Orang-orang mengingat masa 1960-an itu gegeran, konflik, sengketa, atau malapetaka. Tahun paling mendebarkan: 1965. Orang-orang sering merujuk jenderal dan partai politik. Ingatan-ingatan baku dan membesar melalui buku-buku pelajaran dan film-film direstui rezim Orde Baru. Kita justru ingin mengingat 1965 itu guru.
Gerson Poyk (1982) mengenang guru dan sejarah kelam: "Aku segera ingat akan Fatima, yang kawin dengan guru desa yang menjadi anggota PKI. Oh, Tuhan. Otakku sangat kecil dibandingkan dengan gunung-gunung Halmahera yang kudaki ini dan makin terasa kecil ketika berusaha untuk mengerti akan arti ilmu…" Ia sadar posisi guru dalam mendidik-mengajar dan konsekuensi politik.
Malapetaka 1965 membuat nasib guru amburadul. Pemicu tentu kiblat ideologi dan keterlibatan dalam organisasi-organisasi terhubung partai politik. Guru-guru di Indonesia terdampak gegeran 1965. Organisasi-organisasi guru mengalami nasib tak tentu dipengaruhi selera politik dan militer.
Di Jakarta, 25 Agustus 1966, sekian bulan setelah malapetaka, Estiko Suparjono menggubah puisi berjudul PGRI Berdjuang. Guru-guru tergabung dalam PGRI mengalami “perpecahan” dan “sengketa”. Organisasi besar itu melakukan “pembersihan” dan “pembenahan” setelah 1965. Puisi bertema PGRI atau guru turut merekam zaman.
Estiko Suparjono, nama tak tercatat dalam buku-buku bunga rampai sastra susunan HB Jassin atau Ajip Rosidi. Ia bukan pengarang kondang. Kita membaca guru dan situasi setelah 1965: aku tahu/ akan papa sengsaramu/ aku melihat dari dekat/ kemelaratanmu melekat/ aku menghajati sendiri/ duka derita ini/ akibat penghisapan bangsa sendiri/ dari tirani algodjo demokrasi/ penjeleweng ideologi/ pengatjau ekonomi. Kita ikut merasakan marah, kecewa, jengkel, dan duka ditanggung oleh penggubah puisi.
Larik-larik menjelaskan sejarah (terlalu) dekat disajikan: dengan uang dana revolusi/ hidup foja-foja diktator tirani/ bermandikan harta dan wanita/ istana dibangun dimana-mana/ hotel mewah patung mewah demikian djuga/ rakjat hidup penuh kemelaratan/ ribuan bergelandangan/ bernaung dibawah kolong djmebatan/ kurang sandang kurang pangan/ guru hidup penuh ragu/ gadji sebulan tjuma tjukup seminggu/ sepandjang hari dengar tangis anak tjutju/ pikiran katjau tak menentu. Ia mengisahkan nasib orang-orang terpuruk akibat kekuasaan dengan cap “revolusi belum selesai”. Mata sejarah mengarah elite-elite dituduh pesta uang. Guru masuk daftar “disengsarakan” oleh kekuasaan dan kisruh ekonomi.
Kita berlanjut membaca puisi bertahun 1966. Kata-kata dicantumkan dalam puisi sering “keras” dan “kasar”. Pembaca maklum dengan kondisi penggubah puisi. Ia berada dalam situasi belum pulih setelah malapetaka 1965. Sikap lekas dimunculkan untuk membedakan nasib: kini aku tahu/ kau tak mau lagi ditjumbu raju/ oleh orla jang tak tahu malu/ kau berdjuang/ menentang menerdjang/ menolak memberontak/ melawan kebathilan/ kedholiman/ kemaksiatan/ kemelaratan & kemiskinan/ tuk menegakkan keadilan & kebenaran. Guru-guru di kubu “kiri” mendapat penghukuman. Persekutuan politik dan militer menjadikan mereka “musuh” dan “momok”. Guru-guru di kubu berbeda mulai turut bergerak menuju pembentukan Orde Baru. Pada suatu masa, sesama guru beradu ideologi menghasilkan menang dan kalah.
Kita menuju bait terakhir: kau berdjuang bersama PGRI/ menumbangkan tirani jang kedji/ menuntut hakmu azasi/ penerus perdjuangan sutji ini/ semoga Tuhan meridhoi. PGR dalam penentuan nasib (1965-1966). PGRI terus bergerak sampai sekarang. PGRI itu mengingat guru-guru dalam “restu” rezim Orde Baru. Dulu, mereka tetap sulit menghindari politik. Guru-guru itu menunaikan perintah dan disodori larangan-larangan demi tegak dan kukuh Orde Baru.
Puisi mengingatkan Indonesia masa lalu ditentukan pengabdian dan risiko guru dalam jalinan kekuasaan, pendidikan, keluarga, dan lain-lain. Kita membaca dalam babak menegangkan sebelum Soeharto tampil sebagai penguasa selama puluhan tahun. Puisi ditulis tanpa ada kehendak ralat jika mengetahui cara dan pamrih Soeharto mendefinisikan guru atau PGRI untuk pembangunan nasional. Mereka pun diminta patuh dan tertib dalam perwujudan demokrasi Pancasila. Nasib guru dan organisasi gamblang terbaca berdasarkan pemilu-pemilu selama Orde Baru. Nasib mereka tak selesai dalam puisi.
Pada masa berbeda, lakon guru terus ditentukan politik. Soeharto tampil dengan segala janji atas nasib guru tapi melakukan “pematuhan” dalam sikap politik. Guru diharapkan tak usah “main-main” dengan kritik atau protes. Keluhan bermunculan meski pemerintah berlagak memberi perhatian dengan gaji, beras, atau pensiun. Guru-guru bekerja di naungan pemerintah sadar dengan seribu tanda seru penguasa: perintah dan larangan. Di kalangan guru partikelir, nasib (makin) tak menjanjikan jika berurusan persekongkolan modal dan kekuasaan. Mereka tetap dalam tatapan politik-penguasa atas nama “kontrol”, “tertib”, dan “taat”. Kita mengetahui gejala-gejala itu saat membaca novel Sang Guru (Gerson Poyk) dan Laskar Pelangi (Andrea Hirata).
Guru tetap dalam titian puisi berkaitan rezim bagi para pembaca puisi-puisi gubahan Taufiq Ismail dan Rendra. Guru dalam dilema-dilema pendidikan dan pengajaran bersinggungan kekuasaan, pengetahuan, kesejahteraan, dan lain-lain. Guru mendapat sindiran dan kritik bila gagal memenuhi peran. Pada masa setelah malapetaka 1965, lakon guru dalam “bentukan” rezim Orde Baru, guru biasa mendapat pendefinisian berdasarkan organisasi atau “kepasrahan” dalam agenda-agenda politik dibakukan oleh penguasa. Janji “terindah” pemerintah Orde Baru pernah mewujud dalam pemilihan “guru teladan”, sejak 1972. Konon, kebijakan itu dimaksudkan memunculkan guru-guru “wajib” menjadi contoh di seantero Indonesia. Pada masa berbeda, sebutan atau predikat diberikan kepada guru biasa berbeda sesuai kemauan penguasa dan situasi pendidikan dalam arus global.
Pada masa awal rezim Prabowo-Gibran, kita pun lekas mendapat berita-berita mengenai kemauan presiden dan menteri dalam meningkatkan mutu guru. Peningkatan terjadi pula untuk “kesejahteraan”. Kita belum mengetahui perhitungan politik dan khasiat kebijakan-kebijakan bakal diwujudkan dalam babak awal berkuasa. Guru-guru tampak mendapat perhatian besar meski masalah-masalah (warisan) rumit atas keamburadulan pendidikan-pengajaran belum sanggup dirampungkan dengan terang. Begitu.
Bandung Mawardi
Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah