Pagi itu sinar matahari menyelinap ke ruang tengah ketika aku tengah mengelap kacamata progresif dengan lensa Zeiss buatan Jerman. Kacamata ini baru, menggantikan yang lama yang sudah kusam dan lecet. Saat kain microfiber melintasi permukaan lensa aku pun teringat saran penjualnya, pria paruh baya yang sabar. “Perlakukan kacamata seperti matamu sendiri,” katanya, mengisyaratkan betapa pentingnya menjaga benda ini. Kerusakan kacamata sebelumnya cukup jadi pengingat hal ini.
Ketika aku mengusap lensa dengan hati-hati – terutama karena mengingat harga dan fungsinya-- tiba-tiba sebuah kesadaran muncul. Kacamata ini meski berguna, hanyalah imitasi dari keajaiban sejati: lensa mata manusia. Kacamata tak bisa membersihkan dirinya sendiri. Ia memerlukan upaya eksternal, sentuhan hati-hati, dan perhatian.
Sedangkan mata adalah lensa alami yang diciptakan Tuhan yang dilengkapi dengan mekanisme yang luar biasa sempurna. Setiap kedipan adalah sapuan lembut yang membersihkan permukaannya, air mata menjadi pelumas alami yang menjaga kesegarannya. Begitu indah dan penuh hikmah.
Aku teringat ucapan Kanjeng Nabi, “Allah itu indah dan mencintai keindahan.” Mata kita, salah satu bukti keindahan ciptaan-Nya yang harus dipelihara dengan rasa syukur. Penglihatanku, yang begitu berharga, terhubung dengan hati dan pemikiranku. Setiap pandangan bukan hanya tentang melihat dunia luar, tetapi juga mengamati cerminan batin sendiri.
Kacamata di tanganku ini simbol kelemahan manusia. Tanpa perawatan, ia akan menjadi buram. Persis seperti jiwa manusia yang akan kusam kalau jarang introspeksi. Jika kaca mata bisa lecet, hati pun bisa terkikis keegoisan dan kesibukan dunia. Mengelap kacamata tak berbeda dengan membersihkan jiwa —perlu kesabaran, perhatian, dan ketekunan. “Mata hati itu harus dijaga,” begitu kata Rumi, “karena di sanalah cahaya sejati menerangi kehidupan.”
Hikmah sufi ini membawa refleksi lebih dalam. Penglihatan sejati bukan hanya soal mata fisik melainkan juga bagaimana mata hati menyingkap hakikat di balik fenomena dunia. Menjaga kebeningan lensa hati perlu upaya yang sama seriusnya dengan menjaga pandangan fisik. Setiap lintasan pikiran buruk adalah noda. Setiap niat tulus, kilau cahaya.
Selesai mengelap kacamata, aku menatap keluar jendela menghirup pagi yang segar. Sinar matahari memantul di dedaunan basah, menciptakan bintik-bintik cahaya dan pelangi kecil. Dengan hati lapang dan merasa mendapatkan pemahaman baru, aku menyimpan kacamata baik-baik. Bertekad lebih menghargai dan merawat lensanya, termasuk lebih-lebih lensa jiwa. Seperti kacamata yang memerlukan sentuhan lembut, hati pun memerlukan lembutnya zikir dan penyucian jiwa.
Penglihatan bukan hanya kemampuan fisik melainkan juga manifestasi kesadaran dan rasa syukur. Kacamata hanya alat bantu dan pelajaran terbesar datang dari lensa alami mata kita, pemberian Tuhan. Penglihatan sejati ternyata yang dipenuhi ketulusan dan kekaguman kepada Sang Pencipta.
"Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), 'Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia; Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (S. Ali Imran: 191).
Farid Mustofa
Staf Pengajar Fakultas Filsafat UGM, mahasiswa S3 Universitas Leipzig, Jerman.