Presiden Prabowo Subianto pada pengumuman Kabinet Merah-Putih lalu membuat gebrakan dengan memecah kementerian pendidikan menjadi tiga badan kementerian berbeda.
Sekretaris Jenderal PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti menempati peran Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah. Akademisi, Satryo Brodjonegoro ditunjuk menjadi Menteri Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi. Sementara Menteri Kebudayaan diampu oleh Fadli Zon.
Pemecahan tiga entitas badan ini secara bersamaan merupakan yang pertama sejak berdirinya republik. Kementerian Kebudayaan sendiri pernah ada pada rentang 2000 hingga 2011, sebelum dilebur kembali menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) di era Muhammad Nuh. Sementara kewenangan pendidikan tinggi pernah terpisah dari Kementerian Pendidikan pada 1960-an. Meski sejak masa Orde Baru dilebur kembali di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kementerian P & K).
Wacana pemisahan tiga entitas tersebut sudah lama digaungkan. Terutama pemisahan antara pendidikan dan kebudayaan. Kritik tersebut pernah diungkapkan Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilmar Farid, menurutnya selama ini bidang kebudayaan selalu dikesampingkan. Adapun koordinasi birokrasi yang rumit membuat dirinya sulit fleksibel dalam pembuatan kebijakan. Baginya penting bila bidang kebudayaan mempunyai atap setingkat menteri.
Sementara pemerhati pendidikan, Darmaningtyas pada 2014 lalu menulis pemisahan kebudayaan dari Kementerian Pendidikan berdampak tidak hanya pada pendidikan, namun dari kebudayaan itu sendiri. Baginya kebudayaan menjadi komoditas semata. Sedangkan pendidikan kehilangan rohnya, dan terjebak pada hal-hal manajerial.
Pemisahan pendidikan tinggi, kata Darmaningtyas, tidak akan berguna karena tidak menyentuh persoalan anggaran yang bagi perguruan tinggi merupakan masalah fundamental. Pada Oktober lalu, dirinya kembali mengekspresikan kekhawatirannya terhadap pemecahan Kementerian Pendidikan, ia menyebutnya sebagai pengulangan kesalahan masa lalu.
Baik keluhan Hilmar maupun ketakutan Darmaningtyas dapat dimengerti secara rasional. Pemecahan Kemendikbudristek tidak boleh hanya dibaca sebatas perwujudan kabinet gemuk Prabowo atau politik bagi-bagi kekuasaan. Hal ini harus ditakar lebih komprehensif untung-rugi, beserta potensi-potensi masalahnya.
Secara positif, pemisahan Kemendikbudristek dapat menjadi titik fokus baru bagi tiga bidang yang berbeda-beda tersebut. Bagi pelaku-pelaku kesenian pengadaan Kementerian Kebudayaan jadi angin segar tersendiri. Permasalahan kebudayaan yang kerap termarjinalkan dan birokrasi rumit–harapannya–dapat diatasi dengan keberadaan Menteri Kebudayaan. Sementara di bidang riset dan pendidikan tinggi, pemisahan dari Kemendikbudristek diharapkan dapat meningkatkan riset serta memperbaiki iklim riset di Indonesia.
Namun beberapa hal perlu diperhatikan dari pemisahan tiga kementerian ini. Pertama, arah kebijakan yang tidak boleh tumpang tindih. Bagaimanapun tiga kementerian ini memiliki satu arah tujuan yang sama, yaitu pembangunan sumber daya manusia. Maka dalam hal ini, tugas Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan adalah mengorkestrasi ketiga kementerian dibawahnya agar memiliki arah tujuan yang sama.
Jangan sampai arah Kementerian Kebudayaan nantinya hanya meningkatkan sektor pariwisata seperti di masa Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata era 2000 hingga 2011. Budaya tidak boleh disempitkan pada warisan-warisan kebudayaan saja, ia meluas ke ranah norma, moral, dan adab. Ketiganya harus melekat dalam pendidikan, seperti kata Ki Hadjar Dewantara dalam Permusyawaratan Pendidikan 4 - 7 April 1947 di Surakarta.
“Sebagai usaha kebudayaan, pendidikan itu bermaksud memberi tuntutan di dalam hidup tumbuhnya tubuh dan jiwa anak-anak, agar kelak–dalam garis-garis kodrati pribadinya dan pengaruh segala keadaan yang mengelilingi dirinya–anak-anak dapat kemajuan dalam hidupnya lahir dan batin, menuju ke arah adab kemanusiaan.”
Masalah kedua yang perlu diperhatikan adalah persoalan aggaran. Pemecahan ketiga kementerian jika tidak dibarengi dengan penambahan anggaran akan percuma. Anggaran pendidikan yang sebesar 20 persen dari APBN yang dikelola Kemendikbudristek hanya berkisar 10 - 15 persennya. Sebagai contoh, pada 2023 anggaran pendidikan mencapai 620 triliun, yang masuk kas Kemendikbudristek hanya 80,2 triliun. Pada 2024 angkanya naik menjadi 83,2 triliun.
Bila pagu anggaran Kemendikbudristek yang sangat minim tersebut dibagi lagi menjadi tiga, maka tiap kementerian hanya mendapat sekira 27 triliun. Dana yang sangat minim tersebut tentu akan berimplikasi bagi berbagai kebijakan, seperti berkurangnya subsidi ke perguruan tinggi negeri (PTN) yang berdampak pada kenaikan biaya kuliah. Sementara di sektor kebudayaan, program-program pengembangan kebudayaan kemungkinan akan terhambat juga.
Jika kedua masalah tersebut gagal terselesaikan, maka pemecahan tiga kementerian ini hanya akan menciptakan masalah baru atau mengulang masalah sebelumnya. Kita perlu waspada sekaligus mengawal pekerjaan tiga kementerian ini. Apalagi ketiganya merupakan sektor krusial dalam pembangunan manusia.
Selamat bekerja untuk ketiganya!
Izam Komaruzaman
Biro Mahasiswa Nasional Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI)