Dark
Light
Dark
Light

Pengarusutamaan Sistem Pendidikan Humanis

Pengarusutamaan Sistem Pendidikan Humanis

Kekerasan dengan segala bentuknya seolah menjadi ‘hantu’ bagi siapa saja, tak terkecuali bagi para pembelajar di semua level satuan pendidikan. Kekerasan dapat terjadi kapan pun, di mana pun, dan oleh serta kepada siapa pun. Dengan kata lain, kekerasan dapat dikatakan sebagai bahaya laten yang harus selalu diwaspadai bersama. 

Perilaku perundungan (bullying) di sekolah sebenarnya telah berlangsung lama, bukan hal baru. Perilaku ini sudah berulang selama puluhan tahun atau bahkan sudah berabad-abad. Seiring dengan kemajuan teknologi internet yang menghadirkan beragam platform media sosial, perilaku perundungan juga terjadi di ruang maya yang kerap disebut dengan cyberbullying. 

Menurut Nansel dan koleganya (2001), ada beberapa unsur yang menjadi faktor terjadinya perundungan (bullying), di antaranya perilaku agresif (aggressive behaviour) atau tindakan menyakiti yang diniatkan atau bertujuan oleh seorang atau sekelompok orang yang dilakukan terus menerus atau berulang kali dan sepanjang waktu dan ditujukan kepada seseorang yang tidak berdaya atau lemah. Selaras dengan definisi tersebut, bullying dapat berupa verbal semisal menghina seseorang atau membuat ancaman, psikologis seperti penyebaran rumor, pengucilan sosial (social ostracism), atau fisik seperti menendang atau memukul dan lainnya.

Jika kita melacak bagaimana penelitian dilakukan untuk mengukur seberapa jauh perilaku bullying di sekolah, maka kita dapat memperoleh gambaran. Fox dan Burstein (2010) dalam bukunya memaparkan bahwa penelitian tentang bullying di sekolah ternyata sudah diawali oleh negara-negara Skandinavia. Kementerian pendidikan Norwegia mendanai Dan Olweus untuk melakukan riset survei terhadap anak-anak sekolah di Norwegia pada awal tahun 1970-an. Hasil penelitiannya menemukan bahwa 1 dari 7 siswa terlibat dalam perilaku bullying baik sebagai korban maupun sebagai pelaku dan sering kali keduanya. Penelitian Olweus ini pun membuka banyak mata seluruh dunia terhadap perilaku bullying.

Riset dengan skala luas dan sistematis juga dilakukan di Amerika Serikat. Tahun 1998, the National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) menyeponsori riset survei tentang bullying terhadap 15,686 siswa kelas 6 hingga kelas 10. Hasilnya, 30 persen terlibat dalam perilaku bullying. Perilaku perundungan tentu berdampak serius baik secara individu maupun sosial. 

Sebuah riset yang dilakukan di Australia (1999) menemukan bahwa 6 persen dari anak laki-laki dan 9 persen anak perempuan lebih memilih tinggal di rumah untuk menghindari bullying. Sebuah studi terhadap lebih dari 16,000 siswa sekolah berusia 14-16 tahun di Finlandia menemukan hubungan signifikan korban perundungan, depresi, dan kehendak untuk bunuh diri. Anak perempuan korban perundungan 8 kali lebih besar dari anak laki-laki berkehendak untuk bunuh diri. 

Sejumlah temuan riset tersebut setidaknya memberikan gambaran jelas kepada kita bahwa betapa serius dan mengkhawatirkan perilaku perundungan di sekolah. Jika di luar negeri perilaku perundungan juga memunculkan kekhawatiran dan dampak tersendiri sehingga menjadi atensi serius dari para pemegang kebijakan, maka bagaimana gambaran perilaku perundungan (bullying) yang terjadi di Indonesia?

Peningkatan kasus kekerasan 

Peristiwa kekerasan dan perundungan sering kali menjadi pemberitaan media baik media konvensional seperti media cetak, televisi, dan radio maupun media berita online serta beragam platform media sosial sehingga viral dan tentunya menjadi perhatian publik secara luas. Karenanya, kita saat ini mengalami era keberlimpahan informasi.

Menurut data yang dirilis Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) sebagaimana diberitakan oleh Kompas.com (24/10), hingga September 2024 tercatat ada 293 kasus kekerasan di sekolah. Jenis kekerasan yang terjadi di sekolah didominasi oleh kekerasan seksual. Kekerasan seksual ini jumlahnya mencapai 42 persen, perundungan 31 persen, kekerasan fisik 10 persen, kekerasan psikis 11 persen, dan kebijakan yang mengandung kekerasan 6 persen.

Dalam kasus kekerasan seksual, korban terbanyak adalah perempuan, mencapai 78 persen. Sementara korban laki-laki hanya 22 persen. Dilihat dari sisi pelaku, laki-laki sangat dominan, yaitu 89 persen, sedangkan perempuan 11 persen. JPPI mengemukakan bahwa ada tren kenaikan kasus kekerasan meningkat setiap tahunnya. Jumlah kasus di tahun 2024 sudah melebihi total kasus di 2023, yakni 285 kasus.

Dari data tersebut, kita tentu saja merasa sangat prihatin dan miris. Institusi pendidikan yang diharapkan menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi proses pembelajaran justru menjadi tempat produksi dan reproduksi kekerasan dengan beragam jenis dan bentuknya. Lantas, apa yang dapat kita lakukan untuk menghentikan budaya kekerasan di lingkungan institusi pendidikan kita? Cukupkah hanya dengan dibuatnya norma hukum berupa peraturan perundang-undangan?

Kesadaran, komitmen, dan treatmen 

Fenomena tren kenaikan jumlah kasus kekerasan di sekolah tentu sudah seharusnya menjadi perhatian dan keprihatinan banyak pihak. Pemerintah dan para pemangku kepentingan di dunia pendidikan sudah saatnya berkolaborasi dan bersinergi untuk menyegah dan menghentikan segala jenis dan bentuk kekerasan yang terjadi di sekolah. 

Peran orang tua peserta didik juga penting diperhatikan. Para orang tua peserta didik tidak bisa sepenuhnya mengandalkan peran para guru dan pihak sekolah. Para orang tua juga harus peduli dan memberikan edukasi di lingkungan keluarga. Praktik pembelajaran di lingkungan institusi pendidikan harus selalu diawasi bersama. Pihak sekolah baik para pengambil kebijakan, para guru maupun para siswanya harus memiliki kesadaran bersama dan berkomitmen tinggi untuk menciptakan lingkungan sekolah yang sehat, aman, nyaman, dan kondusif. Pendek kata, tidak ada toleransi bagi segala jenis dan bentuk kekerasan di lingkungan sekolah.

Selain kesadaran dan komitmen, hal penting lainnya yang perlu dilakukan untuk menghentikan praktik perundungan di sekolah ialah dengan memberdayakan teman sebaya bagi korban. Mendapatkan dukungan moril dari teman sebaya bagi korban adalah penting. Dukungan teman sebaya setidaknya menjadi kekuatan bagi para korban perundungan. Dengan begitu, sikap empati terhadap para korban perundungan dibutuhkan. Dalam konteks inilah, penting dikembangkan keterampilan pertemanan (friendship skill) bagi para siswa atau pembelajar di lingkungan sekolah. 

Upaya penting lainnya ialah program pembangunan atau penguatan karakter bagi para siswa atau pembelajar di sekolah. Pembelajaran di sekolah harus dipahami dan dimaknai bukan sekadar transfer pengetahuan, namun bagaimana pendidikan karakter juga diwujudkan di lingkungan sekolah. Oleh karena itu, pendidikan di sekolah perlu mengedepankan prinsip-prinsip belajar bersama, belajar dengan mengalami, dan belajar dengan melakukan. 

Atensi serius terkait tingginya angka kekerasan dan perundungan di sekolah juga diberikan oleh pemerintah. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti berencana menambah jumlah guru Bimbingan Konseling (BK) di sekolah. Menurutnya hal ini penting sebagai salah satu upaya memberikan perhatian dan bimbingan kepada peserta didik. Apakah kebijakan ini akan memberikan dampak nyata dan signifikan? Tentu kita perlu menunggu bagaimana kebijakan tersebut direalisasikan. 

Problem kekerasan dan perundungan yang terjadi di sekolah sebenarnya bukan hanya menjadi atensi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, tetapi juga kementerian atau lembaga terkait lainnya seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Agama, dan Komisi Nasional Perlindungan Anak. Dengan kata lain, dibutuhkan kolaborasi dan multiperan banyak pihak.

Momentum hari internasional anti kekerasan, bullying dan cyberbullying di sekolah yang diperingati setiap tahunnya, menjadi momentum penting agar kita senantiasa menjadikan sekolah sebagai tempat yang kondusif bagi para pembelajar. Kita harus memastikan bahwa sekolah merupakan tempat belajar yang menyenangkan dan mengasyikkan, bukan menakutkan. Kemajuan sebuah bangsa meniscayakan kualitas sumber daya manusianya. Sebab, sumber daya manusia yang berkualitas tentunya membutuhkan proses dan lingkungan pendidikan yang humanis, bukan bengis dan sadis. 


 


$data['detail']->authorKontri->kontri

Hakim Syah
Dosen Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Palangka Raya. Wakil Ketua Lakpesdam PWNU Kalteng.

Home 2 Banner

Perspektif Lainnya

Home 1 Banner