Hari Guru Nasional 2024 menjadi momentum penting untuk merefleksikan kembali peran guru dalam mencetak generasi penerus bangsa. Pada tahun ini, Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan mengusung tema “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Sementara Kementerian Agama mengangkat tema "Guru Berdaya, Indonesia jaya". Dua tema ini memompa semangat semua elemen khususnya guru untuk tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan, tetapi juga memiliki akhlak mulia dalam mendidik.
Di tengah tantangan dunia pendidikan saat ini, seperti kekerasan terhadap anak, perundungan siswa, dan tindakan tidak etis lainnya yang dilakukan oleh segelintir guru, refleksi terhadap etika mendidik menjadi semakin relevan. Dalam tradisi Islam, nilai-nilai etika dalam pendidikan memiliki kedudukan yang sangat penting, sebagaimana diajarkan oleh para ulama salaf, salah satunya KH Hasyim Asy’ari melalui kitab monumental Adabul Alim wal Mutaallim.
KH Hasyim Asy’ari, sebagai pendiri Nahdlatul Ulama dan ulama besar di abad ke-20, menempatkan etika pendidikan dalam posisi yang istimewa. Etika guru yang dirumuskan oleh KH Hasyim Asy’ari memiliki relevansi kuat dengan tantangan pendidikan modern. Pendidikan hari ini menghadapi perubahan cepat yang dipicu oleh perkembangan teknologi, diversifikasi siswa, serta meningkatnya perhatian terhadap hak anak dan keselamatan mereka di lingkungan sekolah.
Etika yang berlandaskan nilai-nilai keteladanan, keadilan, dan kasih sayang sebagaimana dirumuskan oleh KH Hasyim Asy’ari dapat menjadi landasan penting untuk membangun lingkungan pendidikan yang aman dan inklusif, di mana siswa merasa dihargai dan didukung dalam mencapai potensinya.
14 Pedoman Etik Guru
KH Hasyim Asy’ari, dalam kitab Adabul Alim wal Mutaallim, merumuskan 14 pedoman etika yang harus dimiliki seorang guru dalam mendidik siswa. Pertama adalah pentingnya niat yang ikhlas dalam mengajar. Guru harus memulai proses mendidik dengan niat semata-mata untuk meraih rida Allah, menyebarkan ilmu, dan menghidupkan syariat Islam.
Niat ini menjadi landasan utama yang memastikan bahwa kegiatan mengajar tidak hanya menjadi rutinitas, tetapi juga ibadah yang penuh keberkahan. Dengan niat yang benar, seorang guru akan lebih fokus pada tujuan jangka panjang, yaitu mencetak generasi yang tidak hanya berilmu tetapi juga berakhlak mulia.
Kedua, guru bertanggung jawab untuk menanamkan niat baik dalam diri siswa. Sebagian siswa, terutama yang masih pemula, mungkin belum memahami pentingnya belajar dengan tujuan yang luhur. Dalam hal ini, guru harus secara perlahan memotivasi siswa agar memiliki visi yang lebih baik dalam belajar, baik melalui kata-kata yang bijak maupun teladan nyata.
Dengan pendekatan ini, siswa akan terdorong untuk belajar tidak hanya demi kepentingan duniawi, tetapi juga untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memberi manfaat kepada sesama.
Ketiga dan keempat berkaitan dengan bagaimana seorang guru harus bersikap penuh kasih sayang dan sabar terhadap siswa. Guru diibaratkan seperti orang tua kedua bagi siswa; ia harus memperlakukan siswa dengan kelembutan, kesabaran, dan kasih sayang, meskipun menghadapi siswa yang sulit diatur.
Dalam mendidik, seorang guru juga harus menggunakan bahasa yang mudah dipahami, menyampaikan materi dengan cara yang sesuai dengan kemampuan siswa, dan menghindari penggunaan istilah yang terlalu sulit sehingga siswa tidak merasa tertekan atau kehilangan semangat belajar.
Kelima dan keenam, guru harus antusias dalam mengajar dan memberikan pemahaman kepada siswa. Ia harus berusaha menjelaskan materi dengan cara yang menarik, memberikan contoh-contoh yang relevan, dan menghindari penjelasan yang terlalu panjang atau rumit.
Guru juga perlu memastikan siswa benar-benar memahami pelajaran dengan cara mengulang dan menguji pemahaman mereka, baik melalui pertanyaan langsung maupun latihan mandiri. Hal ini dilakukan bukan untuk menghakimi siswa, tetapi untuk memastikan bahwa setiap siswa memiliki pemahaman yang kokoh terhadap materi yang diajarkan.
Ketujuh dan kedelapan menekankan pentingnya mengelola beban belajar siswa dan bersikap adil dalam memperlakukan mereka. Guru tidak boleh memaksa siswa untuk belajar melebihi kemampuan mereka, karena hal ini hanya akan membuat siswa merasa jenuh dan kehilangan motivasi.
Selain itu, guru harus menghindari perlakuan istimewa terhadap siswa tertentu, kecuali jika hal tersebut didasarkan pada keunggulan siswa dalam usaha dan akhlaknya. Keadilan adalah kunci untuk menciptakan suasana belajar yang harmonis dan saling menghormati.
Kesembilan menekankan pentingnya seorang guru untuk memberikan perhatian mendalam terhadap perkembangan siswa, baik secara akademik maupun moral. Guru harus mengenal setiap siswa secara personal, termasuk nama, latar belakang, dan kondisi mereka, serta memastikan bahwa siswa merasa diperhatikan. Jika seorang siswa menunjukkan perilaku yang kurang pantas, seperti malas belajar, berbicara kasar, atau bergaul dengan teman yang tidak baik, guru bertanggung jawab untuk memberikan nasihat dengan cara yang bijak dan penuh kasih sayang.
Apabila nasihat tidak cukup, guru dapat memberikan teguran secara bertahap, mulai dari peringatan halus hingga tindakan tegas, selalu dengan tujuan untuk mendidik, bukan menghukum. Selain itu, guru juga harus menghormati privasi siswa, menunjukkan rasa empati, dan membantu mereka dalam menghadapi masalah pribadi yang mungkin memengaruhi proses belajar mereka. Dengan pendekatan ini, siswa akan merasa didukung dan dihargai, sehingga lebih termotivasi untuk belajar dan berkembang menjadi individu yang lebih baik.
Kesepuluh menekankan pentingnya seorang guru dalam membangun hubungan harmonis dan interaksi positif antar siswa. Guru bertugas mengajarkan nilai-nilai seperti saling menghormati, menyebarkan salam, bertutur kata yang baik, dan menumbuhkan rasa cinta serta tolong-menolong di antara siswa. Suasana belajar yang penuh kebersamaan dan saling mendukung ini tidak hanya memperkuat hubungan antar siswa, tetapi juga meningkatkan efektivitas pembelajaran.
Dengan menciptakan lingkungan yang kondusif, guru membantu siswa belajar tidak hanya dari materi pelajaran, tetapi juga dari pengalaman sosial mereka, membentuk pribadi yang lebih dewasa, penuh empati, dan siap menghadapi dinamika kehidupan bersama.
Kesebelas dan kedua belas menekankan pentingnya guru dalam memberikan perhatian penuh terhadap konsentrasi siswa serta menunjukkan kepedulian terhadap mereka yang absen. Dalam menjaga konsentrasi siswa, guru tidak hanya bertanggung jawab untuk menciptakan suasana belajar yang kondusif, tetapi juga membantu siswa mengatasi gangguan atau hambatan yang bisa mengalihkan perhatian mereka. Guru perlu memberikan motivasi secara terus-menerus dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada siswa agar mereka fokus pada tujuan belajar.
Selain itu, jika ada siswa yang tidak hadir, guru diharapkan untuk tidak sekadar mencatat ketidakhadiran mereka, tetapi juga menanyakan kabar dan mencari tahu penyebab ketidakhadiran tersebut. Jika siswa sakit, guru dianjurkan untuk menjenguk mereka sebagai bentuk kepedulian. Jika siswa menghadapi kesulitan pribadi atau ekonomi, guru bisa membantu meringankan beban mereka, baik melalui dukungan moral maupun bantuan material sesuai kemampuannya.
Kepedulian ini tidak hanya mencerminkan kasih sayang dan tanggung jawab seorang guru, tetapi juga menanamkan nilai empati dan kebersamaan kepada siswa lainnya. Ketika guru menunjukkan perhatian semacam ini, siswa tidak hanya merasa dihargai, tetapi juga termotivasi untuk kembali aktif dan terlibat dalam proses belajar. Pendekatan ini memperkuat hubungan emosional antara guru dan siswa, menciptakan rasa percaya, dan mendukung terciptanya lingkungan pendidikan yang humanis dan inklusif.
Ketiga belas dan keempat belas menyoroti pentingnya seorang guru untuk merendahkan hati di hadapan siswa sekaligus memperlakukan mereka dengan penghormatan yang tulus. Guru hendaknya tidak merasa lebih tinggi atau arogan terhadap siswa, melainkan bersikap rendah hati sebagai wujud keteladanan yang dapat menginspirasi mereka. Sikap ini mencerminkan akhlak mulia yang diajarkan Rasulullah ﷺ dan akan meningkatkan rasa hormat siswa terhadap guru.
Selain itu, guru perlu berbicara dengan siswa menggunakan kata-kata yang sopan, memanggil mereka dengan nama yang mereka sukai, dan menunjukkan penghargaan atas setiap upaya mereka dalam belajar. Sambutan hangat, wajah ceria, dan perhatian tulus dari seorang guru dapat menciptakan hubungan emosional yang kuat, sehingga siswa merasa dihargai dan termotivasi untuk terus belajar.
Dengan mengintegrasikan kerendahan hati dan penghormatan dalam interaksinya, guru tidak hanya menjadi sosok yang dihormati, tetapi juga dirindukan sebagai teladan yang mendidik dengan cinta dan kasih sayang. Prinsip ini menjadi penutup dari pedoman etika guru yang menekankan bahwa pengajaran bukan hanya soal transfer ilmu, tetapi juga tentang menciptakan lingkungan yang membangun kepribadian siswa secara utuh.
Pedoman Etik dalam Perspektif Pendidikan Modern
Pedoman etik guru kepada siswa yang dirumuskan oleh KH Hasyim Asy’ari ini menegaskan pentingnya hubungan guru-siswa yang didasarkan pada nilai-nilai keteladanan, kasih sayang, keadilan, dan penghormatan. Nilai-nilai ini sejalan dengan konsep pendidikan modern, khususnya pendekatan humanistik yang dikembangkan oleh tokoh seperti Carl Rogers.
Dalam teori humanistik, hubungan antara guru dan siswa dilihat sebagai aspek fundamental untuk menciptakan lingkungan belajar yang mendukung perkembangan siswa secara emosional dan intelektual. Guru yang rendah hati dan penuh perhatian, sebagaimana ditekankan oleh KH Hasyim Asy’ari, menjadi elemen penting untuk membangun kepercayaan siswa dan mendorong mereka mencapai potensi terbaiknya.
Pendekatan KH Hasyim Asy’ari juga selaras dengan teori Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosional) yang dikembangkan oleh Daniel Goleman. Kecerdasan emosional menekankan pentingnya empati, kesabaran, dan kemampuan untuk membangun hubungan yang sehat dalam proses pendidikan. Pedoman seperti bersikap sabar terhadap kekurangan siswa, tidak memaksakan beban belajar yang berlebihan, dan memberikan perhatian penuh kepada siswa yang absen mencerminkan elemen kunci kecerdasan emosional.
Guru yang mampu memahami emosi dan kebutuhan siswa, sebagaimana diajarkan oleh KH Hasyim Asy’ari, akan menciptakan suasana belajar yang lebih inklusif dan mendorong keterlibatan aktif siswa.
Selain itu, konsep pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered learning) juga dapat ditemukan dalam pedoman KH Hasyim Asy’ari. Prinsip-prinsip seperti menggunakan bahasa yang mudah dipahami, memotivasi siswa untuk memiliki tujuan belajar yang luhur, serta memberikan pengajaran yang sesuai dengan kemampuan siswa adalah inti dari pendekatan pembelajaran modern ini.
Dalam pendidikan modern, guru tidak lagi berperan sebagai pusat pengetahuan semata, tetapi sebagai fasilitator yang membantu siswa mengembangkan pengetahuan dan keterampilan mereka sendiri. Pedoman KH Hasyim Asy’ari menunjukkan bahwa pembelajaran yang efektif harus mempertimbangkan keunikan dan kebutuhan individu siswa.
