Dark
Light
Dark
Light

Hari Santri dan Literasi Nusantara

Hari Santri dan Literasi Nusantara

Menyambut Hari Santri 2024 sudah selayaknya kita pekikkan sebagai ‘hari cinta kasih’ (yaumul marhamah). Inilah gerbang memasuki ‘hari kemenangan’ (yaumul fath) bagi negeri kita untuk kian mengukuhkan kedamaian, persaudaraan, persatuan dan pencerdasan. Ini juga menjadi momen yang harus segera dideklarasikan. Di Hari Santri ini juga kita mesti pulang dan kembali pada salah satu ‘pilar’ dalam kemajuan berbangsa, yaitu penguatan literasi.

Tantangan makin menguatnya ‘militansi kalap’ serta meluapnya fenomena ‘kematian kepakaran’  justru semakin membuktikan bahwa gerakan literasi yang kaffah harus terus ditumbuhkan dengan penuh militan. Kita mesti cembali menumbuhkan gerakan literasi yang digali dan bermata air dari tradisi santri. Dunia literasi sebenarnya bukan barang aning bagi santri. Karenanya, jika tradisi ini kembali ditumbuhkan niscaya para sangria akan memiliki ketahanan mental dan pikir dalam menghadapi segala tantangan yang ada.

Saat ini mumcul fakta di lingkungan keagamaan, yang mempertentangkan antara nasionalisme dengan agama. Bahkan banyak kelompok-kelompok keagamaan yang menolak nasionalisme dan malah menyebutnya sebagai ‘kafir’ atau ‘thoghut’.

Inilah fakta mengerasnya identitas. Ada tiga pola, yakni pendangan positif, negatif, dan destruktif. Untuk pola yang kedua tampak pada kelompok-kelompok keagamaan yang mengukuhkan identitasnya dengan menafikan, menyingkirkan, dan memberantas yang lain. Logika seperti ini dikembangkan berdasarkan apa yang disebut Jacques Derrida sebagai prinsip ”oposisi biner” atau oleh Michel Foucault disebut sebagai ”logika strategis”. Contonya, modern-tradisional, superior-inferior, mayorita-sminoritas, Barat-Timur, dan Islam-kafir (sesat).

Cara pandang seperti itu akhirnya melahirkan pengerasan identitas primordial dan sentimen sektarian. Fakta ini sesungguhnya merupakan salah satu permasalahan kebudayaan yang mengemuka hampir merata di tiap wilayah negeri. Kita kerapkali menyaksikan konflik sosial berbasis etnis, keagamaan atau perbedaan cara dan orientasi hidup. Konflik-konflik itu kerapkali juga diwarnai oleh sentimen yang menolak kepentingan kebangsaan dan lebih mengunggulkan kepentingan kelompok atau golongan sendiri.

Militansi Nusantara

Merujuk pada cara berpikir khas Nusantara, kita bisa menunjukkan teks-teks sastra Jawa pada abad ke-11-12 M, atau bahkan pada mitos-mitos yang kita tidak tahu persis dari abad berapa muncul di Bumi Pertiwi. Dalam khazanah Nusantara, kita menyebutkan adanya “individu-individu hebat” semisal Mpu Kanwa dengan Arjunawiwaha-nya di abad ke-11, Mpu Sedah dan Panuluh dengan Bharatayudha-nya di abad ke-12. Ada juga Mpu Tantular dengan Arjunawijaya-nya di abad ke-13, Yosodipura yang menyadur Dewaruci di abad ke-18, serta Mangkunegara IV dengan Pakem Pedalangan dan Ronggowarsito dengan Serat Pustaka Rajapurwa-nya.

Dari banyak kajian keindonesiaan ini, fakta-fakta menguatnya sektarian dan identitas sejatinya berbalik fakta dengan apa yang terjadi di Indonesia.

Semenjak dahulu kala, dalam konteks Islam di Nusantara sudah memperlihatkan wajah yang arif dan damai. Pertikaian memang terjadi, namun hanya lokal dan regional. Pertikaian itu juga tidak menimbulkan tragedi nasional seperti yang terjadi di Timur Tengah seperti yang terjadi saat ini. Konflik-konflik yang pernah terjadi di Nusantara tersebut justru menumbuhkan sikap dewasa dan matang seperti secara khusus kita lihat dalam perjalanan dakwah keislaman di bumi Nusantara ini.

Para pendakwah Islam sejak dulu tidak serta merta melakukan ‘pembumihangusan’ terhadap kearifan-kearifan lokal yang sudah lama berserakan di sini. Artinya, mereka tidak menganggap bahwa ‘warisan nasional’ yang ada di bumi Nusantara ini perlu dihancurkan lantas diganti secara frontal dengan simbol-simbol keislaman yang literalis. Ini jelas jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh ISIS, Boko Haram atau Asysyabab saat menguasai suatu daerah. Saat mereka menguasai daerah itu, mereka langsung melakukan penghancuran terhadap warisan-warisan sejarah yang ada bahkan kuburanpun menjadi sasaran penghancuran.

Nah, dari perjalanan pendakwah Islam di bumi Nusantara ini membuktikan tidak adanya pertentangan antara nasionalisme dengan ajaran Islam. Mereka menyadari betul bahwa untuk bisa berdakwah, dibutuhkan tanah air yang kondusif.

Para ulama di Nusantara dikenal sebagai cendekiawan yang berwawasan luas, penulis yang kreatif dan produktif serta terlibat dalam berbagai aspek kehidupan sosial, politik, budaya dan spiritualitas. Mereka adalah agen-agen perubahan. Contohnya Hamzah Fansuri, Bukhari al-Jauha, Syamsudin al-Sumatrani, Nuruddin al-Raniri atau Abdul Rauf al-Singkili. Mereka bukan saja telah meletakkan fondasi dakwah yang moderat, tetapi juga mampu memberikan bukti nyata bagi perjalanan historiografi dakwah Islam di Nusantara yang menampakkan wajah Islam yang jauh dari sikap dan tindakan radikal.

Hasilnya, bisa kita lihat hingga sekarang. Misalnya nama-nama pesantren  yang justru dikenal karena nama desa atau daerahnya seperti Pesantren Tebuireng, Pesantren Krapyak, Pesantren Lirboyo, Pesantren Sarang, Pesantren Termas, Pesantren Langitan, Pesantren Buntet, Pesantren Suralaya, Pesantren Cipasung, dan masih banyak lainnya. Ini jelas berbeda dengan munculnya pesantren-pesantren dadakan yang dibangun oleh kelompok-kelompok radikal-puritan yang menonjolkan nama dan identitas kearaban. Bahkan sama sekali tidak menghiraukan nama desa atau daerahnya, Mereka menganggap yang terpenting buat mereka adalah nama-nama yang dipandang ‘Islami’. Daerah tempat berpijak tidaklah penting. Yang terlihat di kalangan kelompok model kalap seperti ini adalah penonjolan ukhuwan Islamiyah semata, serta meniadakan ukhuwan wathoniyah dan ukhuwah insaniyah.

Beranjak dari sinilah, kita bisa simpulkan bahwa sesungguhnya Islam di Indonesia tidak mempunyai akar radikal. Munculnya radikalisme dan terorisme merupakan hasil adopsi kultur keagamaan yang datang dari luar. Katakanlah, Islam yang radikal lebih merupakan “produk impor” laiknya sebuah produk yang diimpor dari luar negeri dan kemudian dijajakan di dalam negeri. Arus komunikasi global dewasa ini yang memungkinkan orang begitu mudahnya menyerap faham-faham luaran menjadi fakta adanya pergulatan “model baru” dalam memaknai dan menindaki ajaran Islam.

Ini kembali menegaskan para ulama di Nusantara sedari dulu menyadari sepenuhnya bahwa setiap sistem perubahan tampak mesti selalu berangkat dari ruang lokalitas. Meminjam istilah intelektual muslim asal Maroko, Muhammad Abed Al-Jabiri, perlu adanya “al-tajdidu min al-dhakhil”, yakni perubahan yang berangkat dari tradisi kita, bukan dengan meminjam tradisi orang lain.

Sikap moderat  ala Islam Indonesia ini sudah saatnya pula diekspor ke manca negara khususnya ke Timur Tengah. Kita lihat di Timur Tengah menunjukan ketidakberimbangan peranan ulama antara ilmu yang dimiliki dengan peranannya kepada kemaslahatan orang banyak. Akibatnya, ulama tidak bisa memberikan kontribusinya disaat terjadi konflik di tengah masyarakat. Ulama di Timur Tengah hebat-hebat. Namun, kiprah mereka biasa-biasa saja, bahkan terlihat ibarat ‘macan kertas’, karena hanya lihai berkhotbah atau menulis berjilid-jilid kitab, namun lembek di lapangan.

Jangan heran pula bila di negeri-negeri Timur Tengah seringkali terjadi pertumpahan darah. Kejadian di Timur Tengah menunjukkan bahwa ternyata kesamaan dalam agama belum atau tidak mampu menyatukan masyarakatnya. Islam di Timur Tengah ternyata berpotensi menimbulkan konflik akibat salah tafsir yang kebablasan.

Demikianlah, pembuktian bahwa para ulama kita punya peran yang jauh lebih baik. Semangat dan peranan ini  yang ingin kita tularkan. Ulama-ulama di negeri kita mampu meredam konflik yang terjadi di daerahnya seperti banyak kasus konflik baiik horisontal maupun vertikal yang pernah mewarnai di beberapa daerah Indonesia. Kiai-kiai di negeri kita ini mempunyai modal semangat pengabdian yang tinggi tanpa harus bertakik-takik dengan retorika keilmuan seperti ulama di Timur Tengah. Dengan bekal ilmu yang kadang biasa-biasa saja, tidak seperti jika dibandingkan dengan ulama di Timur Tengah dan juga dengan militansi bermata air kearifan warisan leluhur jaringan keulamaan Nusantara, para kiai kita sigap tergerak untuk mendirikan pesantren yang manfaatnya dapat dirasakan masyarakat dan negara.

Penguatan Literasi Santri

Kita tak bisa menampik kalau saat ini negeri kita ‘panen’ orang-orang berpendidikan dengan berbagai levelnya. Banyak di antaranya yang lulusan universitas bergengsi baik dalam maupun luar negeri dengan titel mentereng. Bangsa kita sudah banyak melahirkan kaum terpelajar berseiring dengan semakin membaiknya kesejahteraan. Fakta ini tentu membanggakan. Kemajuan suatu bangsa memang tidak bisa dilepaskan dari kesadaran rakyatnya untuk menuntut ilmu.

Fakta lain juga menunjukkan betapa kesadaran beragama menunjukkan lonjakan yang massif. Rumah ibadah senantiasa penuh. Banyak yang berlomba mendirikan  masjid dengan segala kemegahannya. Kesadaran beragama kemudian kerapkali dilahirkan dengan ‘identitas’  berpakaian dan bertatatutur. Ini bisa kita lihat di ‘dunia nyata’ yang langsung bertatap muka dengan kita.  Begitupun, kalau kita lihat di ‘dunia maya’ seperti medsos yang riuh komentar nitizen yang ‘agamis’. Dalil-dalil keagamaan berhamburan demi menyikapi isu yang muncul. Bahkan untuk celotehan dan juga makian tak jarang melampirkan ayat-ayat suci.

Sebanding dengan peningkatan pendidikan dan keberagamaan, marak pula hoaks dan ujaran-ujaran kebencian (hate speech) terlebih untuk urusan yang bersinggungan dengan politik. Dalam satu penelitian menunjukkan justru di kalangan terdidik dan beragama inilah yang mudah termakan hoaks dan terbanyak melontarkan ujaran-ujaran kebencian. Radikalisme bersinggungan dengan politik identitas sehingga suasana makin mengeras.

Inilah ‘paradoks’ di era milenial ini yang tengah mewarnai kehidupan bermasyarakat dan berbangsa di negeri kita. Kita tentu heran mengapa ini menggelayuti kalangan yang sebenarnya diharapkan punya ketahanan (resilience) dari dentuman informasi yang saling silang.  Dalam konteks beragama, lagi-lagi terlihat agama hanya diletakkan sebagai ‘energi’  yang tidak lagi berjiwa rasional. Alih-alih mencerahkan, justru mengentalkan kekerasan dan kegaduhan. Perilaku keagamaan telah berubah otoriter dan lepas dari fungsi humanis.

Keberagamaan seperti ini mengungkapkan pula bahwa para elit agama dan kaum terpelajar belum mampu menjadi penopang bagi hidupnya demokrasi yang sehat di Indonesia. Mereka juga belum mampu menjadi penggerak literasi pada kaumnya supaya mampu ‘saring dan sharing’  informasi yang bermutu dan mencerahkan. Mereka malah mengeksplotasi ‘akal budi’ dan keberagamaan untuk melahirkan militansi yang membuta.

Literasi di kalangan santri dan pesantren sejatinya bukan sesuatu yang baru. Ini sudah menjadi tradisi yang turun-temurun hingga kini. Pesantren-pesantren ini akan tetap menjaga tradisi sembari terus melakukan pembaharuan sesuai dengan kebutuhan. Ini sesuai dengan prinsip;”Al-Muhafadztu ‘ala al-Qodimi al-Sholih wal akhdzu min jadid al-ashlah’. Sungguh dengan prinsip ini santri terbukti mampu menjaga marwahnya dengan meningkatkan keilmuan, kepekaan dan kekritisannya sehingga mereka tidak mudah terbujuk rayu atau termakan oleh berita-berita yang belum jelas kebenarannya.

Pesantren model ini mempunyai metode tersendiri dalam mengajarkan agama Islam terhadap santri, yaitu metode sorogan dan bandongan. Kedua istilah ini sangat populer di kalangan pesantren, terutama yang masih menggunakan kitab kuning sebagai sarana pembelajaran utama.

Kedua metode tersebut kerap digunakan santri untuk menggali ajaran-ajaran Islam melalui kitab kuning. Secara bahasa, sorogan berasal dari kata Jawa sorog, yang artinya menyodorkan. Dengan metode ini, berarti santri dapat menyodorkan materi yang ingin dipelajarinya sehingga mendapatkan bimbingan secara individual atau secara khusus.

Dengan menggunakan metode sorogan, setiap santri akan mendapat kesempatan untuk belajar secara langsung dengan ustadz atau kiai tertentu yang ahli dalam mengkaji kitab kuning, khususnya santri baru dan santri yang benar-benar ingin mendalami kitab klasik. Dengan metode ini, kiai tersebut dapat membimbing, mengawasi, dan menilai kemampuan santri secara langsung. Metode Ini sangat efektif untuk mendorong peningkatan kualitas santri tersebut.

Adapun metode bandongan atau bandungan, istilah ini dalam bahasa Jawa, berasal dari kata bandong, yang artinya pergi berbondong-bondong. Hal ini karena bandongan dilangsungkan dengan peserta dalam jumlah yang relatif besar. Dalam menggunakan sistem ini, sekelompok murid yang terdiri antara 5 sampai 500 orang mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, menerangkan, dan sering kali mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Setiap murid memperhatikan bukunya sendiri dan membuat catatan-catatan baik arti maupun keterangan) tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit.

Di pesantren, berbagai bidang ilmu keagamaan yang bukan hanya mengisi ‘hati’ santri, tetapi juga ‘kepala’ santri. Ilmu-ilmu spiritua; seperti tasawuf diajarkan secara intensif dengan banyak kitab karya para ulama mu’tabar. Demikian halnya ilmu yang mengajak santri untuk mau berpikir secara logis dan jernih juga diajarkan misalnya melalui ilmu mantiq. Ilmu mantiq atau logika yang diajarkan di pesantren adalah ilmu yang sama tuanya dengan keberadaan pesantren di Indonesia. Tradisi yang berlaku di dunia pesantren Indonesia menempatkan logika sebagai ilmu yang harus dikuasai, setelah terlebih dahulu menguasai berbagai ilmu pokok.

Ilmu pokok yang dimaksud adalah ilmu nahwu-shorof, ilmu fikih, ilmu tauhid hingga ilmu sastra seperti ilmu arudh. Ilmu-ilmu ini masih ditambah dengan berbagai bacaan ‘suplemen’  yang akan memberikan ‘gizi’  lebih sehat bagi stamina santri dalam berpikir, bersikap dan bertindak secara bijaksana. Dengan tradisi tersebut akan menghasilkan para santri yang cermat dalam membaca dan mendalami keilmuan. Disamping itu, dengan tradisi pengajaran model tersebut melahirkan sikap keberagamaan yang terbuka, toleran dan saling menghomati.

Akhirnya, mereka yang tercerahkan adalah mereka yang gigih kembali ke literasi. Literasi mampu membuka ‘syaraf’ ekstrim untuk dicairkan dan diluruskan kembali agar tidak mengalami penyumbatan pembuluh kesadaran kritisnya. Inilah insan-insan berkualitas organik yang akan menabur kearifan dan kedamaian. Mereka ini pula yang akan mampu mengabdi pada kebajikan berbasis keilmuan. Dari sinilah, lanskap-lanskap dan wajah masa depan Indonesia ditentukan. Selamat Hari Santri untuk Indonesia cerdas dan damai.


$data['detail']->authorKontri->kontri

Soffa Ihsan
Peneliti dan Penggiat Literasi Eksnapiter Rumah Daulat Buku (RUDALKU)


Editor: Fajar WH
Home 2 Banner

Perspektif Lainnya

Home 1 Banner