Dark
Light
Dark
Light

Memutihkan Sejarah Soeharto dan Meruntuhkan Keadilan

Memutihkan Sejarah Soeharto dan Meruntuhkan Keadilan

Keputusan terbaru Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk mencabut nama mantan Presiden Soeharto dari Ketetapan MPR No. XI Tahun 1998 bukan sekadar perubahan hukum. Ini adalah manuver politik yang terencana dengan implikasi yang luas dan berbahaya. Ketetapan ini, yang awalnya ditujukan untuk memastikan penyelenggaraan negara yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), secara tegas menyebut keterlibatan Soeharto dalam praktik-praktik KKN selama 32 tahun kekuasaannya. 

Penghapusan namanya dari ketetapan tersebut adalah upaya terang-terangan untuk membersihkan citra Soeharto serta sinyal kesediaan untuk mengubah narasi sejarah demi kepentingan politik saat ini. Langkah ini tidak hanya menghina para korban rezim Soeharto, tetapi juga meruntuhkan prinsip keadilan dan akuntabilitas yang seharusnya menjadi pilar demokrasi Indonesia.

Alasan yang menyebutkan bahwa nama Soeharto harus dihapus karena ia telah wafat adalah argumen yang lemah dan menyesatkan. Sejarah tidak berakhir ketika pelakunya meninggal dunia. Pencantuman nama Soeharto dalam Ketetapan MPR No. XI/1998 merupakan simbol kuat akuntabilitas, pengingat kejahatannya terhadap negara dan rakyat tidak boleh dilupakan atau diabaikan.

Ketetapan ini bukan tentang menghukum Soeharto secara pribadi, melainkan menjaga prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan memastikan agar para pemimpin masa depan tidak mengulangi kesalahannya. Dengan menghapus namanya, MPR secara efektif memutihkan jejak kelam Soeharto, mengirimkan pesan bahwa kejahatan yang dilakukan tokoh berpengaruh dapat dengan mudah dilupakan begitu mereka tidak lagi hidup untuk mempertanggungjawabkannya.

Keputusan ini semakin mencurigakan karena diambil bertepatan dengan akan dilantiknya Prabowo Subianto sebagai presiden Indonesia yang baru. Prabowo, mantan jenderal yang juga mantan menantu Soeharto, sendiri terlibat dalam berbagai pelanggaran hak asasi manusia, termasuk penculikan dan penyiksaan aktivis pada masa-masa akhir kekuasaan Soeharto.

Posisi Prabowo sebagai presiden dikhawatirkan bahwa pemerintahannya akan melanjutkan tren penghapusan atau pengampunan terhadap kejahatan para pemimpin masa lalu. Hubungan Prabowo yang erat dengan keluarga Soeharto semakin memperumit situasi ini, menimbulkan kekhawatiran bahwa elite politik saat ini lebih tertarik untuk merehabilitasi citra Orde Baru daripada menegakkan keadilan bagi para korban.

Penghapusan Nama Tiga Presiden: Mencampuradukkan Sejarah yang Berbeda

Penghapusan nama Soeharto dari ketetapan ini menjadi semakin memprihatinkan ketika kita melihatnya dalam konteks keputusan MPR untuk mencabut ketetapan yang berkaitan dengan dua mantan presiden lainnya, Sukarno dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dalam sidang yang sama, MPR juga mencabut Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang pencabutan kekuasaan pemerintahan dari Presiden Sukarno dan Ketetapan MPR No. II/MPR/2001 tentang pertanggungjawaban Presiden Gus Dur.

Upaya menyamakan sejarah Sukarno, Gus Dur, dan Soeharto adalah distorsi besar terhadap perjalanan bangsa Indonesia. Sukarno adalah proklamator kemerdekaan dan pendiri bangsa, sedangkan Gus Dur adalah presiden reformis yang memperjuangkan hak asasi manusia dan demokrasi selama masa jabatan singkatnya. Kontribusi dan tantangan yang dihadapi kedua tokoh tersebut tidak sebanding dengan kekuasaan otoriter Soeharto yang penuh dengan pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi yang terstruktur.

Pencopotan Gus Dur dari jabatan presiden pada tahun 2001 adalah hasil manuver politik dan tuduhan yang tidak pernah terbukti. Ia dituduh korupsi dan bertindak inkonstitusional hanya karena menggunakan hak prerogatifnya sebagai presiden untuk menunjuk Kepala Kepolisian pilihannya sendiri—sesuatu yang sah secara hukum. Pemberhentian ini, yang didalangi oleh kekuatan yang menolak kebijakan progresifnya, menggambarkan tantangan yang dihadapi oleh pemimpin reformis di lanskap politik yang masih didominasi oleh sisa-sisa Orde Baru.

Keputusan MPR untuk mencabut ketetapan terkait Sukarno, Gus Dur, dan Soeharto secara bersamaan adalah upaya untuk menciptakan kesetaraan palsu antara ketiganya. Ini mengabaikan fakta bahwa Sukarno dan Gus Dur diberhentikan dalam kondisi yang sangat kontroversial, sementara pengunduran diri Soeharto terjadi karena adanya gelombang besar gerakan rakyat yang menentang rezim opresif dan korupnya. Menganggap ketiga pemimpin ini seolah-olah diberhentikan hanya karena kesalahan prosedural adalah sebuah pengkhianatan terhadap sejarah dan penyelewengan kebenaran.

Rezim Soeharto: Warisan Pelanggaran HAM dan Korupsi Terstruktur

Kekuasaan Soeharto, yang dimulai pada tahun 1965 dan berakhir dengan pengunduran dirinya pada 1998, diwarnai oleh pelanggaran hak asasi manusia yang meluas serta praktik korupsi dan nepotisme yang terstruktur. Konsolidasi kekuasaan Soeharto berawal dari tragedi pembantaian massal anti-komunis tahun 1965-1966, di mana diperkirakan 500.000 hingga 1 juta orang yang dituduh sebagai simpatisan komunis atau memiliki afiliasi ideologi kiri tewas, dipenjara, atau hilang tanpa jejak. Ini merupakan salah satu genosida terbesar di dunia pasca Perang Dunia II, dan dampaknya masih terasa hingga saat ini.

Sepanjang masa pemerintahannya, Soeharto memanfaatkan kekerasan negara dan represi untuk memperkuat cengkeramannya terhadap kekuasaan. Insiden-insiden berdarah seperti pembantaian Tanjung Priok pada tahun 1984, yang menewaskan puluhan demonstran Muslim, serta penculikan dan pembunuhan aktivis pro-demokrasi pada 1998, menjadi bukti betapa brutalnya rezim ini dalam meredam suara-suara perlawanan. Pembantaian-pembantaian tersebut menunjukkan bahwa Soeharto tidak segan menggunakan segala cara, bahkan pembantaian massal, untuk mempertahankan kekuasaannya.

Pelanggaran hak asasi manusia hanyalah satu sisi dari kegelapan rezim Soeharto. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme merajalela di hampir semua sektor pemerintahan. Transparency International memperkirakan bahwa jumlah total kekayaan yang diperoleh Soeharto dari praktik korupsi berkisar antara 15 hingga 35 miliar dolar AS, menjadikannya pemimpin paling korup di dunia pada masanya. Angka ini didukung oleh laporan Forbes yang menyebutkan kekayaan Soeharto mencapai 4 miliar dolar AS pada tahun 1999, dan oleh New York Times yang menyatakan jumlah tersebut bisa mencapai 15 miliar dolar AS. Bahkan, pemerintah Abdurrahman Wahid memperkirakan kekayaan Soeharto mencapai 45 miliar dolar AS

Pahlawan Nasional? Pemutarbalikan Sejarah dan Keadilan

Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah gagasan bahwa Soeharto mungkin dipertimbangkan sebagai pahlawan nasional. Proposal ini tidak hanya secara historis tidak akurat, tetapi juga sangat tidak bermoral. Pembangunan yang digadang-gadang oleh Soeharto dibangun di atas fondasi penindasan, korupsi, dan kekerasan. Memberikan gelar pahlawan nasional kepadanya akan menjadi penghinaan terhadap konsep kepahlawanan itu sendiri dan pengkhianatan terhadap nilai-nilai keadilan dan integritas. Pahlawan nasional seharusnya adalah seseorang yang berkontribusi tanpa pamrih demi kebaikan bangsa, bukan seseorang yang memperkaya dirinya melalui korupsi dan mempertahankan kekuasaan melalui ketakutan dan kekerasan.

Keputusan ini juga menimbulkan pertanyaan lebih luas tentang keadaan demokrasi di Indonesia. Pesan apa yang disampaikan kepada generasi muda ketika institusi yang seharusnya menegakkan keadilan dan akuntabilitas justru terlihat menghapus kejahatan masa lalu? Ini menunjukkan bahwa kekuasaan, bukan prinsip, yang menentukan siapa yang dihormati dan siapa yang dihukum. Ini menormalisasi gagasan bahwa kejahatan yang dilakukan oleh mereka yang berkuasa dapat dimaafkan dan dilupakan, selama mereka tidak lagi ada untuk menghadapi konsekuensinya.

Keputusan MPR untuk menghapus nama Soeharto dari Ketetapan MPR No. XI/1998 memiliki implikasi yang luas bagi masa depan demokrasi Indonesia. Dengan menghapus referensi eksplisit terhadap kejahatan Soeharto, MPR tidak hanya membebaskannya dari kesalahan di mata hukum, tetapi juga menciptakan preseden berbahaya bagi masa depan. Jika kejahatan seorang diktator dapat dihapus begitu saja, bagaimana kita dapat mencegah para pemimpin masa depan melakukan pelanggaran serupa, dengan keyakinan bahwa tindakan mereka akan dilupakan begitu mereka tidak lagi berkuasa?

Tindakan ini merusak kewibawaan instrumen hukum yang dirancang untuk menjaga negara dari korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Ini menunjukkan bahwa bahkan pelanggaran paling berat dapat diabaikan jika hal itu menjadi menguntungkan secara politis, yang pada akhirnya mengikis kepercayaan publik terhadap supremasi hukum dan melemahkan fondasi demokrasi itu sendiri.

Untuk melawan kembalinya otoritarianisme, masyarakat harus menolak upaya merehabilitasi citra Soeharto dan memastikan bahwa pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu tetap diadili. Lembaga peradilan dan legislatif juga perlu menentang segala upaya untuk melemahkan supremasi hukum atau memanipulasi sejarah demi kepentingan politik. Penghapusan nama Soeharto dari ketetapan MPR bukan hanya pengkhianatan terhadap sejarah dan keadilan, tetapi juga membuka jalan bagi distorsi sejarah.

Langkah pemuliaan ini mengirimkan pesan berbahaya bahwa kejahatan masa lalu bisa dimaafkan, dan mengabaikan nilai-nilai Reformasi yang lahir dari perjuangan panjang melawan kediktatoran. Jika hal ini dibiarkan tanpa perlawanan, maka masa depan Indonesia akan terancam oleh pengulangan sejarah kelam, merusak prinsip keadilan, dan mengaburkan kompas moral bangsa.


$data['detail']->authorKontri->kontri

Virdika Rizky Utama
Peneliti PARA Syndicate, Alumni Master Ilmu Politik dari Shanghai Jiao Tong University.


Editor: Fajar WH
Home 2 Banner

Perspektif Lainnya

Home 1 Banner