KH Hasyim Asy’ari menekankan pentingnya keadilan dalam memperlakukan siswa, sebuah nilai yang sangat relevan dengan prinsip inclusive education dalam teori pendidikan modern. Prinsip keadilan ini menegaskan bahwa setiap siswa, tanpa memandang kemampuan, latar belakang, atau status sosial, memiliki hak yang sama untuk mendapatkan perlakuan yang setara dalam proses pembelajaran.
Dalam pandangan KH Hasyim Asy’ari, guru harus menghindari sikap pilih kasih atau menunjukkan keberpihakan kepada siswa tertentu kecuali berdasarkan alasan yang jelas, seperti pencapaian atau keunggulan moral siswa tersebut. Bahkan dalam situasi demikian, penghargaan yang diberikan kepada siswa harus dijelaskan secara transparan agar tidak menimbulkan rasa iri atau ketidaknyamanan di antara siswa lainnya.
Sikap adil ini menjadi fondasi penting dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang demokratis, di mana setiap siswa merasa dihargai dan diterima. Selain itu, keadilan ini tidak hanya mencakup aspek akademik, tetapi juga mencakup interaksi sosial di antara siswa, seperti memberikan giliran yang sama dalam diskusi atau kesempatan yang setara dalam berbagai kegiatan pembelajaran.
Dengan menerapkan keadilan dalam setiap tindakan, guru tidak hanya menciptakan suasana yang harmonis di kelas, tetapi juga menanamkan nilai-nilai penghormatan terhadap hak asasi dan keragaman kepada siswa, yang pada akhirnya membentuk mereka menjadi individu yang inklusif dan toleran.
Pedoman KH Hasyim Asy’ari ini mengingatkan kita bahwa pendidikan adalah proses yang mencakup dimensi moral, emosional, dan spiritual, selain aspek intelektual.
Dalam teori pendidikan modern, pendekatan ini dikenal sebagai holistic education, yang bertujuan untuk mengembangkan siswa secara utuh sebagai individu. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai tradisional yang diajarkan oleh KH Hasyim Asy’ari dengan teori pendidikan modern, para guru tidak hanya dapat mendidik siswa menjadi individu yang cerdas dan kompetitif, tetapi juga berakhlak mulia dan peduli terhadap lingkungannya. Pedoman ini menjadi relevan di era modern untuk menghadirkan pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada prestasi, tetapi juga pada pembentukan karakter dan peradaban.
Integrasi antara pedoman tradisional KH Hasyim Asy’ari dan pendekatan pendidikan modern, seperti teori humanistik dan pembelajaran berbasis kecerdasan emosional, memberikan kerangka yang kuat untuk membangun pendidikan yang holistik. Guru yang rendah hati, adil, dan penuh kasih sayang tidak hanya akan membangun siswa yang cerdas secara intelektual, tetapi juga individu yang berakhlak mulia dan peduli terhadap sesama.
Dalam menghadapi era yang terus berubah, pedoman ini menjadi penyeimbang antara kemajuan teknologi pendidikan dan kebutuhan akan pembentukan karakter, moral, serta nilai-nilai spiritual. Pendidikan yang berbasis etika akan memastikan bahwa siswa tidak hanya mendapatkan ilmu, tetapi juga tumbuh menjadi pribadi yang berintegritas.
Sebagai bagian dari refleksi Hari Guru Nasional 2024, kita diingatkan bahwa kekuatan bangsa dimulai dari kekuatan moral dan integritas para pendidiknya. Guru adalah pilar utama dalam menciptakan generasi penerus yang unggul, baik secara intelektual maupun spiritual. Dengan menjadikan pedoman KH Hasyim Asy’ari sebagai inspirasi, kita dapat melahirkan sosok guru yang tidak hanya hebat dalam ilmu, tetapi juga kuat dalam membangun peradaban melalui keteladanan dan kasih sayang. Guru yang demikianlah yang akan mewujudkan Indonesia yang benar-benar kuat, inklusif, dan bermartabat.
Puji Raharjo Soekarno
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Lampung