Pada akhir abad XIX dan awal abad XX, orang-orang terpelajar dan kalangan ningrat mendapat sebaran pengetahuan melalui Serat Sana Sunu gubahan Jasadipura II. Pujangga di Solo itu membahas beragam masalah hidup dalam jalinan Islam-Jawa dan kesadaran atas perubahan tatanan hidup gara-gara peradaban Barat. Penulisan serat berlatar Jawa berubah akibat politik-kolonial, pemodernan (kultur) keaksaraan, pesona pendidikan modern, dan kebimbangan keraton di peralihan zaman.
Kita mengingat (lagi) Serat Sana Sunu dalam pengajaran mengenai derajat. Jasadipura II memberi nasihat agar orang-orang mengerti peran berderajat sebagai orang kecil atau orang besar. Di situ, ada pengisahan derajat petani, santri, saudagar, dan abdi raja. Peran di dunia dengan perbedaan derajat menimbulkan keragaman tanggung jawab dan capaian.
Pengajaran hidup terkandung dalam serat silam: “Sifat priyayi berarti orang harus mengetrapkan sopan-santun dan berbicara secara teratur. Tidak semena-mena, berpakaian pantas, senang memberi makan. Berani dan berhati-hati, selalu membuat enak hati orang lain. Dia tidak enggan menolong dan memberikan apa saja tanpa pamrih” (Jumeiri Siti Rumidjah, Serat Sana Sunu: Jasadipura II, 2001). Pengandaian kemunculan manusia berderajat tinggi berpijak: sopan santun priyayi, suci seperti santri, jujur merujuk petani, dan mengerti perhitungan seperti saudagar.
Pada awal abad XX, Solo sebagai pusat (peradaban) Jawa mengalami pergolakan. Keinginan orang-orang berderajat tinggi dan terhormat makin menguat dengan naungan keraton dan pemerintah-kolonial. Di situ, ada gelagat-gelagat “baroe” dan “madjoe” menghendaki perubahan-perubahan agar tidak mutlak terjerat dalam jalinan feodalisme dan kolonialisme. Kaum elite terpelajar, kalangan politik revolusioner, dan saudagar melek risiko kapitalisme mengadakan beragam perkumpulan dan pembesaran ide-ide.
Kita mengetahui gelagat-gelagat perubahan di Solo (Jawa) dengan membaca Student Hidjo (1919) gubahan Marco Kartodikromo. Pendidikan modern dan gelar memungkinkan orang mendapat pekerjaan terhormat dan meraih kemakmuran. Orang bisa melanjutkan ke jenjang tinggi jika mula-mula berasal dari keluarga mapan, priyayi, atau direstui keraton. Derajat (lama dan baru) perlahan ditentukan pendidikan dan pekerjaan modern meski menimbulkan perdebatan-perdebatan dipengaruhi adat dan agama.
Marco Kartodikromo pernah hidup dan menggerakkan pers di Solo memberi pengisahan derajat manusia-manusia Jawa awa; abad XX di akhir novel: “Hidjo telah kawin dengan RA Woengoe dan hidoep senang sebagai djaksa di Djarak. Wardojo soedah djadi regent di Djarak, mengganti papanja. Diapoen hidoep roekoen di kaboepaten itoe dengan RA Biroe.” Derajat, tema besar di Jawa saat kekuasaan keraton perlahan pudar dan kolonialisme mendapat ancaman atau perlawanan.
Kini, kita membuat peringatan 100 tahun penerbitan novel berjudul Kirti Njunjung Drajat gubahan Jasawidagda. Dulu, novel berbahasa Jawa halus itu diterbitkan oleh Balai Pustaka, 1924. Novel terbaca dalam arus kesadaran “baroe” setelah pendirian Boedi Oetomo, Sarekat Islam, Indische Partij, Jong Java, dan lain-lain. Novel itu memasalahkan derajat. Novel dalam pelbagai pergolakan politik, sosial-kultural, ekonomi, identitas, dan pendidikan. Kita pun mengetahui beragam masalah ditanggungkan keraton dan pemerintah-kolonial.
