luar sistem, K.H Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sepertinya bukan teladan sempurna. Begitu pula bagi mereka yang percaya langkah perubahan hanya bisa dilakukan melalui struktur negara, dia bisa jadi sosok yang mengecewakan. Bagi mereka yang memandang persoalan hanya dengan perspektif tertentu – dan itu dianggap yang sempurna, akan menghakimi Gus Dur sebagai pribadi tidak konsisten.
Gus Dur adalah sosok dengan semesta pergerakan yang sangat luas. Spektrum persahabatannya melintasi aliran dan lapisan. Inilah yang kerap kali memunculkan kontroversi, bahkan di internal Nahdlatul Ulama, organisasi yang didirikan sang kakek, yang juga ikut diwarnainya dalam jangka waktu yang sangat panjang.
Ketika terpilih menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1982-1985), para kiai pesantren kala itu tak bisa menerima dan memahaminya. Terlebih lagi, saat Gus Dur yang saat itu telah menjadi Ketua Umum PBNU terpilih menjadi Ketua Dewan Juri Festival Film Indonesia 1986. Saat itu Kiai As’ad Syamsul Arifin, salah satu kiai kharismatik, menyemprot Gus Dur sebagai “Kiai Ketoprak”. Menurut Kiai As’ad, sebagai Ketua Umum PBNU selayaknya Gus Dur hanya bergaul dengan para kiai dan santri.
Pada era Orde Baru, saat banyak aktivis yang mengambil jarak dengan para pejabat negara -- karena berkomunikasi dengan mereka dianggap sebagai tak bermoral. Gus Dur membangun hubungan dengan para pejabat negara, dari kalangan sipil atau militer. Namun dia tak kehilangan kepeduliannya terhadap nasib masyarakat bawah.
Ketika kelompok “Islam-politik” berteriak-teriak menuduh Gus Dur tidak cukup memiliki komitmen atas perjuangan umat Islam karena persahabatannya dengan tokoh-tokoh non-Muslim, Gus Dur sama sekali tidak mengalami degradasi akidah dan ghirah perjuangan keislamannya.
Menolak politik Islam-sektarian dan membangun sebuah kaukus kebangsaan -- yang melintasi batas-batas aliran, agama, dan suku, sejatinya dia ingin membawa bangsa yang beraneka ini ke dalam sebuah kehidupan kebangsaan yang damai, yang membangun demokrasi secara dewasa.
Pada 1998, ketika gegap gempita reformasi mencapai puncaknya dengan jatuhnya Orde Baru, suara di negeri ini bernada hampir sama: seret Soeharto ke pengadilan. “Adili Soeharto” menjadi satu-satunya ukuran idealisme dan moral gerakan saat itu.
Namun Gus Dur justru mengusulkan dialog terbatas yang melibatkan dia bersama Soeharto, Presiden B.J. Habibie, Wiranto sebagai Menhankam/Panglima ABRI (nama TNI saat itu).
Walhasil, dia pun dihabisi kanan-kiri. Pendukung Habibie menuduhnya sebagai orang yang akan membawa presiden ke ladang pembantaian (killing ground). Kalangan reformis menyebut Gus Dur sebagai destroyer (perusak), un-nihilator (pelenyap), dan tuduhan-tuduhan lain yang sangat merendahkan.
Gus Dur sangat kecewa. Kekecewaan ini dengan jelas bisa dibaca dalam tulisannya ”Mengapa Saya Bertemu Pak Harto”. Setidaknya ada dua hal yang membuatnya kecewa. Yang pertama, orang-orang yang menuduhnya itu tidak mempertimbangkan integritasnya. Rupanya mereka begitu mudahnya menjadi amnesia dengan kiprahnya.
Alasan kedua, mereka yang menuduh itu tengah menutup berbagai kemungkinan untuk keluar dari situasi politik nasional saat itu yang dipenuhi dengan kekerasan, di mana korbannya adalah rakyat kecil. Padahal, usulan dialog ini sesungguhnya merupakan cara dia mencari jalan untuk menyelamatkan bangsa ini dari kemungkinan terjebak ke dalam situasi perang saudara yang berdarah-darah.
Gus Dur pernah menempuh jalan membangun gerakan civil society yang sangat kritis terhadap penguasa. Bahkan, salah satu faktor yang membesarkan namanya dalam sejarah gerakan demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia adalah kiprahnya dalam membangun masyarakat sipil ini.
Namun, Gus Dur tanpa ragu mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa, sebuah partai politik yang bertarung dalam perebutan kursi kekuasaan. Toh begitu dia sama sekali tidak bergeser dari prinsipnya: kemanusiaan. Dalam konteks inilah pernyataan Gus Dur bahwa “yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan” sepenuhnya bisa dipahami.
Bagi orang seperti Gus Dur, di luar atau di dalam pemerintahan bukanlah persoalan penting. Semua itu hanyalah wasilah (cara), bukan ghayah (tujuan). Prinsip yang dianutnya adalah memanusiakan manusia. Dari berbagai tulisannya, terlihat konsistensinya dalam menyuarakan pesan-pesan kemanusiaan.
Dalam tulisannya, “Pemimpin, Kepemimpinan, dan para Pengikut,” Gus Dur menjelaskan sosok dengan kepemimpinannya melampaui kehidupan personalnya (larger than life). Gus Dur menyebut perjuangan Mahatma Gandhi yang memimpin bangsa India melawan penguasa kolonial Inggris melalui gerakan civil society.
Namun, di tulisan ini juga Gus Dur menyanjung Ieyazu Tokugawa, pendiri imperium Meiji Jepang. Jika Gandhi melepas privilege kelas menengahnya, Tokugawa tetap berada di istana dan memakai pakaian kaisar. Tapi, kekuasaan politiknya sepenuhnya diabdikan untuk membangun kebesaran dan kesejahteraan bangsanya. Hingga kini, kemajuan Jepang selalu dinisbahkan pada restorasi Meiji yang tapak awalnya dirintis oleh Tokugawa ratusan tahun lalu.
Gus Dur sama sekali tidak membedakan antara pilihan Gandhi dan Tokugawa. Kepemimpinannya keduanya diabdikan bagi kepentingan bangsanya, adalah poin yang utama.
Membaca kembali tulisan-tulisan dan mengikuti sejarah gerakannya, jelas sekali bahwa Gus Dur adalah manusia yang tidak dikerangkeng oleh kemutlakan pilihan metode dan perspektif. Prinsip tertingginya adalah kemanusian dan perdamaian sebagai rambu jalannya. Dengan prinsip ini, Gus Dur menjadi sangat mawas dan tidak terjebak dengan posisi dan retorika. Seakan-akan, Gus Dur hendak mendidik kita bahwa berteriak di luar sistem memang gagah. Tapi tidak setiap mereka yang berteriak di luar sistem adalah pahlawan. Pun tidak setiap orang yang berada di dalam sistem adalah pengkhianat.
Ketika menjadi presiden, Gus Dur justru menjadi korban dari pandangan picik yang dikritiknya. Gus Dur yang selama hidupnya diabdikan untuk kepentingan bangsanya tiba-tiba dicitrakan sebagai pengkhianat reformasi yang korup sehingga harus digulingkan. Sebaliknya, mereka yang menjatuhkannya digambarkan sebagai pahlawan reformasi yang tidak memiliki kepentingan lain kecuali menegakkan demokrasi.
Bagi mereka yang menganggap pilihan metode gerakan adalah sebuah kemutlakan, mungkin Gus Dur akan tampak mengecewakan. Tapi yang lebih mengecewakan lagi adalah jika kita ke mana-mana membawa nama Gus Dur dan memuja-mujanya, tapi sebenarnya kita justru termasuk mereka yang dikritik oleh Gus Dur karena kepicikan pandangan kita. Semoga tidak!
Ahmad Inung
Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam, Kementerian Agama RI