Dark
Light
Dark
Light

Spirit Moderasi Beragama dalam Tafsir Al-Qur’an Jawa

Spirit Moderasi Beragama dalam Tafsir Al-Qur’an Jawa

Masyarakat muslim di Indonesia memiliki warisan tradisi tafsir Al-Qur’an yang sangat melimpah jumlahnya. Sejak Abdul Rauf al-Sinkili menulis Tarjuman Mustafid pada era abad 17 M., hingga kini tradisi tafsir Al-Qur’an tersebut berjalan dengan dinamis. Tafsir-tafsir tersebut ditulis dengan beragam bahasa (Melayu, Sunda, Jawa, Madura, dan Arab) dan aksara (Pegon, Jawi, Lontara, dan Carakan) yang hidup dan digunakan di masyarakat Indonesia.

Dari sekian banyak tafsir tersebut, tafsir yang ditulis memakai bahasa dan aksara lokal, seperti bahasa Jawa, seringkali terlupakan dari ruang kesadaran masyarakat pada masa kini. Padahal, kita memiliki warisan tafsir Al-Qur’an bahasa Jawa yang sangat kaya. Jauh sebelum para intelektual muslim Indonesia menulis tafsir Al-Qur’an memakai bahasa Indonesia, misalnya A. Hassan, Hasbi Ash-Shiddiqy, dan Hamka, pada awal abad 20 M., para kiai di Jawa telah memprakarsai menulis tafsir Al-Qur’an memakai bahasa Jawa. Tafsir-tafsir tersebut berinteraksi dan mengadopsi cara pandang dan kebudayaan Jawa untuk menjelaskan pesan-pesan Al-Qur’an.

Pada awal abad 19 M, Kiai Muḥammad Salih bin Umar al-Samarani (1820-1903 M) menulis tafsir Faid al-Rahman Fi Turjumani Tafsir Kalam Al-Maliki Al-Dayyan. Tafsir ini terdiri dari dua jilid dan diterbitkan di Singapura. Pada era selanjutnya, Muḥammad Qamar (1854-1933 M), seorang penghulu di keraton Surakarta yang diberi gelar Tafsir Anom V, menulis Tafsir al-Qur'an al-Azim. Tafsir ini terdiri dari enam jilid, lengkap 30 juz, dicetak di Bombai India. Dua tafsir ini ditulis memakai aksara Pegon Jawa. Pada era yang sama, tepatnya pada tahun 1905, Kiai Bagus Ngarpah (w 1913 M), kepala madrasah Manbaul Ulum Surakarta, menulis Quran Jawen. Penulisan dan publikasinya diprakarsai oleh kraton Surakarta dan ditulis memakai aksara Carakan.

Pada era selanjutnya, tafsir Al-Qur’an di Jawa terus tumbuh dengan memakai instrumen bahasa Jawa. Meskipun Sayyid Usman (1822-1913 M) mengeluarkan fatwa tentang ketidakbolehan menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa lokal melalui  booklet yang dia tulis pada Mei 1909, berjudul Hukm al-Rahman bi al Nahy'an Tarjaman Al-Qur'an, para kiai di Jawa menginisiasi tafsir Al-Qur’an dalam bahasa Jawa. Perkumpulan Mardikintoko di Surakarta pada tahun 1924 menerbitkan tafsir Al-Qur’an ditulis memakai aksara Pegon. Tafsir ini dicetak oleh percetakan Haji Muhammad Amin Singapura. Pada tahun 1925 terdapat Serat Wirid Giri Jaya, Kiyamat Kubro 1-V karya Kender Purbadipura dan Tafsir Soerat Wal ‘Asri karya St Chayati di Tulungagung yang dicetak oleh penerbit Worosoesilo Surakarta. Pada awal 1930-an, Moh Amin bin Ngabdul Muslim menulis Tafsir Al-Qur’an lengkap memakai aksara Carakan.

Pada tahun 1927, di Madrasah Manba’ul Ulum telah memakai diktat tafsir yang ditulis dengan aksara Pegon dan Taman Pustaka Muhammadiyah juga memublikasikan terjemahan Al-Qur’an disertai keterangan singkat dengan memakai aksara Carakan. Tahun-tahun selanjutnya muncul tafsir-tafsir Al-Qur’an bahasa Jawa, di antaranya ditulis oleh Imam Ghozali bin Chasan Oestadz (1887-1969), Raden Muhammad Adnan (1889-1969 M), Moenawar Chalil (1908-1961 M),  Hadikoesoema (1890-1954), Moehammad Djauzie, Kiai Bisri Mustafa (1915-1977 M), Dja’far Amir,  Bakri Syahid, Kiai Misbah Mustofa (1916-1994 M),  dan Kiai Ahmad Mudjab Mahalli (1958-2003).
 
Bahasa sebagai Strategi Budaya
Tafsir-tafsir Al-Qur’an berbahasa Jawa tersebut mengekspresikan dan sekaligus mengeksplorasi sistem nilai dan pandangan-dunia manusia Jawa untuk menjelaskan pesan-pesan Al-Qur’an. Di dalamnya terjadi adobsi dan adaptasi nilai-nilai tersebut. Peristiwa budaya dalam tafsir ini merupakan bagian penting, karena di dalamnya terdapat pandangan-dunia yang di antaranya sumbu spirit moderasi beragama, salah satu program prioritas Kementerian Agama RI.

Dalam pandangan-dunia manusia Jawa, agama diyakini sebagai ageman (identitas), sekaligus ugeman (prinsip) dan genggeman (fondasi atau acuan). Artinya agama tidak sekadar identitas. Dalam serat Wedhatama, Mangkunegara IV (1811-1881 M) mengungkapkan kesadaran tersebut dalam bait: mrih kretarta pakartining ilmu luhur/ kang tumrap ing tanah Jawa/ agama ageming Aji. Sebagaimana halnya agama, bahasa bagi manusia Jawa juga bukan hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga cara berpikir dan berbudaya. Di dalamnya mengandung nilai dan ajaran moral. Karakteristik bahwa Jawa yang berjenjang (ngoko, madya, kromo, dan kromo inggil), misalnya mencerminkan kesadaran penghormatan antar-sesama serta menjaga harmoni sosial dalam kehidupan sehari-hari.

Kesadaran yang demikian, diekspresikan dalam tafsir-tafsir Al-Qur’an bahasa Jawa. Dalam konteks ayat yang berisi permohonan kepada Allah atau orang yang dimuliakan, seperti Nabi, Sahabat, dan Malaikat, penafsir memakai bahasa Jawa krama halus. Dalam konteks kalimat perintah dari Allah kepada makhluk dipakai bahasa Jawa ngoko. Cara yang demikian, dilakukan Kiai Raden Adnan dan Bakri Syahid ketika menjelaskan QS. Al-Baqarah [2]: 111 dan QS. Al-Baqarah [2]: 8. Sedangkan ketika konteksnya berbicara dengan orang yang terhormat dan Allah digunakan bahasa Jawa halus. Misalnya ketika Bakri Syahid menerjemahkan QS. Al-Baqarah [2]: 128. Bahkan, selain penggunaan prinsip berjenjang, dipakai pula kosakata khusus sebagai bentuk pengagungan. Misalnya penyertaan kata Gusti ketika menyebut nama Allah dan Pangeran ketika menerjemahkan kata rabb. Cara ini, misalnya digunakan Kiai Bisri, Raden Muhammad Adnan, Muhammad Qamar, Bakri Syahid, dan Dja’far Amir ketika menerjemahkan QS. Al-Mā’idah [5]: 114.

Contoh di atas merupakan ekspresi etis manusia Jawa menumbuhkan sikap saling menghormati dan menciptakan harmoni sosial. Bahasa mereka gunakan sebagai bagian mekanisme sosial untuk menghormati orang lain. Praktik moral semacam ini merupakan wujud dari pandangan-dunia Jawa, di mana seseorang dihargai antara lain karena aspek cara berkomuniksi (ajining dhiri gumantung ana ing lathi) dan sikap saling menghargai tersebut menjadi bagian jalan melahirkan harmoni sosial. Menjaga dan menciptakan keteraturan sosial dan sikap saling menghormati antarindividu merupakan prinsip moral dalam budaya Jawa dan menjadi sumbu dari salah satu prinsip moderasi beragama. Setiap individu, apapun latar belakang etnis dan agamanya, dituntut asih mring sesami (saling mengasihi) dan tresna marang sapadha-padha (saling mencintai dan menghormati antar sesama). Bila terjadi penyimpangan atas prinsip tersebut, maka pelakunya akan memperoleh sangsi sosial dan dipandang sebagai ora genah atau ora njawani.
 
Menyerap Tradisi
Selain pendayagunaan bahasa Jawa sebagai pembentukan moral, para penulis tafsir Al-Qur’an bahasa Jawa juga menyerap pandangan-dunia dan praktik kehidupan manusia Jawa untuk menjelaskan pesan-pesan Al-Qur’an. Misalnya, ketika Kiai Bisri Mustofa dalam tafsir Al-Ibriz menjelaskan QS. Al-Nur [24]: 27. Ayat ini berbicara tentang etika berkunjung ke rumah orang lain. Istilah kulo nuwun, sebagai ekspresi izin yang hidup dalam tradisi Jawa, oleh Kiai Bisri dipakai untuk menjelaskan ayat tersebut. Cara ini merupakan bagian dari moral penghormatan dan ketertiban sosial. Bakri Syahid dalam tafsir Al-Huda melakukan hal serupa. Ketika menjelaskan QS. Nuh [71]: 16 dan QS. Yunus [10]: 6, dia mengutip berbagai tradisi dan penanggalan yang dikreasikan Sultan Agung. tradisi-tradisi Jawa tersebut dikolaborasikan dengan nilai-nilai Islam, misalnya Grebeg Besar, Grebeg Bada, Grebeg Mulud, Sekaten, dan Malem Selikuran. Tradisi-tradisi ini, bajunya adalah Jawa tetapi isinya adalah Islam.

Ketika menjelaskan QS. Al-Furqan [25]: ayat 46, Bakri juga melansir tradisi wayang yang hidup di masyarakat Jawa untuk mengungkapkan pesan ayat tersebut. Ayat ini berkisah tentang cara Tuhan menghapus bayang-bayang secara perlahan melalui proses terbenamnya matahari. Secara simbolik, Bakri mengisahkan bayang-bayang tersebut sebagai citra dan karakter orang. Citra dan karakter orang tersebut bisa kita lihat secara simbolik melalui dunia pewayangan yang terlihat melalui bayang-bayang. Misalnya, tokoh Wrekudoro yang memiliki watak adil dan bersahaja.
 
Komitmen kebangsaan
Kesetiaan pada Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila dan UUD 1945 juga merupakan tema penting yang dikonstruksi dalam tafsir Al-Qur’an bahasa Jawa ketika menjelaskan pesan Al-Qur’an. Bakri Syahid dalam Tafsir Al-Huda, di antara penafsir yang secara tegas mengintrodusir demokrasi Pancasila sebagai pilihan yang selaras dengan prinsip Islam. Hal ini dia sampaikan ketika menjelaskan makna ulil amri dalam QS. Al-Nisa' [4]: 82. Di dalam tafsirnya itu, ia menyebut demokrasi Pancasila sebagai pilihan yang tepat. Pada tempat yang lain, yaitu ketika dia menjelaskan QS. Yunus [10]: 7, dia mengkritik masyarakat sekular sembari menjelaskan bentuk negara sosialis-religius sebagai pilihan yang selaras dengan Pancasila.

Ayat ini berbicara tentang ancaman Allah kepada orang-orang yang tidak pernah berharap tentang kehidupan akhirat. Secara tekstual, ayat ini tidak berkaitan dengan politik kekuasaan, tetapi oleh Bakri dijadikan ruang untuk menyampaikan kritik atas paham sekular yang menurut dia anti religiusitas. Penjelasan Bakri di atas memuat dua poin penting. Pertama, dia menyebut negara Indonesia dengan istilah dengan “sosialis-religius”, yaitu negara yang mendasarkan pada penyatuan kebutuhan lahiriah-batiniah, dunia-akhirat, serta material-spiritual. Dalam konsep ini, negara tidak hanya memberikan jaminan kebebasan dan kebutuhan yang bersifat lahiriah atau jasmani, seperti keadilan, kemanusiaan, dan kesetaraan, tetapi juga menjamin, memberikan ruang, dan kebebasan kepada masyarakat dalam memeluk agama yang mereka yakini dan bebas menjalankannya.  

Kedua, Bakri menolak sistem negara sekular, yaitu negara yang dia definisikan sebagai negara yang hanya fokus pada urusan dunia dan tidak memberikan jaminan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat dalam menjalankan agama yang mereka yakini. Di sini, dia menolak ateisme sebagai prinsip dalam pengelolaan negara dan juga sistem negara agama di mana agama dijadikan ideologi dalam bernegara.

Peneguhan Bakri di atas, dalam konteks wacana bentuk negara, secara implisit merupakan penolakan atas konsep negara-agama integral yang dirumuskan oleh Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, dan Maulana al-Maududi, serta konsep pemisahan total negara dari agama yang dirumuskan Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein. Pandangan Bakri ini lebih dekat dengan gagasan simbiosis Islam dan negara yang memahami keduanya sebagai dua entitas berbeda tetapi tidak terpisah dan saling bersimbiosis dalam menciptakan kemakmuran dan kedamaian di masyarakat. Islam dipahami sebagai sistem nilai yang bersifat universal yang secara politik nilai-nilai tersebut berguna untuk membangun masyarakat.

Konsep sosialis religius tersebut dibangun sebagai bagian dari kecintaan Bakri terhadap negara Indonesia, negara di mana dia hidup dan bertempat tinggal. Dalam sejarah Islam, kita juga menemukan teladan atas sikap semacam ini pada sosok Nabi Ibrahim yang mencintai kota Makah dan berdoa khusus untuknya, karena anak dan istrinya tinggal di wilayah yang ketika itu gersang dan tandus (QS. Al-Baqarah [2]: 126).

Cara pandang serupa dikemukakan kiai Misbah Mustafa dalam tafsir Al-Iklil fi Ma'ani al-Tanzil. Ketika menjelaskan (QS. Al-Baqarah [2]: 126), pada Juz 10 halaman 2414, dia menjelaskan tentang pesan dari kisah tersebut. Menurut dia kecintaan pada sebuah negara atau wilayah bukan semata-mata karena sebagai tempat kelahiran, melainkan juga karena seseorang dan atau keluarga serta kerabat hidup dan bertempat tinggal di negara tersebut bersama individu dan kelompok atau masyarakat lain meski memiliki tradisi yang berbeda-beda.
 
Anti Kekerasan
Prinsip harmoni yang dipegangi oleh masyarakat Jawa juga mengandaikan tentang sikap anti kekerasan. Prinsip ini terlihat kuat dalam adagium: ngluruk tanpa bala, sugih tanpa banda, dan menang tanpa ngasorake. Oleh karena itu, kesadaran manusia Jawa menolak tindakan seseorang atau kelompok yang menggunakan cara kekerasan, baik secara fisik maupun verbal, dalam mengusung perubahan yang diinginkan.

Bakri Syahid dalam Tafsir Al-Huda banyak mengutip berbagai kearifan Jawa tersebut untuk menjelaskan pesan-pesan Al-Qur’an. Misalnya, dia mengutip konsep pepali prasojo ketika menjelaskan QS. Luqman [31]: 19; konsep pepali jer basuki mawa beo ketika menjelaskan QS. Al-Ankabut [29]: 69; konsep pepali adigang adigung adiguna ketika menjelaskan QS. Al-Syu’ara’ [26]: 57, dan pepali rukun agawe santosa, crah agawe bubrah ketika menjelaskan QS. Al-Ra’d [13]: 21. Konsep-konsep serupa melimpah jumlahnya di dalam tradisi Jawa, dan ia menjadi nilai-nilai moral yang dipegangi dalam menjaga keberlangsungan hidup yang damai.

Ala kullihal, di tangan para kiai di Jawa, Al-Qur’an ditafsirkan dengan sekaligus mendayagunakan kearifan dan nilai-nilai Jawa sebagai perangkat untuk menjelaskan pesan-pesan utama di dalamnya. Pandangan-dunia dan kearifan manusia Jawa diresepsi, diadopsi, diadaptasi, dan sekaligus ditransformasikan secara dinamis dan kreatif melalui lanskap Al-Qur’an. Tafsir-tafsir tersebut tampaknya meresapi adagium yang telah lama hidup di tanah Jawa, yaitu: Jawa digowo, Arab digarab, dan Barat diruwat. Jawa digowo artinya jangan pernah meninggalkan nilai dan tradisi baik yang telah hidup dalam kesadaran masyarakat Jawa; Arab digarab artinya segala yang datang dari Arab sebaiknya dipelajari, dimengerti dan dipahami terlebih dahulu dengan baik, sedangkan Barat diruwat artinya segala hal yang mengalir dari Barat selaiknya ditiris dan dipilah serta dipilih yang sesuai dengan nilai-nilai yang bermanfaat bagi kehidupan dan kemanusiaan.
 


$data['detail']->authorKontri->kontri

Islah Gusmian
Penulis buku “Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika hingga Ideologi”. Sekarang menjabat sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah UIN Raden Mas Said Surakarta.

Home 2 Banner

Perspektif Lainnya

Home 1 Banner