Tragedi kekerasan yang terjadi akibat memanasnya suasana Pilkada di Sampang, Madura, menjadi sorotan publik. Insiden yang terjadi selain belum siapnya menerima perbedaan dalam politik juga diakibatkan gagalnya para kandidat dalam mengorkestrasi politik, telah mencoreng demokrasi dan kemanusiaan.
Peristiwa ini telah mengakibatkan luka mendalam terhadap peradaban manusia dan demokrasi. Selain telah menghalangi hak politik warga negara juga menghilangkan hak hidup orang lain (Aziz Faiz, 18 November 2024).
Atas peristiwa ini, banyak gerakan moral muncul sebagai bentuk solidaritas dan memperbaiki iklim demokrasi di Sampang. Keluarga Mahasiswa Sampang Yogyakarta (KMSY) misalnya, menggelar aksi open donasi untuk membantu keluarga korban. Harapannya, aksi itu bisa menggugah kesadaran nasional untuk membantu keluarga korban, sekaligus memperbaiki kualitas demokrasi di Sampang.
Hal lain yang patut disayangkan adalah label negatif dan stigmatisasi terhadap warga Madura khususnya Sampang. Hal itu bisa dilihat dalam berita media arus utama dengan menjual click bait. Media menuliskan bahwa peristiwa kekerasan itu sebagai carok yang juga disebut sebagai tradisi masyarakat Madura yang masih dilestarikan.
Susur Galur Carok
Di masa lalu, carok dijadikan sebagai penyelesaian akhir atau sumber hukum atas sebuah permasalahan yang tidak menemukan jalan keluar. Ketika peradaban dunia menemukan kaidah-kaidah hukum yang adil, carok pun ditinggalkan. Lebih tepatnya, carok menjadi patologi sosial saat itu yang bertentangan dengan norma, hukum, dan kemanusiaan. Karena itulah carok tidak mungkin menjadi tradisi.
D. Zawawi Imron, penyair dan budayawan Madura menyatakan carok tidak sepenuhnya asli Madura melainkan dipengaruhi banyak faktor dari luar yang menjadi pendukungnya. Dan sejak lama carok sudah tidak ada di Madura. Ini karena mengacu ke beberapa hal. Pertama, tidak adanya perjanjian khusus antara tempat dan waktu. Kedua, tidak dilakukan duel satu lawan satu. Ketiga, tidak ada wasit atau Lit (istilah wasit di Madura tahun 1957).
Syaf Anton WR, budayawan Madura yang lain, menambahkan definisi carok sendiri telah mengalami banyak pergeseran dari substansi sebenarnya. Bahkan, pergeseran makna tersebut seakan dibiarkan oleh akademisi luar dan insan media. Hal itu yang membuat masyarakat tidak sepenuhnya memahami tentang carok. Sehingga tiap perkelahian yang mengakibatkan pertumpahan darah di Madura disebut sebagai carok.
Padahal untuk disebut carok, banyak unsur yang harus dipenuhi. Pertama, terdapat masalah krusial yang dapat menjadi alasan disepakatinya carok. Kedua, melakukan ritual khusus yang wajib dipenuhi yakni restu dan berpamitan kepada keluarga. Sehingga, pihak keluarga menggelar tahlilan dan doa bersama sebagai ritual memohon perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Ketiga, mereka yang akan melakukan carok harus diberi waktu cukup lama untuk berkelana, mencari guru, dan mendalami ilmu kanuragan. Keempat, carok tidak boleh menyisakan dendam dan harus diterima dengan legawa.
Dengan begitu, insiden kekerasan dalam Pilkada di Sampang itu tidak bisa disebut carok melainkan perkelahian biasa. Pengeroyokan seperti ini banyak ditemukan di luar Madura, seperti kasus klitih Jogja, pengeroyokan kepada rental mobil di Pati, dan tawuran para pemuda di Jakarta dan sepanjang jalan Semarang serta tempat lainnya.
Konstelasi Politik di Madura
Insiden berdarah ini merupakan kali pertama terjadi di Madura. Padahal sejak masa Orde Baru, kontestasi dan konstelasi politik di sana berjalan dengan aman. Saat itu, meski PPP bertanding melawan Golkar tak ada kerusuhan yang berarti. Kekerasan yang terjadi kali ini terjadi akibat residu politik dan orkestrasi pengelolaan politik yang gagal. Padahal para calonnya dari unsur kiai, hampir sama seperti seperti era Orba.
Kiai dan politik praktis di Madura memang tidak bisa dipisahkan. Dulu kiai tampil dalam gelanggang politik praktis karena alasan takut jemaah terpecah dan mengikuti partai sekuler, dengan memanfaatkan peran sentral Badan Silaturrahmi Ulama Pesantren Madura (Bassra). Kini beralasan karena ingin mengabdi dan membela masyarakat kecil dan terpinggirkan.
Namun dalam konstelasi politik Sampang, sosok kiai saja tidak cukup. Kiai membutuhkan para jagoan lokal (blater), meminjam istilah Rozaki. Di Sampang, kiai bukanlah satu-satunya agen penarik massa. Jadi, jika di suatu lokasi peran kiai tidak begitu kuat, posisi ini diambil alih oleh jagoan lokal yang juga memiliki pengaruh kuat dalam politik lokal Sampang (Yanwar Pribadi, 2021).
Para jagoan lokal inilah yang membentengi dan melanggengkan jalannya oligarki politik kiai. Mereka bisa menjadi patronase, pelayan, sekaligus aktor pepengaruh. Keterlibatan keduanya sama-sama tampil dan berarti karena merupakan tokoh berkarisma, wibawa, disegani, ditakuti dan dipercaya sebagai pemberi petunjuk, masukan, kritik, dan saran, baik dalam aspek budaya, ekonomi, keagamaan, maupun dalam politik. Dalam dinamika politik Sampang, mereka menjadi patron-client, dan di saat yang sama menjadi mekanisme popular control.
Meski sudah banyak masyarakat mencoba melawan oligarki politik kiai tersebut, misalnya melalui jalan perlawanan ikatan kerabat dan dalam organisasi masyarakat sipil (Abdur Rozaki, 2016), mereka tetap saja selalu menang.
Hari ini pelawanan kembali terjadi yang tergambar dalam pencalonan salah satu paslon: Cabub (01) Slamet Junaidi dan Cabub (02) Ahmad Mahfudz dan H Mohammad Bin Mu'afi Zaini dan pasangan H Abdullah Hidayat. Dua paslon ini representasi dari kiai dan juga representasi para jagoan lokal.
Sehingga konstelasi politik Sampang hari ini tidak bisa dibaca hanya sekadar dari dimensi partai, tokoh kiai, aktor jagoan lokal dan praktik ekonomi politik yang terselubung, tetapi juga kerentanan masyarakat yang dipengaruhi oleh ketakutan karena relasi simbolik dari semua aktor tersebut.
Atas semua dinamika itu, ketika setiap kontestan dan para pendukungnya beradu kuat, adu kelit, adu pesona dan bahkan anasir agama dieksploitasi sedemikian rupa untuk memengaruhi massa, kita tidak ingin bertumpahan darah terjadi lagi karena politik. Kita sudah pernah diingatkan Gus Dur bahwa di atas politik ada kemanusiaan. Kita juga pernah diingatkan Gus Dur melawan stigma negatif tentang SARA adalah kewajiban.
Agus Wedi
Penikmat kajian sosial dan Keagamaan