Buku tipis terbitan Departemen Penerangan RI itu berjudul Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa: Indonesia (1961). Judul tampak wajar tapi bermasalah dalam persoalan bahasa. Di teks, kita tak mendapat ajakan atau mufakat untuk “berbahasa satu, bahasa Indonesia.” Judul menjelaskan gagasan bertahan lama mengenai segala haru “satu” merujuk 1928.
Panitia Nasional Hari Sumpah Pemuda dalam terbitan buku itu memuat teks Sumpah Pemuda ditambah “Tekad Pemuda”. Kita mengutip tekad nomor 2: “Kami pemuda Indonesia bertekad bulat untuk mengisi Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan satu masjarakat sosialis Indonesia.” Kita mengetahui kalimat dipengaruhi oleh beragam kebijakan dan pidato Soekarno. Tekad nomor 3 masih berkaitan gerakan politik di Indonesia mengikuti “petunjuk” atau “misi” Soekarno: “Kami pemuda Indonesia bertekad bulat untuk menghapuskan imperialisme dan kolonialisme dari muka bumi dan membentuk dunia baru jang penuh persahabatan dan perdamaian abadi.”
Kita mampu membedakan kekuatan kata-kata dan dampak dalam teks Sumpah Pemuda (1928) dan Tekad Pemuda (1961). Di Tekad Pemuda, kita membaca lima nomor. Teks dibuat bukan oleh kaum muda seperti silam. Teks itu mirip “pesanan” atau disusun demi kekuasaan. Di nomor terakhir, ada pengakuan: “Kami pemuda Indonesia siap untuk menerima komando dari Pemimpin Besar Revolusi dalam pembebasan Irian Barat.” Kita mengerti situasi politik masa 1960-an memang genting dan kecamuk kekuasaan makin membesar dengan segala ruwet.
Pada masa berbeda, publik tetap mengetahui teks Sumpah Pemuda meski kadang berbeda dengan sumber 1928. Buku terbitan pemerintah pada 1961 itu bermasalah tapi telanjur dilupakan dalam babak-babak peringatan Sumpah Pemuda di bawah naungan rezim Orde Baru.
Kita selingin dengan membaca kenangan Mohammad Roem berkaitan Sumpah Pemuda. Kenangan terbaca dalam buku berjudul Sumpah Pemuda: Puncak Perkembangan, Awal Pertumbuhan (1975). Cerita sederhana tapi memberi latar bagi kita ingin mengerti nusa, tanah air, dan bahasa. Roem mengenang: “Penulis baru mengerti dan menyadari arti tanah air waktu ia berpindah dari Pekalongan ke Jakarta, sesudah tamat sekolah HIS. Ia diterima di bagian persiapan STOVIA, yang dapat disamakan dengan MULO atau SMP sekarang. Hal itu berlangsung pada pertengahan tahun 1924. Sebagai anak Jawa, ia menjadi anggota Jong Java. Di asrama STOVIA, ia hidup bersama dengan anak-anak dari hampir seluruh kepulauan yang menyusun Hindia Belanda.” Kita membaca biografi remaja sedang belajar dan bergerak menunju pembentukan Indonesia meski Roem masih membahasakan Hindia Belanda. Berlanjut, Roem bergabung dengan Jong Islamieten Bond. Ia makin mengerti tanah air.
Pada 1928, ia menerima dan mengetahui dampak-dampak Sumpah Pemuda. Penjelasan diberikan Roem: “Sumpah Pemuda itu mempunyai arti kejiwaan yang penting, terutama bagi golongan terpelajar, yang masih dalam bahaya mendapat pendidikan kolonial. Sumpah Pemuda memberikan kepada kita "kepribadian.” Kita membaca kenangan itu sambil mengandaikan Roem sadar pamrih peringatan Sumpah Pemuda berlatar masa kekuasaan Soekarno dan Soeharto. Roem menegaskan masalah tanah air.
Kita melengkapi dengan kenangan Leimena saat berpidato dalam peringatan Sumpah Pemuda (1961) di Jakarta. Leimena ikut hadir dalam Kongres Pemuda II (1928). Ia masih remaja. Leimena terpesona dengan lagu Indonesia Raya gubahan WR Soepratman. Ia pun mengartikan Sumpah Pemuda: “… para pemoeda dan pemoedi Indonesia waktu itu mengumumkan dan mendengungkan suatu ide, satu ide kebangsaan, satu ide nasionalisme jang murni. Tapi ide nasionalisme jang murni ini suatu bahagian dari satu ide jang lebih besar jang mentjetuskan peristiwa-peristiwa jang penting dalam perdjoangan bangsa Indonesia.” Sumpah Pemuda itu titik sejarah berkaitan dengan pendahulu (1908) dan titik sejarah terpenting (1945).
Kita mencatat 1928 itu tanah air, ide nasionalisme, bahasa Indonesia, lagu, dan lain-lain. Kenangan para tokoh tentu berbeda dan bisa dibandingkan dengan teks-teks sejarah masih terwariskan sampai sekarang. Di kenangan, peristiwa bersejarah kadang malah menjadi “drama” atau “klise”.
Pada 1961, panitia peringatan Sumpah Pemuda bentukan pemerintah justru memberi penjelasan berlebihan mengenai sejarah. Kita mengutip masalah tiga sumpah. Sumpah pertama diucapkan di kaki Bukit Sigantang (603). “Sedjak itu tersusunlah negara Sriwidjaja jang usianja sampai abad XIII, negara kuat dan djaja,” keterangan panitia. Sumpah kedua diucapkan Patih Gadjahmada di kaki Gunung Penanggungan, di tanah Majapahit, pada tahun 1331. Keterangan mengenai 1928: “Sumpah ketiga ialah Sumpah Indonesia Raya jang melahirkan Sumpah pemuda. Satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa ialah Indonesia.” Kita mengalami kerancuan dan keamburadulan dalam kepentingan memahami sejarah.
Pada 1963, sejarah makin meriah. Biro Pemuda (Departemen Pendidikan Dasar dan Kebudjaan) menerbitkan buku berjudul Sedjarah Perdjuangan Pemuda Indonesia. Buku tebal bermaksud memberi referensi sejarah bagi kaum muda berperan dalam arus revolusi belum selesai. Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudajaan (Prijono) memberi ajakan: “…. Seluruh pemuda Indonesia jang sungguh-sungguh setudju dengan sosialisme Indonesia, djadi dengan sendirinja bermoral sosialis, dalam persatuan dan kesatuan jang lebih erat lagi akan terus berdjuang bersama-sama dengan rakjat patriotik untuk kebahagiaan seluruh rakjat dan bangsa Indonesia pada chususnja, umat manusia pada umumnja.”
Di halaman-halaman buku, kita membaca keterkaitan pemberontakan nasional (1926-1927), kelahiran PNI (1927), dan Kongres Pemuda II (1928). Buku itu terbit pada masa kekuasaan Soekarno, lumrah terjadi pemilihan diksi selaras dengan deru revolusi. Kita membaca cara membahasakan sejarah merujuk 1928: “… semangat persatuan mendjiwai seluruh djalannja kongres. Ide-ide untuk mentjapai Indonesia merdeka, mengusir kolonialisme Belanda dengan menggunakan massa aksi revolusiober mempunjai pengaruh besar jang menentukan dalam kongres.” Kita membaca dengan citarasa bahasa dan makna berbeda setelah meninggalkan masa kekuasaan Soekarno.
Sumpah Pemuda mungkin berlebihan dalam pamrih-pamrih peringatan selama masa kekuasaan Soekarno. Kita pun menemukan “drama” atau penjelasan berlebihan pada masa Orde Baru. Sejarah justru “salah” atau sekadar mendekati “benar” saat kita memilih turut dalam kenangan tokoh dan penjelasan-penjelasan dibuat oleh pemerintah.
Bandung Mawardi
Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah