Dark
Light
Dark
Light

Humanitarian Islam: Inisiatif untuk Perdamaian dan Harmoni Kehidupan Dunia

Humanitarian Islam: Inisiatif untuk Perdamaian dan Harmoni Kehidupan Dunia

"Sekarang ini ada kekuatan-kekuatan luar biasa besar, baik secara ekonomi maupun politik, yang kalau tidak dilawan dengan gerakan kemanusiaan yang meluas berpotensi untuk menjadi tirani global."

-----

KH Yahya Cholil Staquf - Ketua Umum PBNU

Humanitarian Islam adalah gerakan yang dipelopori oleh Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia, untuk mempromosikan perdamaian dan toleransi antaragama. Gerakan ini berakar pada prinsip bahwa nilai-nilai Islam sejalan dengan kewarganegaraan inklusif, demokrasi, hak asasi manusia, dan keadilan sosial. 

Melalui Humanitarian Islam, NU mengupayakan reinterpretasi ajaran Islam agar sesuai dengan tantangan abad ke-21. Inisiatif ini menekankan pentingnya dialog antaragama, penolakan ekstremisme, serta kerja sama lintas batas demi menciptakan masyarakat yang damai dan inklusif.

Humanitarian Islam bertujuan untuk menciptakan interpretasi Islam yang lebih adaptif terhadap modernitas. Humanitarian Islam terilhami oleh gagasan Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Beberapa dokumen penting, seperti Nusantara Manifesto (2016), Nusantara Statement (2018), and The Humanitarian Islam Charter (2019), menggambarkan visi NU tentang Islam yang berbasis kasih sayang, keadilan, dan kesejahteraan bersama. 

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf menyebut bahwa dokumen-dokumen ini meng-address dua masalah besar.

Yang pertama adalah bagaimana mencari jawaban atau jalan keluar dari konflik global dari perspektif Islam dengan asumsi bahwa Islam yang rasulnya ursila rahmatan lil ‘ālamīn. "Tidak mungkin kita tidak punya jawaban atas masalah kemanusiaan. Pasti. Cuma bagaimana jawaban itu dirumuskan," katanya.

"Yang kedua kita ingin mencegah atau melawan satu tren konsolidasi kekuatan global sedemikian rupa yang berpotensi melahirkan tirani. Karena sekarang ini ada kekuatan-kekuatan luar biasa besar, baik secara ekonomi maupun politik, yang kalau tidak dilawan dengan gerakan kemanusiaan yang meluas berpotensi untuk menjadi tirani global karena konsentrasi akumulasi sumber daya-sumber daya ekonomi yang besar-besaran, yang bisa lebih besar dari beberapa puluh negara jadi satu kekayaannya, dengan konsentrasi kekuatan militer yang cukup besar-besaran," katanya pada Halaqah Humanitarian Islam; Islam untuk kemanusiaan; Al-Islam lil Insaniyah yang digelar di Hotel Acacia Jakarta, Ahad (22/9/2024).

Humanitarian Islam menurutnya adalah komitmen menciptakan kesejahteraan umat manusia secara keseluruhan. Kontruksi pemikiran tersebut ia namakan sebagai Al-Islam lil Insaniyah (Islam untuk kemanusiaan).

Sementara Ketua PBNU, KH Ulil Abshar Abdalla mengatakan, gerakan Humanitarian Islam atau Al-Islam lil Insaniyah sendiri telah dicetuskan sejak 10 tahun yang lalu oleh elemen-elemen Nahdlatul Ulama dalam konteks perkembangan pemikiran dan gerakan NU. 

Gerakan ini menawarkan solusi berbasis pada karakter Islam Nusantara atau Islam Indonesia yang damai dan ramah bagi dunia yang semakin kompleks dari fenomena pergeseran geopolitik hingga maraknya populisme yang berbasis pada agama dan rasisme, meningkatnya ancaman kekerasan dan perang, serta kesenjangan dan kemiskinan global.

"Humanitarian Islam merupakan kelanjutan dan penguatan terhadap konsep khittah NU 1926, Pribumisasi Islam, Islam Rahmatan lil ‘Alamin, dan Islam Nusantara serta Fiqih Peradaban yang sejalan dengan konsep dasar Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika," jelas Gus Ulil dalam konferensi pers, Jumat (1/11/2024) di kantor PBNU Jakarta.

Prinsip-prinsip Humanitarian Islam

Prinsip-prinsip utama yang dijunjung dalam gerakan ini meliputi keadilan dan kesetaraan. Islam mendukung keadilan sosial bagi semua golongan, tanpa membedakan agama, suku, atau jenis kelamin. Prinsip ini menjadi dasar bagi NU untuk mengutamakan kesetaraan hak bagi seluruh warga negara, sesuai dengan ajaran Al-Qur'an dan hadits yang menekankan nilai-nilai kemanusiaan.

Gerakan ini juga menjunjung prinsip tasamuh atau toleransi. NU mempromosikan prinsip tasamuh untuk menguatkan toleransi beragama. Dalam Humanitarian Islam, toleransi adalah kunci untuk mewujudkan perdamaian dan kerukunan di tengah perbedaan. Melalui dialog antaragama, NU mendukung hubungan yang harmonis antara umat Islam dan agama lain.

Hubbul Wathan (Cinta Tanah Air) juga menjadi bagian dari prinsip gerakan ini. Humanitarian Islam mengajarkan bahwa mencintai tanah air adalah bagian dari iman. Dalam konteks Indonesia, prinsip ini mengakar kuat pada ideologi Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, yang mempromosikan keberagaman dalam persatuan.

Selain itu, qudwah (kepemimpinan teladan) juga menjadi prinsip gerakan ini dengan wujud pemimpin yang baik harus menjadi teladan bagi masyarakat dalam mempromosikan nilai-nilai Islam yang inklusif, adil, dan damai.

Perdamaian dan rekonsiliasi atau ishlah juga menjadi prinsip penting. Humanitarian Islam menekankan pentingnya perdamaian dan solusi non-kekerasan untuk menyelesaikan konflik. Nilai ini menuntut umat Islam untuk mengutamakan dialog dan mufakat dalam menghadapi tantangan sosial.

Gerakan Humanitarian Islam memberikan kontribusi signifikan dalam melawan radikalisme dan memajukan demokrasi di Indonesia. Melalui berbagai lembaga pendidikan dan organisasi masyarakat, NU memperkuat wawasan kebangsaan, yang memungkinkan umat Islam berpartisipasi aktif dalam sistem demokrasi tanpa kehilangan identitas religius. 

Dengan dukungan konsep al-muwatinun atau kewarganegaraan inklusif, NU berusaha membangun masyarakat yang menghargai keberagaman.

NU juga berperan dalam menjaga stabilitas nasional melalui keterlibatannya di Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan berbagai kegiatan interfaith, yang bertujuan mengurangi ketegangan antaragama. Ini mencerminkan komitmen NU untuk menjaga perdamaian dan menanggapi tantangan radikalisme secara preventif.

Tantangan dan Masa Depan Humanitarian Islam

Humanitarian Islam menghadapi tantangan dari globalisasi, radikalisme, dan munculnya Islamofobia. Dalam konteks ini, Humanitarian Islam hadir sebagai model alternatif yang menawarkan Islam sebagai kekuatan positif untuk perdamaian global. 

Pendidikan memainkan peran penting dalam menyebarkan Humanitarian Islam, dengan mendorong nilai-nilai toleransi, perdamaian, dan cinta tanah air kepada generasi muda.

Dengan berbagai pencapaian tersebut, NU melalui Humanitarian Islam memberikan kontribusi penting tidak hanya bagi Indonesia tetapi juga sebagai model inspiratif bagi dunia Muslim. Humanitarian Islam menjadi suara yang menyerukan perdamaian, solidaritas, dan kerja sama global untuk mewujudkan dunia yang lebih adil dan inklusif.

Humanitarian Islam menawarkan pendekatan Islam yang lebih responsif terhadap tantangan zaman, khususnya dalam menjawab isu-isu radikalisme, konflik agama, dan ketidakadilan sosial. Gerakan ini dipandang sebagai kontribusi NU dalam mengarusutamakan Islam yang ramah, inklusif, dan relevan dengan konteks kebangsaan Indonesia, serta sebagai panduan untuk membangun harmoni antarumat beragama di tingkat global.

Pandangan NU melalui Humanitarian Islam menekankan bahwa kewarganegaraan dan Islam bukanlah hal yang bertentangan. Sebaliknya, keduanya dapat saling mendukung dan menguatkan. NU melihat kewarganegaraan sebagai sarana untuk memperkuat umat Islam dalam berperan aktif di masyarakat tanpa harus meninggalkan identitas keislaman mereka. 

Konsep ini menjadi sangat penting di Indonesia, negara dengan keberagaman suku, agama, dan budaya. NU melalui Humanitarian Islam mengajak umat Islam untuk menghargai dan merangkul perbedaan dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika. Dengan demikian, NU berharap bahwa umat Islam dapat hidup berdampingan dengan damai dengan komunitas agama lain, serta berkontribusi dalam pembangunan bangsa.

Salah satu alasan utama lahirnya Humanitarian Islam adalah untuk melawan penyebaran paham radikalisme yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam damai yang diajarkan NU. Dengan menyuarakan pentingnya tasamuh (toleransi) dan ishlah (perdamaian), Humanitarian Islam berusaha menangkal pandangan ekstrem yang seringkali menimbulkan kekerasan atas nama agama.

Radikalisme seringkali tumbuh subur di kalangan masyarakat yang tidak memiliki pemahaman mendalam tentang agama. NU merespons tantangan ini melalui pendidikan, termasuk di pesantren dan sekolah-sekolah yang dikelola NU, dengan mengajarkan nilai-nilai Islam moderat dan inklusif. 

Pendidikan dianggap sebagai jalan utama untuk menanamkan kesadaran damai sejak dini. Selain itu, NU aktif dalam diskusi dan dialog antaragama untuk membuka ruang komunikasi dan mengurangi kesalahpahaman yang seringkali menjadi akar konflik antarumat beragama.

Humanitarian Islam sangat mengedepankan dialog antaragama sebagai langkah penting untuk menciptakan masyarakat yang harmonis. Dialog ini menjadi wadah bagi umat Islam untuk berinteraksi dan memahami perspektif dari agama lain, yang pada akhirnya membantu mengurangi ketegangan sosial dan memperkuat ikatan antar masyarakat. 

Dalam pandangan NU, dialog antaragama tidak hanya sekedar kegiatan seremonial, tetapi merupakan bentuk nyata dari implementasi tasamuh yang mendalam dan berkelanjutan.

NU juga menekankan bahwa interaksi sosial yang inklusif dapat membangun solidaritas antaragama yang kuat, terutama dalam menghadapi tantangan bersama seperti kemiskinan, kesehatan, dan lingkungan. NU melalui Humanitarian Islam mendukung penguatan komunitas melalui kolaborasi dalam kegiatan sosial, seperti bantuan kemanusiaan dan pembangunan, yang melibatkan berbagai elemen masyarakat tanpa memandang latar belakang agama.

NU melalui Humanitarian Islam sangat menekankan pentingnya pendidikan yang inklusif dan berorientasi pada pembentukan karakter. NU memandang pendidikan sebagai pilar penting dalam mencetak generasi yang memiliki pemahaman mendalam tentang Islam sebagai agama yang mengedepankan perdamaian dan kemanusiaan. 

Kurikulum yang diterapkan di lembaga pendidikan NU menyelipkan ajaran Islam yang damai, moderat, dan toleran, serta mendorong siswa untuk menghormati keberagaman.

Selain itu, NU juga mendukung pengembangan kurikulum yang memadukan nilai-nilai lokal Indonesia dengan ajaran Islam. Dengan cara ini, generasi muda tidak hanya dididik menjadi umat Islam yang taat, tetapi juga menjadi warga negara yang peduli dan bertanggung jawab terhadap tanah airnya. 

Pendidikan dalam Humanitarian Islam juga menekankan pentingnya kerja sama lintas agama sebagai fondasi untuk menjaga kerukunan nasional.

Humanitarian Islam sebagai Model Islam Inklusif Global

Humanitarian Islam tidak hanya terbatas pada konteks Indonesia, namun juga diharapkan dapat menjadi model Islam inklusif di tingkat global. NU memandang bahwa tantangan yang dihadapi umat Islam di berbagai belahan dunia, seperti radikalisme, Islamofobia, dan ketidakadilan sosial, memerlukan pendekatan yang mengedepankan kasih sayang dan keadilan. 

Humanitarian Islam menjadi simbol Islam yang bersifat universal, merangkul umat manusia dengan nilai-nilai kemanusiaan yang dapat diterima oleh berbagai kelompok.

Sebagai contoh, NU mendukung konferensi-konferensi internasional dan dialog lintas agama di kancah global, di mana prinsip-prinsip Humanitarian Islam seperti cinta damai, keadilan, dan kemanusiaan diperkenalkan sebagai solusi untuk mengatasi konflik global.

Dengan pendekatan ini, NU berharap Islam dapat berkontribusi dalam menciptakan dunia yang lebih damai, adil, dan harmonis, yang menghargai keberagaman budaya dan agama.

Meskipun Humanitarian Islam telah diterima dengan baik, gerakan ini juga menghadapi tantangan, baik dari dalam maupun luar. Dari dalam, NU menghadapi tantangan untuk memastikan bahwa nilai-nilai Humanitarian Islam dipahami dan diinternalisasi oleh semua anggotanya di berbagai tingkatan.

Radikalisasi yang merasuki sebagian kecil umat Islam masih menjadi tantangan bagi NU, yang terus memperkuat pendidikan dan sosialisasi tentang pentingnya Islam damai.

Dari luar, Humanitarian Islam menghadapi tantangan dari isu global seperti Islamofobia, yang membuat persepsi negatif terhadap Islam di beberapa masyarakat. NU melihat bahwa interaksi positif dengan berbagai komunitas internasional, melalui dialog dan kerja sama lintas agama, menjadi strategi utama untuk mengatasi persepsi ini.

Humanitarian Islam di masa depan juga berpotensi untuk mengembangkan program-program baru yang lebih responsif terhadap isu-isu global, seperti perubahan iklim dan ketimpangan ekonomi. Melalui upaya ini, NU dapat terus memperkokoh posisinya sebagai pelopor Islam damai yang relevan dengan kebutuhan masyarakat global yang semakin kompleks.

Dengan demikian, Humanitarian Islam bukan sekadar gagasan, tetapi sebuah upaya konkret untuk menjadikan Islam sebagai kekuatan positif bagi perubahan sosial dan perdamaian global. Humanitarian Islam yang dibawa oleh NU ini diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi dunia Muslim dan menjadi pilar bagi terciptanya masyarakat dunia yang lebih harmonis dan berkeadilan.

Muhammad Faizin, Sekretaris PCNU Pringsewu, Lampung

Home 2 Banner

Perspektif Lainnya

Home 1 Banner