Di Jogjakarta, seratus tahun lalu, Hamka masih muda berusia 16 tahun mendapat pelajaran-pelajaran (kursus) penting dari tiga guru: HOS Tjokroaminoto, RM Surjopranoto, dan H Fachruddin. Ia mendalami masalah agama dan diajak menanggapi jiwa zaman.
Hamka belajar serius sambil mengamati tiga panutan dan pemikiran Islam. Mereka pun penggerak dakwah, politik, buruh, dan pers. Kedatangan ke Jogjakarta membuat Hamka makin melek kolonialisme, Islam, dan album ideologi abad XX.
Hamka (1951) mengenang Tjokroaminoto: “Kursus jang beliau berikan kepada kami itulah jang kemudian beliau djadikan buku.” Kita mendapat warisan buku ikut menentukan sejarah Indonesia: Islam dan Sosialisme. Hamka memiliki kesan kuat saat mengikuti kursus meski sebentar: “Tjokroaminoto menaruh perhatian atas pemuda ini (Hamka) karena diantara kawan-kawannja, dia jang lebih terbuka hatinja beladjar, mau bertanja dan sungguh menjalin. Kesukaannja membatja-batja buku dan surat kabar rupanja besar faedahnja baginja dimasa itu hingga dia dapat menangkap keterangan-keterangan jang beliau berikan. Diterangkannja lebih dahulu teori-teori Marx dengan tjara jang populer kemudian didjelaskannja pula adjaran Islam setjara luas.”
Pada awal abad XX, para pemikir dan pemimpin gerakan Islam memang bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran Marx. Mereka melakukan penerimaan dan penolakan dengan rujukan argumentasi sesuai situasi di tanah jajahan. Kenangan dari Hamka mengantar kita masuk dalam buku berjudul Islam dan Sosialisme.
Tjokroaminoto menjelaskan: “Djadi di dalam paham sosialisme berakar angan-angan (pikiran) jang nikmat.” Ia mencantumkan masalah “pertemanan, musahabah, kekancaan.” Pembahasaan lain untuk bertentangan dengan individualisme: “pertemanan” dan “persahabatan”. Sosialisme itu “satoe oentoek semoea dan semoea boeat satoe.”
Sejak awal pendirian Sarekat Islam, Tjokroaminoto tampil sebagai pemimpin fasih dalam bicara dan mengungkapkan ide-ide. Pada 1913, kongres di Solo memunculkan seruan besar mengenai “kerakyatan”. Uraian-uraian masa 1920-an memiliki kaitan dengan peran Tjokroaminoto di SI babak awal di Solo: “Ketika Tjokroaminoto datang dan akan memasuki ruang kongres, dia disambut dengan hebatnya berdasarkan ukhuwah islamiah. Dia ‘dibopong’ sampai ruang pertemuan” (Anhar G, HOS Tjokroaminoto, 1985). Kita mengenang gejolak dakwah dan politik Islam awal abad XX.
Pada saat memberi kursus dan menguraikan dalam kitab, Tjokroaminoto mendasarkan ide-ide besar dan dunia dan berpatokan Islam. Ia menjelaskan: “Tjita-tjita sosialisme di dalam Islam itoe tidak koerang dari tiga belas abad oemoernja dan tidak bisa dikatakan moentjoel dari pengaroeh bangsa Eropa.” Islam menjadi suluh terbesar dan terpenting dalam menjelaskan sosialisme ketimbang “terjebak” dalam pemikiran-pemikiran besar Eropa berdatangan ke tanah jajahan.
Penerimaan dan pembesaran ide-ide sosialisme tampak pula dalam biografi Semaoen. Sosok pernah berjalin dengan Sarekat Islam tapi melakukan perlawanan terhadap tokoh-tokoh dan keputusan-keputusan di Sarekat Islam. Pada 1919, ia menjelaskan kondisi tanah jajahan: “Tahun 1917, Hindia sakit perang. Ikhtiar kita sosialisten tambah keras musuh kita tambah marah dan ngamoek. Hindia sakit, Hindia koerang makan, rakjat miskin banjak jang mati sebab sakit…. Penghabisan tahun 1918 tambah soekar keadaan di Hindia, tambah besar kesoesahannja rakjat, kaoem boeroeh, kaoem tani.”
Pada tahun-tahun dan siasat berbeda, Tjokroaminoto dengan kursus dan penerbitan kitab Islam dan Sosialisme memberi penerangan dalam naungan Islam. Ia tak sealur atau selaras dengan pengungkapan sosialisme seperti digerakkan Semaoen dan “kaum kiri” masa 1920-an.
Penjelasan disampaikan: “Adapoen jang medjadi dasar pengertian sosialismenja Nabi Moehammad jaitoe kemadjoean peri-keoetamaan dan kemadjoean boedi-pekerdjaan rakjat. Sepandjang kejakinan saja, tiap-tiap sosialisme jang sedjati tidak akan tertjapai selama-lamanja, kalau tidak dengan kemadjoean rakjat jang demikian itoe. Tiap-tiap haloean jang menoedjoe maksoed hanja memenoehi nafsoe kasar (kesenangan harta benda), selamanja tidak akan dapat menghasilkan perdamaian dan sosialisme sedjati.”
Pada masa 1920-an, gerakan dakwah dan politik makin mendapat tekanan dari pemerintah kolonial. Tjokroaminoto pun sadar mendapat tekanan dan hukuman dari pemerintah kolonial. Ia pun mengerti diserang oleh pelbagai pihak: golongan-golongan berseberangan dengan Sarekat Islam atau berbeda corak berdakwah. Tjokroaminoto berhitung dampak dari penjelasan sosialisme melalui pidato dan buku.
Anhar menerangkan situasi genting masa 1920-an: “Tidak berhasilnya PKI dalam usahanya untuk ‘memerahkan’ Sarekat Islam, mendorong golongan ini meningkatkan usahanya untuk menghadapi Sarekat Islam. Ini dibuktikan dengan serangan-serangan yang dilakukan oleh Semaoen kepada Sarekat Islam.”
Di Jogjakarta dan pelbagai kota, pemajuan dakwah dan kesadaran politik umat Islam dalam persinggungan ideologi-ideologi besar. Kita mulai mengerti kehadiran Hamka di Jogjakarta saat mengikuti kursus Tjokroaminoto dalam beragam sengketa ide dan persaingan perkumpulan (politik).
Di laju Sarekat Islam, Tjokroaminoto berseru atas nama pemimpin: “… maka sekalian anggota dengan kemaoean sendiri bernjanji dengan soempah bahwa mereka itu akan madjoe kepada perboeatan jang soetji, madjoe akan mentjari kepandaian, madjoe menoedjoe perboeatan jang benar, madjoe menoedjoe perboeatan oentoek menjempoernakan ilmoe.” Seruan-seruan bermaksud “mentjapai sosialisme jang sedjati, oentoek mentjapai tjita-tjita”.
Kita sejenak mengenang HOS Tjokroaminoto dengan warisan berjudul Islam dan Sosialisme. Ingatan merujuk seratus tahun lalu cukup memberi batas-batas perbedaan saat sosialisme dijelaskan beragam tokoh. Orang-orang mungkin mudah membaca penjelasan-penjelasan dalam tulisan-tulisan Tan Malaka, Soekarno, Mohammad Hatta, atau Soetan Sjahrir.
Kita pun masih mungkin melacak lagi arus pemikiran dan dakwah masa lalu dengan membuka halaman-halaman tulisan Tjokroaminoto. Pada suatu masa, ia memberi pengaruh besar dalam biografi politik Soekarno terbukti rajin berseru sosialisme sampai masa 1960-an. Begitu.
Bandung Mawardi
Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah