Dark
Light
Dark
Light

Deportivo Palestino, Simbol Perlawanan Palestina dari Rumput Cile

Deportivo Palestino, Simbol Perlawanan Palestina dari Rumput Cile

Perlawanan terhadap Israel dilakukan klub sepak bola, Palestino. Membawa keffiyeh ke lapangan demi identitas tanah leluhur. Klub sepak bola ini jauh lebih tua dari usia negara Israel.

 

Hari-hari Rafael Torres terasa sibuk. Warga Santiago, Cile, ini ikut turun ke jalan. Dia bergabung dengan ribuan orang lainnya dalam aksi unjuk rasa awal November lalu, untuk mengutuk serangan Israel terhadap penduduk Palestina, di Gaza

Sejak agresi Israel ke Gaza, 7 Oktober lalu, komunitas Palestina di negeri itu tak henti menggelar berbagai kegiatan. Selain unjuk rasa dan membuat konser amal, mereka juga melakukan penggalangan dana untuk dikirim ke Gaza, tanah leluhurnya. 

Torres bukanlah bagian dari komunitas itu. Sesungguhnya dia adalah penduduk asli Cile dari suku Mapuche. Selain mendiami Cile, suku ini juga tersebar di Argentina barat daya, termasuk sebagian Patagonia. Mereka memiliki bahasa sendiri yang disebut Mapudungun.

Satu yang mengikat Torres dengan persoalan serangan Israel itu karena dia pendukung klub sepak bola Deportivo Palestino – saat ini berada di peringkat keempat Liga Utama Cile. “Saya bangga dengan jersey ini. Saya juga senang karena jersey ini ada di Cile dan bukan di negara lain,” katanya.  

Deportivo Palestino sebuah anomali. Pada malam musim gugur lalu misalnya. Bendera Palestina berkibar di Estadio Municipal de La Cisterna – kandang mereka, yang letaknya sekitar 13 ribu kilometer dari konflik di Timur Tengah itu.  

Di sana, pendukungnya datang memenuhi stadion berkapasitas 8 ribu penonton itu. Mereka menyemangati tim mereka – dengan seragam dengan warna hijau, hitam, merah dan putih yang identik dengan bendera Palestina.  

Politik memang tidak pernah lepas dari klub ini – yang memiliki slogan yang mirip dengan klub Barcelona,  "lebih dari sebuah tim”. Mereka punya chant atau nyanyian yang sekaligus menjadi pernyataan sikap politik. “Palestino berusia lebih dari 100 tahun. Lebih tua dari Negara Israel,” kata Rafael Milad, salah satu suporter klub ini.  

Klub ini telah menempuh perjalanan panjang. Pada 1920-an, sekelompok orang Palestina di sana membentuk klub olahraga. Semata tujuannya agar mereka bisa berkumpul sambil bermain tenis dan sepak bola. 

Palestino bisa dianggap sebagai klub olahraga pertama yang didirikan oleh para pengungsi. Nama yang diambil sengaja untuk menunjukkan asal muasal mereka yakni dari Palestina. Sebuah negeri nun jauh di seberang lautan.

Upaya lainnya, klub olahraga ini merupakan upaya mereka membaur dengan penduduk setempat. Mereka sebagai pendatang tentu tak pernah ingin punya masalah dengan siapa pun. 

Awalnya, mereka datang sebagai pengungsi. Kelompok migran paling awal tiba pada 1885 saat terusir saat pecah Perang Krimea. Ini adalah perjalanan yang sangat melelahkan. Setelah tiba di Argentina, mereka melanjutkan perjalanan dengan pedati yang ditarik keledai untuk menyeberangi pegunungan Andes. 

Alternatif lainnya adalah melintasi Selat Magellan, melintasi Atlantik hingga Pasifik. Melelahkan tentu saja. Namun perjalanan itu harus ditempuh demi sebuah tanah yang damai dan tenang sehingga mereka tak lagi terusir. 

Klub Para Imigran

Pada awal abad ke-20, datang lagi orang-orang Arab Kristen dari kota Betlehem, Beit Jala, dan Beit Sahur.  Gelombang berikutnya tiba pada Perang Dunia I, dan gelombang lainnya terjadi setelah perang Palestina tahun 1948 dan pembentukan Israel. 

Kini diperkirakan jumlah mereka mencapai 500 ribu orang sekaligus menjadi diaspora terbesar di luar Timur Tengah. Mereka pun terbilang beruntung. Kehidupan mereka tergolong. Ekonomi – dari mereka yang kebanyakan bekerja di perusahaan tekstil terbilang mapan. Banyak dari keturunan mereka yang masuk dunia politik, 35 orang di antaranya pernah menjadi menteri atau anggota kongres.  

Seiring perjalanan waktu, status klub ini pun berubah. Mereka mengubah dirinya menjadi klub olahraga profesional.  Mereka mengikuti liga sepak bola di sana. Perubahan pun terjadi, di antaraya membuka diri bagi pemain yang bukan dari komunitas mereka.  

Prestasinya pun cemerlang. Berbagai trofi memenuhi rak piala mereka. Di antaranya mereka memenangi Liga sebanyak dua kali yakni pada 1955 dan 1978. Lalu ada juga prestasi fenomenal ketika pada 1979, mencapai semifinal di Copa Libertadores – pertarungan antar klub se-Amerika Latin.

Sempat lama tak bersinar, pada musim kompetisi 2018 Palestino merebut gelar Piala Chile tanpa tak terkalahkan. Ini adalah sebuah pencapaian luar biasa setelah 40 tahun tanpa gelar besar. 

Siapa pun tentu senang. Termasuk Presiden Palestina, Mahmoud Abbas. Pada November 2018, dia pun menyatakan bahwa kemenangan tersebut telah membawa kebahagiaan besar bagi rakyat negeri Palestina.

“Palestino, seperti tim nasional kita, mewakili seluruh rakyat Palestina. Ketabahan rakyat kita, baik di tanah air maupun di diaspora, menunjukkan bahwa Palestina ada. Palestino lebih dari sekedar tim sepak bola,” tulis Abbas kala itu. 

Memang demikian adanya. Bagi pendukung klub ini, terutama mereka yang memiliki darah Palestina, setiap kemenangan teramat berarti. “Menjadi kegembiraan kecil bagi kami,” kata Miguel Cordero, seorang pengacara asal Palestina.

Pendukung mereka pun terbilang fanatik. Saat klub bertanding di kandang lawan, para penggemar berkumpul untuk menonton bersama di sebuah klub -- yang memiliki sekitar 4.600 anggota. Sebuah tempat yang unik. Selain memajang peta bersejarah Palestina dan mural dengan sosok pemimpin Yasser Arafat, di sana juga mengalun irama padang pasir sebagai musik latar. 

Francisco Munoz, 48, adalah salah satu dari penggemar yang kerap datang ke sana. Dia sering datang dengan berpakaian layaknya "syekh" Arab.

"Saya pernah melihat tentara Israel membawa orang-orang keluar dari rumah, tanpa peringatan dan membunuh mereka. Di sana saya mulai bersimpati terhadap gerakan mereka,” katanya.​​​​​​​

Palestino adalah Palestina​​​​​​​

Palestino tak sepi dari gerakan perlawanan. Pada  2014, klub mengganti penulisan angka  1 di belakang kaos mereka dengan gambar peta saat negeri itu belum diserobot Israel. Aksi ini tentu saja membuat komunitas Yahudi di sana berang. Mereka pun mengajukan protes.

Hasilnya, Palestino diharuskan membayar denda uang. Namun yang terjadi penjualan t-shirt meningkat. Yang lebih penting lagi,  mereka pun banyak mendapat simpati sebagian besar penduduk non-Palestina. 

Di lain waktu, para pemain masuk ke lapangan dengan mengenakan keffiyeh, penutup kepala tradisional yang lazim dikenakan pria Timur Tengah.  “Simbol Palestina, seperti keffiyeh, menunjukkan hubungan kami dengan Tanah Air. Kami harus bersatu melawan kesulitan,” kata Presiden klub Jorge Uauy. ​​​​​​​

Uauy menegaskan, ide memakai keffiyeh berawal dari pemainnya sendiri. “Ini menunjukkan kepada dunia bahwa para pemain kami memahami arti bermain untuk Palestina; bahwa kami lebih dari sekedar klub sepak bola. Itu membuat saya sangat bangga.”

Cara menunjukkan rasa cinta pada Palestina, dilakukan dengan berbeda oleh Nicola Shahwan. Pria keturunan imigran Palestina di Cile, yang ditunjuk menjadi pelatih tim nasional Palestina, pada 2002, membawa para pemain keturunan Palestina untuk bermain membela negeri leluhurnya.  

Langkah ini berlangsung hingga beberapa tahun kemudian. Para pemain keturunan Palestina – meski lahir dan tumbuh di Cile, memutuskan untuk membela tanah leluhurnya. Mereka adalah Alexis Norambuena, Jonathan Cantillana, dan Daniel Kabir Mustafa. Gaya permainan mereka langsung melengkapi kekuatan fisik para pemain lokal. 

Mereka memang bukan kacang yang lupa pada kulitnya.  Klub ini juga ikut mendanai  sekolah sepak bola di beberapa wilayah Palestina. Pada 2019 lalu, mereka juga pernah melakukan eksperimen luar biasa dengan menghadirkan penonton di Ramallah secara virtual. 

Aksi para penonton itu direkam beberapa pekan sebelumnya, lalu dimunculkan di stadion saat klub Palestino menghadapi lawan-lawannya. Dengan demikian, para pemain akan “dipertemukan” untuk pertama kalinya dengan para suporter Palestino yang berada di benua yang teramat jauh.  ​​​​​​​

Palestino memang bukan sekadar klub sepak bola tapi telah menyuarakan pernyataan politik yang kuat tentang Palestina. “Ini adalah simbol kuat yang bahkan tanpa disengaja, menjadikan Palestino sebagai klub politik di tingkat global,” ujar Rafael Torres.


$data['detail']->authorKontri->kontri

Irfan Budiman
Mantan wartawan dan penulis lepas di sejumlah media.

Home 2 Banner

Perspektif Lainnya

Home 1 Banner