Soekarno masih referensi perdebatan tak usai berlatar masa Orde Baru. Soeharto berusaha “menepikan” atau “mengaburkan” Soekarno tapi perhatian justru membesar. Orang-orang berdebat dalam pemihakan berpijak biografi, ideologi, dan sejarah. Soekarno lekas menjadi “mitos” tapi pihak-pihak menginginkan kekuasaan bercap “baru” mewujudkan lestari justru terbiasa membuat album “buruk” bereferensi Soekarno.
Orang-orang melihat foto Soekarno berusia tua di sampul majalah Gatra. Pilihan memasalahkan Soekarno itu nomor perkenalan Gatra, terbit Oktober 1994. Judul besar di muka: “Apakah Dia Bersalah.” Majalah itu pasti sengaja memunculkan polemik Soekarno agar mendapat perhatian publik, penerbit berharap lekas mendapat pelanggan atau pembaca.
Gatra edisi perkenalan kita baca kembali setelah pihak Gatra pamit. Majalah itu tak sanggup lagi mengunjungi pembaca. Juli menjadi “akhir” dari keseriusan mengadakan majalah (cetak) saat dunia makin digital. Kita mengartikan edisi atau nomor perkenalan itu menjadi titik awal sejarah Gatra. Nomor bakal menjadi incaran kolektor atau sejarawan berminat tema pers.
Pihak redaksi menerangkan: “Mengapa Gatra? Nama itu digali dari khazanah bahasa kita. Tidak mencerminkan simbol suatu golongan. Gampang diucapkan dan diingat karena kata itu singkat. Arti gatra, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pun sederhana: kata, wujud, sudut pandangan.” Nama telah diperoleh dan mendapat “peruntungan” selama puluhan tahun.
Kita kembali mengingat Gatra dalam memasalahkan Soekarno. Oktober memang bulan milik rezim Orde Baru dengan mengadakan peringatan Hari Kesaktian Pancasila. Peringatan berkaitan malapetaka 1965. Penjelasan dari redaksi: “… sikap bijaksana Pak Harto. Sekalipun palu saat itu ada di tangannya sebagai penumpas G 30 S/PKI, banyak keterangan yang menunjukkan Pak Harto selalu berusahan menghormati Bung Karno selaku seniornya.” Kita wajib mengingat kalimat-kalimat itu ditulis saat Soeharto masih berkuasa dan pers “terlarang” sembrono bila tidak mau ditamatkan.
Di buku berjudul Rahasia Dapur Majalah di Indonesia (1995) susunan Kurniawan Junaedhie, kita membaca keterangan mengenai Gatra setelah gegeran Tempo. Penguasa “menamatkan” Tempo menimbulkan ketakutan dan perlawanan. Gatra terbit dengan segala pendapat dan sangkaan.
Kurniawan Junaedhie menerangkan dari beragam sumber: “Gatra sendiri punya cerita panjang. Sebelum akhirnya Bob Hassan menjadi investornya, tersiar kabar adanya sejumlah pengusaha yang punya niat serupa.” Penerbitan majalah memerlukan modal besar. “Restu” dari pemerintah pun “mutlak”. Pada babak awal, penerbitan Gatra tetap berkaitan Tempo meski bermunculan argumentasi dan pembuktian.
Kita menemukan sekian penjelasan dalam buku berjudul Wars Within: Pergulatan Tempo, Majalah Berita Sejak Zaman Orde Baru (2007) susunan Janet Steele. Di situ, Goenawan Mohamad memberikan keterangan bila keterlibatan Bob Hassan itu melalui Soeharto. Keterangan perlu juga terbaca: “Bagi pegawai eks-Tempo, keputusan bergabung dengan Gatra adalah keputusan personal, dan sering bukan keputuan yang gampang. Beberapa dari mereka berpendapat bahwa idealisme tak ada jika tidak ada tempat untuk mengekspresikan pandangan masing-masing.”
Di penerbitan nomor perkenalan Gatra, disisipkan lembaran berlangganan bagi para peminat. Kita mengutip: “Dari pengalaman 2 dasawarsa di majalah berita, kini membidani lahirnya Gatra, padat berisi, tiap Selasa.” Publik mudah menduga orang-orang dalam Gatra berasal dari Tempo. Tawaran disampaikan: “Menyajikan berita yang jujur, jelas, dan jernih… Segeralah berlangganan. Aman dan menguntungkan.” Bujukan itu berhasil. Gatra bisa mendapat pelanggan, terbit selama puluhan tahun.
Kita berlanjut membuka Gatra, Nomor 1 Tahun 1, 19 November 1994. Di halaman sampul, kita melihat foto Soeharto dan penguasa Amerika Serikat. Di sini, kita tak mengutip masalah Soeharto. Kita malah tergoda membuka ingatan bertokoh Gus Dur mumpung sekian hari lalu terjadi keributan berkaitan orang-orang Indonesia di Israel.
Di halaman 23, berita mengenai kunjungan ke Israel: “Ngapain Gus Dur ke Sana.” Kita tak mau meributkan (lagi) tapi sekadar membaca berita lama: “Haji Abdurrahman Wahid – nama panjang pucuk pimpinan NU ini – memang tak pergi sendirian. Ia ditemani oleh dua tokoh Islam lainnya, Dr Djohan Effendi (bekas peneliti senior di Departemen Agama, yang sekarang menjadi salah seorang staf khusus Menteri Sekretaris Negara) dan Habib Chirzin, anggota Lembaga Kebijakan dan Pengkajian Pimpinan Pusat Muhammadiyah.”
Di situ, ada kutipan keterangan Gus Dur setelah mendapat kecaman-kecaman dari para tokoh Islam. Gus Dur mengatakan: “Kita ini orang tolol tapi berlagak pintar. Memangnya kalau ke Israel, kenapa? Yordania dan Israel saja sudah berdamai. Tak ada alasan untuk bermusuhan. Apalagi pada dasarnya, Indonesia tak punya masalah dengan Israel.” Kedatangan Gus Dur ke Israel itu misi pribadi, bukan membawa misi negara atau atas nama umat Islam di Indonesia. Kehadirannya berkaitan pula dengan penandatanganan perdamaian Yordania dan Israel di Tel Aviv, 26 Oktober 1994.
Berita lama itu tetap memerlukan pelbagai referensi untuk mengetahui salah-benar. Kita sekadar sebagai pembaca edisi-edisi awal Gatra sebelum kesedihan makin melanda dengan keberakhiran majalah atau koran (cetak) di Indonesia. Kliping dari majalah lama cukup memberi rujukan bagi kita makin sering disuguhi polemik-polemik. Kita mengingat Gatra awal memberitakan Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur.
Kini, kita tak lagi dapat membaca berita-berita di majalah Gatra. Surat resmi beredar mengandung keterangan “penghentian operasional”, sejak 31 Juli 2024. Di sampul edisi terakhir Gatra, kita membaca tulisan besar: “Kami Pamit”. Gatra telah memberi warisan. Kita bisa membaca kembali edisi-edisi terdahulu dengan beragam kepentingan. Begitu.
Bandung Mawardi
Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah