Dark
Light
Dark
Light

Pilkada Core: Pesimisme Masyarakat dan Krisis Kepemimpinan Daerah

Pilkada Core: Pesimisme Masyarakat dan Krisis Kepemimpinan Daerah

 

Pilkada tahun ini mungkin jadi pertama kalinya debat-debat pasangan calon kepala daerah disiarkan secara meluas, baik melalui saluran televisi, maupun siaran langsung digital. Di satu sisi, penyiaran debat ini merupakan salah satu bentuk langkah maju keterbukaan kepada publik. Di sisi lain, debat Pilkada yang disebarkan luas ini turut membuka topeng buruknya kapabilitas calon-calon pemimpin daerah.

Di Jombang, salah satu pasangan calon kedapatan tidak bisa mengeja ‘digitalisasi’. Di Mojokerto, salah satu pasangan calon bolos dalam agenda debat. Di Tangerang, salah satu Cawabup berjanji akan meningkatkan inflasi. Sementara di Nganjuk, salah seorang Cabup ingin buat inovasi padi dijadikan beras. 

Cuplikan pernyataan lucu dari calon pemimpin daerah tersebut dikumpulkan masyarakat lewat tren ‘Pilkada Core’. Sebuah tren kreatif dari masyarakat beberapa waktu lalu yang viral di berbagai platform media sosial

Pernyataan konyol yang mereka lontarkan memperlihatkan ketidakpahaman para pemimpin daerah akan persoalan di wilayahnya sendiri. Sehingga alih-alih mendapat simpati publik, justru masyarakat luas malah menanggapinya sebagai bahan tertawaan. Sebetulnya, menjadikan pernyataan politisi di debat sebagai candaan sudah sering dilakukan sewaktu Pilpres dan terkadang di Pilkada DKI Jakarta. Namun, seiring dengan digitalisasi, kini kita pun dapat melakukannya ke calon-calon pemimpin daerah lainnya. 

Meski demikian, patut diakui kekonyolan yang mereka pertontonkan di panggung debat tidak memiliki efek signifikan terhadap pilihan masyarakat lokal. Sejalan dengan apa yang dinyatakan Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Chaniago, bahwa debat antar calon hanya berpengaruh 5 sampai 10 persen terhadap pilihan publik. Hal ini bergantung pada tingkat pemilih rasional di satu daerah. 

Namun, efeknya bisa membesar tergantung pada distribusi kampanye pasca debat. Seperti penyebaran lewat media televisi, maupun media sosial Tiktok, Youtube, dan Instagram. Survei yang dilakukan Indikator di Pilkada Jawa Tengah, televisi menduduki peringkat kedua setelah spanduk/baliho, sebagai sumber yang paling membantu dan meyakinkan pemilih. Sementara Tiktok berada di posisi tiga, di atas Youtube dan Instagram yang masing-masing bercokol di posisi lima dan enam. 

Tren Pilkada Core yang viral di Tiktok dan Instagram merupakan wujud nyatanya. Di sosial media tersebut pun masyarakat memberikan sentimen negatif kepada kontestan Pilkada. Bahkan berujung pada pesimisme masyarakat akan calon pemimpin-pemimpin daerah.

Performa buruk yang dikuliti masyarakat dalam debat Pilkada ini merupakan salah satu bukti kita mempunyai krisis dalam kepemimpinan daerah. Namun, fenomena ini tidak datang dari ruang hampa. Hal ini tidak lepas dari kebobrokan sistemik dari sistem kepemiluan dan klientelisme dalam politik daerah.

Kebobrokan sistemik dalam sistem kepemiluan membuat batasan calon untuk menjadi pemimpin daerah menjadi tidak jelas. Sistem yang ada cenderung melepaskan tanggung jawab pemilihan calon kepada partai politik. Padahal, sudah menjadi rahasia umum partai politik memberikan dukungan pada mereka yang mampu membayar mahar lebih besar. 

Mahar tersebut belum termasuk biaya politik secara keseluruhan, termasuk kampanye, survei, upah relawan, hingga serangan fajar. Pada 2016, seorang calon Bupati dapat mengeluarkan biaya dari Rp30 miliar hingga Rp50 miliar untuk sekali Pilkada. Angkanya bisa mencapai Rp100 miliar di tingkat provinsi. Dengan nilai inflasi yang terus meningkat tahun ke tahun, bukan tidak mungkin biaya politik pun semakin mahal. 

Siapa yang dapat mengakses sumber dana sebesar itu? Tentu dalam konteks politik daerah, modal besar hanya dapat diakses lewat oligarki lokal dan/atau dinasti politik daerah. 

Modal yang besar akhirnya dipakai secara instan oleh para politisi untuk menciptakan iklim patron-klien. Klientelisme ini dapat dibagi menjadi relasional maupun elektoral, biasanya yang digunakan dalam masa Pilkada adalah klientelisme elektoral, yaitu jenis yang klientelisme sesaat pada masa kampanye saja. Misalnya, serangan fajar, bagi-bagi sembako, dan politik uang sejenis. Namun, bukan berarti relasional tidak terjadi, biasanya lewat lembaga masyarakat atau organisasi masyarakat salah satu calon menggunakan lobi politiknya untuk menciptakan hubungan patron-klien. 

Hubungan patron-klien tersebut selain bermula dari modal, juga dapat dilihat dari aspek relasinya dengan dinasti politik. Dari temuan Themis Law Firm, 35 daerah di Pilkada Serentak terdapat calon yang terafiliasi dinasti politik. Anak, istri, hingga sanak saudara sudah tentu mewarisi relasi patron-klien yang ada di daerahnya.

Sebagai contoh, di Kabupaten Brebes mantan wakil bupati yang ingin maju terjegal akibat lobi politik daerah. 12 partai kompak memilih seorang anak dari mantan bupati, membuat dirinya menjadi calon tunggal dalam Pilkada. 

Dalam relasi politik semacam ini, seorang yang mumpuni akan dihadapkan pada modal politik dan ekonomi yang minim. Siapa juga yang bisa bersaing dengan ‘buldoser’ politik yang dapat menggulung siapa saja di hadapannya?  

Di lain sisi, sistem Pilkada pun patut dikoreksi. Jangan sampai penyelenggara hanya pasrah saja dengan pilihan dari partai politik yang ada. Calon-calon kepala daerah harus diuji dalam pemahaman persoalan lokal, visi dan misinya, hingga kemampuan public speaking dasar. Sehingga masyarakat memilih pemimpin beserta gagasannya, bukan hanya figur saja. 

Tren Pilkada Core harusnya menjadi pukulan telak bagi partai politik dan aktor politik daerah. Mereka tidak dapat bersembunyi di dunia maya, kemampuan dan gagasan mereka akan nampak jelas. Pun bila mereka terpilih, setidaknya arsip kebodohan mereka akan abadi di dunia maya. 

 


$data['detail']->authorKontri->kontri

Izam Komaruzaman
Biro Mahasiswa Nasional Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI)

Home 2 Banner

Perspektif Lainnya

Home 1 Banner