Kemenangan Donald Trump atas Kamala Harris dalam Pemilu AS 2024 bukan hanya sebuah kejutan politik, tetapi juga cerminan dari krisis mendalam yang melanda masyarakat Amerika.
Sebagai sosok yang dianggap kontroversial, Trump berhasil membalikkan keadaan dan merebut kembali Gedung Putih setelah kekalahan di tahun 2020. Kemenangan capres Republik ini bukan sekadar kemenangan individu, tetapi manifestasi dari kegagalan Demokrat dalam memahami dinamika politik, ekonomi, dan sosial yang tengah bergolak. Trump tidak hanya mampu mengonsolidasikan basis tradisionalnya, tetapi juga memperluas daya tariknya ke kelompok pemilih baru yang sebelumnya enggan mendukungnya.
Isu keterpurukan ekonomi AS adalah senjata utama Trump dalam kampanye ini. Di tengah inflasi yang melambung tinggi, banyak warga Amerika merasa kehidupan mereka semakin sulit. Harga kebutuhan pokok naik, sementara daya beli stagnan.
Data menunjukkan bahwa 45% pemilih merasa kondisi ekonomi mereka memburuk dalam empat tahun terakhir, angka tertinggi dalam sejarah survei pemilu AS. Trump, dengan gaya retorikanya yang khas, menawarkan solusi yang dianggap lebih langsung dan konkret. Ia berjanji memotong pajak, melindungi industri domestik dengan tarif tinggi, dan mengurangi regulasi yang dianggap memberatkan bisnis.
Janji-janji ini mungkin tampak sederhana, bahkan populis, tetapi efektif dalam menggerakkan emosi pemilih yang frustrasi. Bagi banyak orang, janji tersebut memberikan harapan bahwa ekonomi akan kembali stabil, pekerjaan akan lebih banyak tersedia, dan kehidupan mereka akan membaik dalam waktu dekat. Meskipun para ekonom memperingatkan risiko inflasi jangka panjang akibat kebijakan proteksionisme, kekhawatiran tersebut tampaknya tidak cukup untuk membendung gelombang dukungan kepada Trump.
Namun, keberhasilan Trump tidak hanya bertumpu pada isu ekonomi. Ia juga memanfaatkan isu imigrasi sebagai senjata ampuh untuk memperkuat dukungannya. Selama pemerintahan Biden-Harris, jumlah imigran ilegal yang masuk ke AS mencapai rekor tertinggi, hampir 250.000 orang per bulan pada akhir 2023. Meskipun pemerintah Demokrat akhirnya mengambil langkah-langkah untuk memperketat kebijakan perbatasan, bagi banyak pemilih, langkah itu dianggap terlambat. Trump, sebaliknya, sejak awal menegaskan bahwa dia akan mengembalikan kebijakan imigrasi keras, termasuk membangun kembali tembok perbatasan yang dihentikan.
Narasi ini sangat efektif di negara-negara bagian seperti Georgia dan North Carolina. Di dua negara bagian ini sentimen anti-imigrasi tinggi, bahkan di Carolina Utara, misalnya, sebagian besar pemilih menganggap kebijakan imigrasi Biden gagal melindungi keamanan dan stabilitas masyarakat lokal.
Keberhasilan Trump membangun narasi bahwa pemerintah Demokrat telah mengabaikan kepentingan warga negara demi kepentingan politik progresif. Retorika keras ini, meskipun kontroversial, berhasil menggalang dukungan dari kelompok-kelompok yang merasa terancam oleh perubahan demografis dan sosial.
Salah satu aspek paling menarik dari kemenangan Trump adalah pergeseran signifikan dalam demografi pemilih. Di luar dugaan, ia meraih dukungan besar dari kelompok pemilih minoritas, terutama Hispanik dan kulit hitam.
Di Nevada, Trump berhasil mendapatkan 47% suara Hispanik, angka tertinggi untuk kandidat Republik dalam dua dekade terakhir. Bahkan di antara pria Hispanik, Trump unggul 10 poin atas Harris. Pergeseran ini menandakan bahwa isu ekonomi dan keamanan yang diangkat Trump mampu menembus batas politik identitas, menawarkan narasi alternatif yang lebih relevan bagi kelompok-kelompok ini.
Sebaliknya, kampanye Harris gagal memanfaatkan potensi penuh dari basis tradisional Demokrat. Partisipasi pemilih di kota-kota seperti Philadelphia dan Milwaukee, yang selama ini menjadi benteng suara Demokrat, justru menurun signifikan. Ini bukan sekadar soal strategi kampanye yang kurang efektif, tetapi juga cerminan dari rasa apatis di kalangan pemilih Demokrat. Mereka yang sebelumnya bersemangat mendukung Biden tampaknya kehilangan keyakinan bahwa Demokrat mampu mengatasi tantangan ekonomi dan sosial yang ada.
Kegagalan terbesar Demokrat mungkin terletak pada ketidakmampuan mereka untuk memobilisasi pemilih muda. Kelompok ini, yang sering kali menjadi motor perubahan dalam pemilu, justru lebih banyak berpaling.
Pada pemilu 2020, Biden menang besar di kalangan pemilih pertama kali dengan margin 32 poin. Namun, dalam pemilu kali ini, Harris kalah di kelompok yang sama dengan margin 9 poin. Ini menunjukkan bahwa isu-isu progresif seperti perubahan iklim, keadilan sosial, dan hak asasi manusia, meskipun penting, tidak cukup untuk menggerakkan generasi muda dalam jumlah besar.
Kemenangan Trump juga memberikan dampak besar dalam konteks geopolitik. Retorikanya tentang “perdamaian melalui kekuatan” dan janji untuk mengurangi keterlibatan AS dalam konflik luar negeri telah menarik perhatian dunia.
Sejumlah pemimpin global, seperti Volodymyr Zelenskyy dari Ukraina dan Benjamin Netanyahu dari Israel, menyambut baik kembalinya Trump. Namun, pendekatan proteksionis Trump, termasuk janji untuk memberlakukan tarif tinggi pada barang-barang impor, berpotensi memicu ketegangan baru dalam hubungan perdagangan internasional. Kebijakan ini, meskipun dirancang untuk melindungi industri dalam negeri, dapat memicu perang dagang yang merugikan ekonomi global.
Lebih jauh lagi, kemenangan ini memperdalam polarisasi politik di AS. Dengan kendali atas Gedung Putih dan Senat, Trump memiliki kekuatan penuh untuk mendorong agenda konservatifnya tanpa banyak hambatan. Ini termasuk membatalkan kebijakan progresif yang diterapkan selama pemerintahan Biden-Harris, mulai dari reformasi sistem kesehatan hingga regulasi lingkungan. Langkah-langkah ini hampir pasti akan memicu reaksi keras dari Partai Demokrat dan kelompok progresif, memperdalam jurang perpecahan politik yang sudah ada.
Bagi Demokrat, kekalahan ini harus menjadi momen refleksi yang mendalam. Mereka harus segera merumuskan ulang strategi politik yang mampu merangkul semua lapisan masyarakat. Ketidakmampuan mereka untuk merespons kebutuhan konkret dari berbagai kelompok pemilih, terutama mereka yang merasa terpinggirkan secara ekonomi dan sosial, menjadi kelemahan utama yang harus segera diperbaiki. Jika tidak, mereka akan terus kehilangan pijakan dalam kompetisi politik yang semakin keras dan tidak kenal ampun.
Kemenangan Trump menunjukkan bahwa, meskipun penuh kontroversi, ia tetap mampu memanfaatkan ketidakpuasan publik untuk mengukuhkan dirinya sebagai salah satu tokoh politik paling berpengaruh di era modern. Amerika kini berada di persimpangan jalan, menghadapi pilihan besar antara jalan proteksionisme dan unilateralisme atau keterbukaan dan multilateralisme. Pilihan ini tidak hanya akan menentukan masa depan Amerika, tetapi juga arah dunia dalam menghadapi tantangan global yang semakin kompleks.
Virdika Rizky Utama
Peneliti PARA Syndicate, Alumni Master Ilmu Politik dari Shanghai Jiao Tong University.