Salah satu sisi semarak Hari Santri 2023 yang baru saja diperingati adalah peneguhan sarung sebagai identitas santri. Begitu pentingnya sarung dalam Peringatan Hari Santri tahun ini sampai diadakan malam Sarung Santri Nusantara, berupa peragaan berbagai motif sarung se-Nusantara.
Untuk menunjukkan kehebatan sarung, Ketua Umum PBNU, KH. Yahya Cholil Staquf, dalam sambutannya, memaknai sarung sebagai simbol kemanusiaan universal, keragaman bangsa, dan semangat istiqamah sekaligus dinamika untuk terus bergerak maju.
Mengapa sarung dimaknai Gus Yahya, panggilan akrabnya, seperti ini? Dia menjelaskan bahwa sarung sebetulnya banyak digunakan oleh orang-orang di berbagai negara. Bukan hanya orang Indonesia yang memakai kain sebagai penutup tubuh bagian bawah, yang di Indonesia disebut sarung. Karena itulah, sarung sebetulnya mencerminkan sisi universalitas kemanusiaan. Sarung juga dimaknai sebagai simbol keragaman bangsa karena sarung tidak hanya digunakan oleh umat Islam di wilayah Nusantara, tapi juga orang-orang non-Muslim.
Sementara, sarung dimaknai sebagai semangat istiqamah karena bentuk sarung sejak dulu hingga kini tidak berubah. Sarung sejak dulu tetap seperti itu. Beda dengan celana panjang, misalnya. Model celana panjang selalu berubah-ubah. Sedangkan, model sarung sejak dulu hingga kini tetap sama, yaitu kain panjang yang kedua ujungnya dijahit menyatu sehingga berbentuk seperti tong.
Tapi apakah sarung se-statis itu? Tidak! Motif sarung sangat beragam. Motif sarung terus-menerus berubah mengikuti selera zaman. Di sinilah sarung juga menyimbolkan keseimbangan antara al-tsawabit (yang tetap) dan al-taghayyur (yang berubah). Keseimbangan ini termaktub dalam dalil favorit orang NU: al-muhafadhat ala al-qadim al-shalih wa al-akhdhu bi al-jadid al-ashlah (Mempertahakan warisan masa lalu yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik).
Ah, sarung kok tiba-tiba sangat filosofis seperti ini ya. Apakah memang sarung menyimbolkan hal-hal ideal itu? Jika memang sarung adalah sebuah simbol atau tanda, mari kita tanya kepada Ferdinand de Saussure, Bapak Semiotika modern. Semiotika adalah ilmu tentang tanda atau simbol.
Menurut Saussure, tanda (sign) memiliki dua unsur: signifier (penanda) dan signified (petanda atau yang ditandai). Signifier bisa berupa bunyi atau gambar. Tulisan termasuk dalam kategori gambar. Gambar hati atau lampu merah atau tengkorak atau bulan bintang atau salib atau bunyi sirine adalah penanda (signifier). Tidak seperti yang dibayangkan orang selama ini bahwa signified (petanda atau yang ditandai atau sesuatu yang dirujuk oleh penanda) adalah realitas objektif. Signified bukanlah realitas objektif, tapi konsep yang ada di kepala kita.
Agar mudah memahami, mari kita ambil lampu lalu lintas sebagai contoh. Lampu merah yang menyala di perempatan jalan raya, tidak memberi makna apa-apa. Lampu merah bermakna “berhenti” dan karenanya semua pengguna jalan harus berhenti karena kita memiliki konsep yang ada di kepala kita bahwa lampu merah berarti berhenti. Andaikan kita semua tidak memiliki kesepakatan konsep bahwa lampu merah berarti berhenti, kita akan terus berjalan sekalipun lampu merah menyala.
Agar semakin mudah memahami, mari kita membayangkan sebaliknya. Bayangkan jika konsep yang ada di kepala kita adalah bahwa lampu hijau berarti berhenti dan lampu merah berarti jalan terus. Maka, ketika lampu hijau menyala, kita akan berhenti. Baru akan lanjut jalan ketika lampu merah menyala.
Begitulah makna sebuah tanda. Ia tidak merujuk pada realitas objektif di luar dirinya. Tapi, diperantarai oleh konsep yang ada di kepala kita. Konsep ini, ketika dalam tahap tertentu, disepakati bersama, ia menjadi makna bersama. Sehingga, ketika ada sebuah tanda tertentu, semua orang (yang bersepakat dalam konsep tersebut) akan merasa otomatis memahami maknanya dan melakukan Tindakan tertentu atau menunjuk pada objek tertentu.
Jadi, makna sebuah tanda selalu bersifat abitrer. Artinya, suka-suka kita. Kita bisa saja menjelaskan sejarah mengapa gambar gelas dililit ular kobra menjadi simbol farmasi, tapi pada akhirnya kitalah yang mengkonstrusi konsep simbol itu di kepala kita. Kita bisa saja menjelaskan sejarah mengapa tanda bulan bintang digunakan sebagai simbol Islam, tapi kita juga bisa saja menggunakan simbol matahari dan salah satu satelit Planet Saturnus.
Ketika ada yang bertanya mengapa sarung identik dengan kaum santri, pertanyaan itu menjadi tidak relevan. Kaum santri sudah bersepakat bahwa mereka menjadikan sarung sebagai simbolnya, bukan kudis atau kopiah, sekalipun dua hal ini juga melekat pada para santri di pesantren. Sebelum bertanya seperti itu, sebaiknya orang itu bertanya dulu mengapa cincin dijadikan simbol ikatan pernikahan.
Sebegitu pentingnya cincin sebagai simbol pernikahan, sampai ada acara tukar cincin dalam prosesi perkawinan. Bahkan dalam budaya tertentu, kalau ada orang yang sudah menikah, tapi tidak memakai cincin, itu dianggap sebagai isyarat bahwa yang bersangkutan telah memutuskan ikatan pernikahan.
Kita bisa saja menjelaskan secara filosofis makna cincin. Misalnya, karena cincin adalah benda yang tidak memiliki ujung, maka cincin menyimbolkan kesetiaan. Cincin adalah simbol dari sebuah ikatan dua orang yang dipersatukan dalam sebuah janji suci untuk menjalani hidup sampai akhir. Tidak ada ujung akhir dari sebuah perkawinan selain kematian. Cincin adalah simbol kesetiaan dan keteguhan cinta abadi dari pasangan suami istri. Cincin adalah bla…bla…bla…. Karena itu, apa yang dipersatukan oleh Tuhan, tak boleh dipisahkan oleh manusia.
Siapakah yang menyusun konsep makna cincin seindah itu? Cincin tidak pernah memberi makna pada dirinya sendiri. Konsep itu disusun oleh manusia. Manusialah yang memberinya makna. Ketika makna itu menjadi konsensus, kita menyimpan konsep itu di kepala kita. Dengan kosep itu, ketika kita melihat ada orang yang memakai cincin, kita langsung menandainya sebagai married person. Karena itu, kita tidak melakukan pe-de-ka-te kepadanya.
Kalau cincin dimaknai sebagai kesetiaan abadi hanya karena bentuknya tak berujung, mengapa tidak sarung saja yang dijadikan simbol kesetiaan. Toh sarung juga tak berujung. Bayangkan, andai sarung dijadikan sebagai tanda kesetiaan dan keabadian cinta dalam perkawinan, sebelum proses perkawinan akan diadakan acara tukar-menukar sarung antara mempelai perempuan dan laki-laki. Lalu, semua orang yang sudah menikah, ke mana-kemana akan memakai sarung karena kalau sampai tidak, dia akan dianggap telah mengkhianati janji suci perkawinannya. Andai ini terjadi, pasti seru!
Karena menjadikan sarung sebagai simbol komunitas santri sebetulnya adalah suka-suka. Pun, memaknai sarung sebagai simbol keseimbangan antara al-tsawabit dan al-taghayyur juga suka-suka, maka ijinkan saya untuk memperkenalkan makna sarung baru.
Sebagaimana cincin, sarung juga tidak memiliki titik awal dan ujung akhir. Jika dengan cincin, seorang bisa berkata, “Hendaknya apa yang dipersatukan Tuhan, jangan diceraikan oleh manusia,” maka dengan sarung, saya ingin menyatakan, “Hendaknya apa yang sudah disatukan oleh kiai, jangan pernah dicerai-beraikan oleh partai.” Semoga konsep sarung yang saya perkenalkan ini pada akhirnya diterima banyak orang. Amien ya rabb al-alamien!
Ahmad Inung
Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam, Kementerian Agama RI