Keputusan Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) pada 21 November 2024 yang mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, mantan Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant, dan tokoh Hamas Ibrahim Al-Masri adalah langkah hukum yang mengguncang dunia. Dengan tuduhan serius, mulai dari kejahatan perang hingga kejahatan terhadap kemanusiaan, langkah ini menunjukkan bahwa hukum internasional tak lagi tunduk sepenuhnya pada kekuatan politik. Namun, di balik keputusan yang bersejarah ini, muncul tantangan besar—termasuk bagi Indonesia, yang, ironisnya, tidak dapat memainkan peran langsung karena belum meratifikasi Statuta Roma.
Surat perintah penangkapan ini tidak muncul tiba-tiba. Tuduhan terhadap Netanyahu dan Gallant mencakup penggunaan kelaparan sebagai metode perang dalam blokade Gaza yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Blokade ini mengakibatkan krisis kemanusiaan besar: kehancuran kehidupan masyarakat sipil, kematian anak-anak akibat kelaparan dan dehidrasi, serta ketidaktersediaan bahan medis yang memadai. Sementara itu, Ibrahim Al-Masri, tokoh Hamas yang juga dikenal sebagai Mohammed Deif, dituduh terlibat dalam pembunuhan massal dalam serangan 7 Oktober 2023 di Israel, yang menewaskan 1.206 warga Israel, mayoritas warga sipil.
Blokade yang diterapkan Israel di Gaza selama lebih dari satu dekade telah mengakibatkan kematian setidaknya 44.056 warga Palestina dalam 13 bulan terakhir, menurut laporan Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza. Lebih dari 104.268 orang terluka akibat konflik yang tak kunjung usai. Angka-angka ini tidak hanya mencerminkan tragedi kemanusiaan, tetapi juga menunjukkan kegagalan sistem internasional dalam mencegah penderitaan yang terus berulang. Dalam konteks ini, keputusan ICC menjadi tonggak penting untuk menegakkan akuntabilitas.
Namun, seperti yang sering terjadi dalam hukum internasional, implementasi keputusan ini bergantung pada keberanian dan komitmen negara-negara anggota ICC. Dengan 124 negara yang telah meratifikasi Statuta Roma, pelaksanaan surat perintah ini sepenuhnya berada di tangan mereka. Italia, Spanyol, Belgia, dan negara-negara Eropa lainnya telah menyatakan kesediaannya untuk menangkap Netanyahu dan Gallant jika mereka memasuki wilayah hukum masing-masing. Menteri Pertahanan Italia Guido Crosetto bahkan menegaskan bahwa negaranya berkewajiban untuk menjalankan perintah ICC ini, meskipun ia mengkritik penyamaan posisi Netanyahu dengan Hamas.
Sebaliknya, Israel menolak mentah-mentah keputusan ICC, menyebutnya antisemit dan tidak sah. Kantor Netanyahu bersikukuh bahwa langkah ini adalah upaya politik yang tidak berdasar, sementara Menteri Luar Negeri Israel Gideon Saar menyebutnya sebagai "momen suram" bagi ICC. Amerika Serikat, sebagai sekutu utama Israel, juga menolak keputusan ini dan menyebut prosesnya “cacat secara mendasar.” Sementara itu, ICC, yang tidak memiliki pasukan penegak hukum sendiri, harus bergantung pada negara-negara anggota untuk menegakkan keputusan tersebut—sebuah tantangan besar mengingat tekanan politik dari kekuatan besar seperti AS.
Indonesia, yang selama ini dikenal sebagai pendukung kuat perjuangan Palestina, ironisnya tidak memiliki kemampuan hukum untuk berpartisipasi dalam penegakan perintah ini. Alasannya sederhana: Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma, dokumen pendirian ICC. Keputusan ini sering kali dibenarkan dengan alasan kedaulatan nasional dan kekhawatiran bahwa mekanisme ICC dapat disalahgunakan untuk mencampuri urusan dalam negeri, terutama terkait isu Papua.
Namun, posisi ini menghadirkan dilema besar. Bagaimana Indonesia dapat menyuarakan dukungan terhadap keadilan bagi Palestina jika secara hukum kita tidak memberikan legitimasi kepada pengadilan internasional yang menangani kasus tersebut? Dukungan retoris tanpa tindakan konkret hanya akan memperkuat pandangan bahwa Indonesia tidak sepenuhnya serius dalam mendukung penegakan hukum internasional.
Keputusan ICC terhadap Netanyahu juga mematahkan persepsi bahwa pemimpin dari negara pro-Barat kebal terhadap hukum internasional. Reed Brody, seorang pakar hukum internasional, menyebut langkah ini sebagai “terlambat tetapi penting.” Selama lebih dari dua dekade, ICC memang kerap dikritik karena hanya menyasar pemimpin dari negara-negara kecil atau berkembang, terutama di Afrika. Keputusan ini, oleh karena itu, menjadi ujian integritas bagi pengadilan internasional: dapatkah hukum benar-benar berlaku universal?
Namun, kita tidak boleh mengabaikan fakta bahwa keadilan dalam konteks konflik Gaza tidak sederhana. Kedua belah pihak, baik Israel maupun Hamas, menghadapi tuduhan pelanggaran berat. ICC sendiri sebelumnya telah menyelidiki tokoh-tokoh Hamas seperti Ismail Haniyeh dan Yahya Sinwar atas tuduhan pemusnahan, pembunuhan, penyiksaan, dan kejahatan perang lainnya. Dalam perang yang berlangsung lebih dari satu dekade ini, angka korban tewas yang terus meningkat di kedua pihak menunjukkan betapa kompleksnya upaya menegakkan akuntabilitas.
Bagi Indonesia, keputusan ICC ini seharusnya menjadi momen refleksi mendalam. Jika kita serius mendukung perjuangan rakyat Palestina, maka meratifikasi Statuta Roma adalah langkah yang tak terelakkan. Tidak cukup hanya mengecam tindakan Israel atau menyampaikan solidaritas di forum internasional. Tanpa komitmen hukum yang jelas, dukungan Indonesia akan selalu dianggap simbolis dan tidak substansial.
Tentu, ada risiko politik dalam meratifikasi Statuta Roma. Namun, langkah ini bukan hanya tentang mendukung Palestina, tetapi juga tentang menunjukkan bahwa Indonesia berkomitmen terhadap prinsip hukum internasional yang adil dan setara. Dalam dunia yang semakin terfragmentasi oleh politik kekuasaan, Indonesia memiliki kesempatan untuk memainkan peran strategis sebagai penghubung antara negara-negara berkembang dan tatanan hukum global.
Keputusan ICC terhadap Netanyahu, Gallant, dan Al-Masri adalah pengingat bahwa tidak ada yang kebal hukum. Namun, implementasi keputusan ini membutuhkan dukungan nyata dari komunitas internasional. Negara-negara yang telah menyatakan kesediaannya untuk menjalankan perintah ini, seperti Italia, Spanyol, dan Belgia, telah memberikan contoh penting bahwa hukum internasional harus ditegakkan tanpa pandang bulu.
Indonesia, dengan sejarah panjangnya sebagai pendukung kemerdekaan Palestina, tidak seharusnya hanya menjadi penonton. Keputusan untuk tidak meratifikasi Statuta Roma harus dievaluasi ulang. Jika kita ingin berada di sisi yang benar dalam sejarah, kita harus berani melangkah melampaui kepentingan domestik dan memberikan kontribusi nyata bagi tegaknya keadilan global.
Keadilan untuk Gaza adalah keadilan untuk dunia. Surat perintah penangkapan Netanyahu bukan hanya tentang konflik antara Israel dan Palestina, tetapi juga tentang prinsip universal bahwa tidak ada seorang pun yang berada di atas hukum. Indonesia memiliki kesempatan untuk mendukung perjuangan ini dengan tindakan konkret, bukan hanya kata-kata.
Pada akhirnya, keputusan ICC ini adalah pengingat bahwa hukum internasional, meskipun lambat dan penuh tantangan, masih memiliki kekuatan untuk menantang impunitas. Namun, kekuatan ini hanya akan efektif jika negara-negara, termasuk Indonesia, bersedia mendukungnya secara penuh. Jangan biarkan momen ini berlalu tanpa kita mengambil sikap yang nyata.
Virdika Rizky Utama
Peneliti PARA Syndicate, Alumni Master Ilmu Politik dari Shanghai Jiao Tong University.