Beragama atau menganut suatu agama merupakan fitrah bagi manusia. Manusia akan selalu membutuhkan kehadiran “sesuatu yang agung” di luar dirinya. Itulah Tuhan. Karenanya, kehadiran Tuhan dalam diri manusia menjadi kebutuhan hidupnya. Kalaupun ada manusia yang mengingkari kehadiran Tuhan (ateis) dalam dirinya, maka itu hanya bersifat sementara. Toh pada akhirnya, ia akan mengakui keberadaan Tuhan, walaupun pengakuan ini terjadi saat jiwanya terpisah dari jasadnya, sebagaimana terjadi pada kisah Fir’aun (QS. Yunus: 90-91). Indonesia dengan ideologi Pancasila adalah negara dengan banyak agama, multireligi. Semua agama diakui keberadaannya oleh negara, sebagai bentuk akomodasi negara bagi umat beragama, dalam rangka merasakan kehadiran Tuhan dalam dirinya.
Akomodasi negara terhadap umat beragama saat ini di antaranya diwujudkan melalui kebijakan moderasi beragama. Moderasi beragama menjadi arah kebijakan dan strategi nasional yang masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) IV 2020-2024, yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024, terutama Lampiran III: Matriks Pembangunan. Untuk tahun 2021 rancangan kerja moderasi beragama ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bapennas No. 5 Tahun 2020 tentang Rancangan Kerja Pemerintah Tahun 2021 sebagai program prioritas. Meresponsi arah kebijakan dan strategi nasional ini, Kementerian Agama telah menjadikan moderasi beragama sebagai salah satu visi, misi, dan tujuan kementerian, dan kemudian ditetapkan sebagai salah satu sasaran strategisnya, sebagaimana dituangkan dalam Rencana Strategis Kementerian Agama 2020-2024.
Pertanyaannya, bagaimana cara beragama di Indonesia yang multireligi ini? Moderasi beragama dapat dimaknai sebagai “cara pandang, sikap, dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama” (Moderasi Beragama, 2019: 17-18). Karakter dogmatik setiap agama memanglah ekslusif, tetapi watak ini perlu dipraktikkan secara inklusif ketika berhadapan dengan agama lain. Inilah jalan tengah dalam praktik beragama. Dengan ini, yang dimoderasi adalah praktik dan cara beragamanya, bukan agamanya, karena agama itu sendiri sudah moderat (QS. Al-Baqarah: 143). Dalam konteks Indonesia, praktik dan cara beragama seperti ini merupakan strategi kebudayaan dalam rangka merawat keindonesiaan yang heterogen, multikultur, multilingual, multietnik, dan multireligi. Para pendiri bangsa sejak awal telah berhasil mewariskan satu bentuk kesepakatan dalam berbangsa dan bernegara, yakni Pancasila dalam bingkai NKRI. Indonesia disepakati bukan negara agama, tapi juga tidak memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari warganya. Nilai-nilai agama dijaga, dipadukan dengan nilai-nilai kearifan lokal, sehingga ritual agama dan budaya dapat berjalin berkelindan secara rukun dan damai.
Ada empat narasi yang dibangun dalam konteks moderasi beragama di Indonesia. Pertama, komitmen kebangsaan. Beragama secara moderat berarti memiliki cara pandang, sikap, dan praktik beragama yang komit pada konsensus dasar kebangsaan. Rasulullah sendiri merupakan figur yang mencintai tanah kelahirannya, dan tanah tempat pengabdiannya. Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas bahwa Rasulullah (pada saat berhijrah meninggalkan Makkah), beliau memandang kota Makkah, dan bersabda: “Sesungguhnya Engkau, Makkah, merupakan tanah (kelahiran) yang paling Allah cintai. Sekiranya kaumku tidak mengelurakanku darimu, niscaya aku tidak keluar (meninggalkanmu)”. (Hadist dikeluarkan oleh At-Tirmidzi nomor 3629, Ibnu Hibban nomor 3709 dan Al-Thabrani nomor 10633). Pun ketika tiba di Madinah, beliau senantiasa berdoa agar tanah pengabdiannya ini menjadi tempat yang dicintainya, dan mendoakan agar Madinah diberi keberkahan dan terhindar dari segala penyakit. Diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa pada saat Nabi dan para sahabat tiba di Madinah, kota ini dalam keadaan tersebar wabah penyakit. Abu Bakar mengeluh sakit, Bilal pun mengeluh sakit. Ketika Rasulullah mengetahui keluhan para sahabatnya, beliau berdoa: “Ya Allah, buatlah kami mencintai Madinah sebagaimana engkau buat kami mencintai Makkah atau lebih. Buatlah Madinah menjadi tempat yang sehat, berkahilah kami pada sha’ dan mudd-nya, serta pindahkanlah wabah penyakitnya ke Juhfah (HR. Muslim nomor 1376). Landasan teologis ini menjadi narasi argumen bahwa cinta tanah kelahiran merupakan bagian dari ajaran beragama dalam Islam.
Kedua, beragama secara toleran. Toleransi merupakan salah satu indikasi moderasi beragama yang perlu dijaga. Toleransi merupakan sikap untuk memberi ruang, dan tidak mengganggu hak orang lain, untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya, serta menyampaikan pen-dapatnya, meskipun hal tersebut berbeda dengan apa yang kita yakini. Toleransi selalu disertai dengan sikap hormat dan menerima orang yang berbeda sebagai bagian dari diri kita, dan berpikir secara positif akan perbedaan yang ada. Cara beragama secara toleran ini merupakan di antara ajaran Islam dalam rangka melakukan interaksi sosial dengan umat beragama lainnya. Dengan mengkaji ormas Islam seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan Persatuan Islam, Jeremy Menchik dalam Islam and Democracy in Indonesia: Tolerance without Liberalism menyebut bahwa toleransi dalam konteks Indonesia merupakan nilai demokrasi yang bersumber dari agama, artinya agama-agama yang ada di Indonesia senantiasa mempromosikan sikap toleran bagi para pemeluknya, sehingga toleransi semacam ini disebutnya sebagai communal tolerance yang dapat menumbuhkan godly nationalism. Toleransi yang berjalan selama ini perlu dirawat secara bersama, sebagai bagian dari tradisi cara beragama bangsa Indonesia, yang tidak ditemukan di negara lain. Kalau mau ditelusur, banyak sekali ditemukan di dalam Alquran ayat-ayat yang membicarakan hubungan antaragama, yang menjadi pegangan hidup beragama secara toleran.
Ketiga, menghindari kekerasan. Orang beragama secara moderat juga tidak akan melakukan kekerasan, baik kekerasan verbal ataupun nonvebal. Agama apapun di dunia ini tidak mentolerir kekerasan. Kekerasan adalah tindakan dehumanisasi yang menurunkan derajat dan martabat manusia itu sendiri. Al-Qur'an menyebut pemoderasian semacam ini, misalnya dengan terma qaulan layyina (QS. Thaha: 44) atau perilaku penuh damai (QS. Al-Furqan: 63). Bahkan Rasulullah telah memberikan karakter orang Mukmin sebagai “Bukan orang yang suka mencela, suka melaknat, suka berperilaku keji dan suka berkata kasar” (Hadist dikeluarkan oleh At-Tirmidzi nomor 1977 dan Ahmad nomor 3839). Inilah narasi teologis mengapa dalam beragama perlu menghindari kekerasan.
Keempat, akomodasi terhadap budaya lokal. Orang beragama secara moderat juga akan bersikap akomodatif terhadap budaya lokal. Perjumpaan antara agama, khususnya Islam, dengan budaya memang kerap mengundang perdebatan yang cukup panjang. Islam sebagai agama tentu bersumber dari wahyu, yang setelah Nabi wafat, sudah tidak turun lagi. Sementara budaya adalah hasil kreasi manusia yang dapat berubah sesuai kebutuhan hidup manusia. Di titik ini, kerap terjadi pertentangan antara paham keagamaan dengan tradisi lokal yang berkembang di masyarakat. Dalam Islam, peleraian ketegangan antara keduanya dijembatani oleh ilmu fiqih dan ushul fiqh. Sejumlah kaidah telah dirumuskan oleh para ulama, misalnya kaidah: “Adat kebiasaan yang baik bisa dijadikan sumber hukum”. “Tidak ditolak terjadinya perubahan hukum karena perubahan zaman”. “Yang tetap melalui ‘urf sama seperti yang tetap melalui nas”. Kaidah-kaidah ini dibuat berdasarkan riwayat Abdullah bin Mas’ud yang dinilai marfu’ oleh Ibnu Katsir (Tuhfah al-Thalib, 391), hasan mauquf oleh al-Zarqani (Mukhtashar al-Maqashid, 889), dan sanad yang baik oleh Ibn Hajar al-‘Asqalani (al-Dirayah II, 187), bahwa “Apa yang dipandang baik oleh kaum Muslim, maka baik juga di sisi Allah”.
Oleh karena itu, dengan dasar narasi di atas, mayoritas ulama mazhab telah menyepakati kehujjahan ‘urf (tradisi baik) sebagai salah satu sumber hukum Islam. Imam Hanafi menggunakan ‘urf apabila tidak terdapat hukumnya dalam nas Al-Qur’an dan hadist. Ulama Malikiyah meninggalkan qiyas apabila qiyas itu berlawanan dengan ‘urf, serta Imam Syafi’i menerima ‘urf apabila ‘urf tidak berlawanan dengan nas atau tidak ada petunjuk tentangnya dari nas. Dalam konteks Islam Indonesia, penyesuaian ajaran agama dengan tradisi dan budaya masyarakat Indonesia, yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, menjadi ciri khas keberislaman masyarakat Indonesia. Sejarah mencatat bahwa tradisi lokal telah dijadikan sarana dakwah Islam. Proses inilah yang telah menjadikan dakwah Islam di Nusantara sebagai peaceful missionary efforts, sebagaimana dicatat oleh Thomas W. Arnold dalam The Preaching of Islam: A History of The Propagation of The Muslim Faith. Dalam Babad Demak, misalnya, dikisahkan bahwa Sunan Kalijaga telah menggunakan alat seperti beduk dan kentongan dalam setiap membangun masjid atau langgar (Implementasi Moderasi Beragama dalam Pendidikan Islam, 2019). Sikap keagamaan yang moderat akan selalu mengakomodasi tradisi dan budaya yang baik. Pandangan bahwa agama menjadi musuh budaya, atau sebaliknya budaya menjadi musuh agama, tidak sesuai dengan watak moderasi beragama. Hal ini karena antara agama dan budaya sejatinya dapat saling menguatkan, dan ini sejalan dengan narasi teologis Islam di atas.
Demikianlah, dalam konteks beragama di Indonesia, orang moderat akan selalu menarasikan keempat watak beragama di atas, sebagai cara pandang, sikap, dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama. Narasi-narasi ini perlu diimplementasikan dalam kehidupan beragama saat ini, agar umat memiliki sikap inklusif ketika berhadapan dengan agama lain. Bahasa Michel Faucault, sebuah narasi tidak cukup diproduksi, tapi harus juga didistribusikan, sehingga dapat dikonsumsi.
Toto Suharto
Rektor UIN Raden Mas Said Surakarta, Wakil Rais PCNU Sukoharjo, dan Ketua Umum Pengurus Masjid Agung Sukoharjo.