Kirti Njunjung Drajat menjadi sambungan atas pengajaran-pengajaran terdapat dalam Serat Sana Sunu. Pembeda dalam pilihan bentuk pengisahan dan sasaran pembaca. Institusi penerbitan (kolonial) pun menjadi jaminan novel itu menjadi referensi atas pembentukan tata kehidupan di Jawa.
Darba, tokoh utama diceritakan Jasawidagda membentuk biografi sebagai manusia terpelajar sejak akhir abad XIX: “Serat-serat waosan prasasat boten wonten. Namung kala-kala manawi pinuju lek-lekan, Darba reroyoman kaliyan tangga-tangganipun, maos gegentosan serat ingkang mawi tembang, sami nyapupuh, wujuding serat kados: Serat Menak, Babad Mataram, saha almenak-almenak wedalan van Dorp ing Semarang.” Darba saat masih muda belajar melalui serat dan bacaan. Ia berlanjut menjadi terpelajar dan mendapat pekerjaan terhormat sebagai juru tulis. Konon, pekerjaan itu bakal mengantar pemerolehan derajat sebagai priyayi.
Jasawidagda justru meninggalkan “jalan” menuju priyayi (tradisional) dengan memilih pekerjaan baru berhubungan dengan kaum Eropa. Ia belajar teknik, bahasa, dan tata cara hidup baru. Semula, perdebatan sempat terjadi di keluarga dan tanggapan-tanggapan meremehkan dari pelbagai pihak. Darba memilih menganut paham “kemadjoean” dalam mendapatkan nafkah dan meraih derajat terhormat tanpa mutlak bereferensi keraton.
Darba mengatakan: “Mila makaten, awit para priyantun punika sami pinter-pinter, apesipun saged maos saha nyerat. Beda kaliyan para pandhe, sudagar, para tani, sasaminipun, punika kasagedanipun namung mligi tumrap padamelanipun. Mila inggih tansah kasor ing prabawa kaliyan ingkang sami dados priyantun.” Darba memahami keunggulan priyayi memiliki kemampuan baca-tulis. Kehormatan mereka sering tertinggi ketimbang kaum tani atau saudagar. Darba pun sadar bakal terjadi perubahan-perubahan besar di Jawa jika derajat terhormat tak lagi ditentukan garis keturunan atau darah. Pendidikan dan kecakapan teknik dalam arus abad XX bisa menggeser anutan kehidupan kepriyayian (lama).
Kita bisa menilik suasana di Solo melalui buku George D Larson (1990) berjudul Masa Menjelang Revolusi: Keraton dan Kehidupan di Surakarta 1912-1942. Sarekat Islam menjadi pemicu besar pergolakan di Solo. Pembentukan cabang Boedi Oetomo pun memberi pengaruh atas tata kehidupan berbeda dari abad-abad lalu. Kaum terpelajar, kalangan melek politik, saudagar, dan pendakwah berada dalam penentuan sikap-sikap dalam menanggapi pesona keraton (tradisional) dan corak pemerintah-kolonial sedang berubah. Di Solo, Darba memang tak mau lekas terlibat politik tapi mengerti derajat menjadi manusia bernafkah melalui pekerjaan-pekerjaan modern. Kemakmuran diperoleh digunakan berbagi dan turut menghidupi perkumpulan (Boedi Oetomo).
Pada abad XXI, Solo terus menjadi referensi dengan kemunculan tokoh-tokoh dalam jejaring kekuasaan, intelektual, dakwah, dan persaudagaran. Darba sekadar tokoh masa lalu dalam fiksi meski mengingatkan Solo sebagai ruang ramai persaingan dalam pembentukan derajat berdasarkan ilmu, uang, politik, agama, dan lain-lain. Kini, kita membuat peringatan 100 tahun Kirti Njunjung Drajat sambil menilai tokoh-tokoh asal Solo berderajat tinggi dalam lakon kekuasaan mutakhir. Tokoh-tokoh itu berada dalam arus peradaban Jawa selalu mengalami pergolakan dan kerumitan dalam mencipta keselarasan. Begitu.
Bandung Mawardi
Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah