Polarisasi yang keras akibat benturan ideologis kelompok Islam dua pemilu lalu nyaris tak terdengar. Ditambah faktor lainnya, pragmatisme dan oportunisme menjadi pilihan tokoh Islam politik dalam pemilu kali ini.
Pada pemilihan presiden 2024, kelompok Islam masih menjadi unsur penting yang mewarnai dinamika politik nasional. Kalangan politisi tetap menganggap kelompok ini sebagai kekuatan penentu. Semua kandidat berusaha menghadirkan identitas keislaman tak hanya si calon tapi juga orang-orang di belakang layar.
Pasangan calon (paslon) nomor 01, identitas keislaman melekat secara langsung pada kandidat ini. Anies-Cak Imin berangkat dari latar belakang Islam yang dominan. Anies adalah mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang juga sempat menjabat rektor Universitas Paramadina, yang didirikan tokoh muslim Nurcholis Madjid.
Selain masih keturunan dari salah satu pendiri NU, KH Bisyri Syansuri, Cak Imin pernah menjabat Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Slepet sarung yang muncul dalam berbagai konten media sosial tak lain merupakan cara Cak Imin menampilkan identitas keislamannya sebagai seorang santri NU. Bertemu dengan tokoh-tokoh NU tak bisa dipungkiri merupakan strategi pemenangan di pilpres 2024.
Kubu paslon 03, justru cawapres Mahfud MD yang punya identitas keislaman yang kuat. Lulusan Universitas Islam Indonesia (UII) ini dikenal sebagai salah satu tokoh NU yang juga pernah menjadi aktivis HMI. Selama ini, cenderung tidak ada keraguan apabila Mahfud dikatakan sebagai tokoh intelektual muslim. Rekam jejak pemikiran dan latar belakang sosial budayanya memang menunjukkan identitas keislaman yang dominan pada diri Mahfud.
Di kancah pilpres, ketika memperkuat argumentasinya tidak jarang Mahfud menampilkan identitas keislamannya lewat diksi maupun kutipan yang ia ambil dari Al-Quran dan Hadits. Sosok mantan Menko Polhukam itu seolah menambal identitas keislaman Ganjar, calon presidennya, yang memang lebih dikenal sebagai nasionalis. Semasa menjadi aktivis dia aktif di GMNI. Karier politiknya juga dibangun lewat PDIP yang pedoman politiknya nasionalis.
Paslon 02, jelas berbeda. Prabowo-Gibran sama-sama tidak mempunyai identitas keislaman sekuat Anies-Cak Imin dan Ganjar-Mahfud. Keduanya bisa dibilang adalah representasi kelompok nasionalis sekular dalam peta politik Indonesia. Prabowo yang berlatar belakang militer yang sejak lama lebih diasosiasikan sebagai prajurit dari kelompok nasionalis.
Sedangkan Gibran jelas bukan pula perwakilan kelompok Islam. Karier politiknya dilalui di PDIP yang notabenenya partai nasionalis. Gibran juga tidak berasal dari kelompok Islam seperti NU atau Muhammadiyah, meski dalam beberapa kesempatan juga bersinggungan dengan kelompok Islam tradisional. Gibran lebih tepat disebut sebagai representasi kelompok nasionalis perkotaan.
Dengan kondisi seperti itu, identitas keislaman paslon ini diwakili lewat kehadiran orang-orang yang di belakang layarnya. Setidaknya ada tiga tokoh Islam yang menjadi pendukungnya, yaitu Habib luthfi bin Yahya, KH Misbahul Munir Kholil, dan Gus Miftah. Ketiga tokoh ini penting untuk memperkuat identitas Islam di pasangan Prabowo-Gibran yang tidak sehijau dua pasangan lainnya.
Polarisasi dan Pragmatisme Islam Politik
Meski tak bisa dilepaskan dengan identitas Islam, namun polarisasi dalam pemilu kali ini terbilang kecil. Jelas berbeda dengan yang terjadi pada dua pemilu sebelumnya. Kala itu, pada 2014 dan 2019, terjadi polarisasi yang salah satunya penyebabnya didorong oleh eksploitasi berlebihan terhadap identitas keislaman.
Dua kubu yang bertarung saat itu, yakni kelompok Joko Widodo dan Prabowo, memakai agama atau identitas Islam untuk menyerang lawan politik. Berbagai kampanye yang kedua kelompok ini lakukan secara terbuka menyasar identitas keislaman masing-masing kandidat.
Prabowo dianggap sebagai representasi kelompok Islam garis keras karena beberapa tokoh yang selama ini diberi label demikian seperti Habib Rizieq bin Shihab merapat ke Prabowo. Sedangkan Jokowi, terutama pada 2019 -- dicap kafir dan dipertanyakan keislamannya karena punya hubungan dekat dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang terlibat kasus penistaan agama.
Kalaulah kali ini adem, setidaknya ada empat alasan. Pertama, tiga kandidat yang bertarung kali ini membuat konsentrasi masyarakat yang tidak lagi hanya vis a vis di antara dua kubu. Situasi yang berbeda terjadi pada 2014 dan 2019, yang membuat pemilih terbagi menjadi dua tipe, yaitu pemilih Jokowi atau Prabowo.
Karena pilihannya hanya dua, gesekan antar kelompok meningkat tajam. Apalagi kala itu hoaks dan sentimen agama beredar sangat masif. Masyarakat mau tidak mau seperti dipaksa untuk saling berhadap-hadapan karena pilihan politik.
Kedua, meleburnya kelompok yang kalah dalam pilpres 2019 menjadi bagian pemerintahan Jokowi, diakui atau tidak berdampak pada terurainya polarisasi di masyarakat. Setelah Prabowo dan pasangannya Sandiaga Uno, masuk kabinet gesekan di akar rumput relatif menurun intensitasnya.
Bergabungnya Prabowo ke kabinet berpengaruh dalam meredakan ketegangan yang di dua pemilu sebelumnya begitu jelas terasa. Apalagi diperkuat dengan kebijakan politik Jokowi yang sangat keras menjinakkan berbagai kelompok Islam yang menjadi aktor kunci terhadap polarisasi masyarakat, seperti FPI dan HTI.
Ketiga, kelompok Islam yang berbeda pilihan pada dua pilpres sebelumnya kini justru menyebar merata ke tiga pasangan. Kubu Anies-Cak Imin didukung oleh Habib Rizieq bin Shihab, Din Syamsudin, dan KH. Kholil As'ad Syamsul Arifin.
Di kubu Prabowo-Gibran ada Habib Luthfi bin Yahya, Nusron Wahid, Gus Miftah, dll. Sedangkan di kubu Ganjar-Mahfud ada Gus Muwafiq, Yenny Wahid, KH Ahmad Muhtadi Dimyati atau Abuya Muhtadi. Menyebarnya dukungan para tokoh Islam ke seluruh kandidat berpengaruh pada keterbelahan masyarakat yang tidak sekeras pada dua pemilu sebelumnya.
Keempat, pada pilpres kali ini pragmatisme lebih berperan ketimbang pertimbangan ideologis dari berbagai kelompok Islam atau perorangan yang mendukung paslon tertentu.
Hal itu bisa dilihat dari persebaran dukungan para tokoh Islam saat ini dibandingkan dengan dua pemilu yang lalu. Di pilpres 2024, mereka yang pernah berseteru, justru malah masuk dalam satu kelompok. Di kubu Anies-Cak Imin ada Habib Rizieq bin Shihab dan PKS yang di tahun 2014 dan 2019 berseberangan dengan Cak Imin dan sebagian besar warga NU.
Bergabungnya Cak Imin sebagai tokoh yang selalu mengklaim sebagai perwakilan NU dengan PKS, secara ideologis cukup mengagetkan. Latar belakang keislaman Cak Imin dengan PKS, selama ini acapkali saling berbenturan. Keduanya punya trajektori pemikiran dan ideologi yang saling menegasikan satu sama lain. Kalau bukan karena kepentingan pemilu, koalisi antara Cak Imin dengan PKS rasanya sulit untuk terwujud.
Di kubu Prabowo-Gibran pun tidak berbeda jauh. Selain didukung oleh tokoh-tokoh muslim yang moderat terdapat Haikal Hassan (Babe Haikal), yang pada masa lalu bersama Habib Rizieq bin Shihab dan berbagai tokoh lain mengorganisasi Aksi Bela Islam.
Di dua pilpres terakhir, Babe Haikal konsisten mendukung Prabowo sekaligus konsisten mengkritik Jokowi secara terbuka. Di pemilu 2024, Babe Haikal tetap mendukung Prabowo di saat Habib Rizieq bin Shihab justru mendukung Anies-Cak Imin. Babe Haikal malah mendukung Prabowo yang secara terang-terangan didukung oleh Jokowi yang di dua pemilu terakhir ia serang habis-habisan.
Bersatunya mereka yang dulu berseberangan dan berpisah jalannya mereka yang dulu satu barisan, mengindasikan bahwa pilihan politik para tokoh Islam tidak selalu bersifat ideologis. Pilihan politik yang diambil juga sangat mungkin dipengaruhi oleh kepentingan personal yang bersifat pragmatis dan oportunis.
Berbagai tokoh mendasari pilihannya juga bisa karena dipengaruhi faktor kesamaan kepentingan personal dengan calon yang didukung, bukan hanya karena kesamaan nilai dan gagasan. Di pilpres 2024, pragmatisme dan oportunisme ini nampak lebih terang dibanding dua pemilu sebelumnya.
Willy Vebriandy
Alumni UIN Sunan Kalijaga. Penulis lepas. Salah satu penulis dalam Antologi Esai berjudul, Menatap Lukisan Gus Dur (Yogyakarta: 2021).