Manusia lahir diasuh huruf-huruf. Konon, ada ratusan atau ribuan huruf di dunia. Mereka menampilkan rupa dan nada berbeda. Huruf-huruf itu membuat manusia bertumbuh dengan cepat atau lambat. Di gendongan ibu, huruf-huruf itu mewujud sebagai lagu, omongan, atau doa. Bermula dari mulut ibu, huruf-huruf membelai dalam peristiwa-peristiwa keseharian.
Huruf-huruf terus berdatangan dari segala arah dan orang. Manusia kecil itu mengalami hari-hari untuk mengerti meski perlahan dan tak semua. Pada masa bisa berjalan dan bermain, huruf-huruf tampil memberi ketakjuban dan ketakutan.
Bocah itu bernama Fido. Ia diceritakan berusia 8 tahun sebagai murid kelas 2 SD. Fido belum bisa membaca, sulit menulis, dan gagal berhitung. Pada saat kelas 1, si bocah sudah mengalami masalah: “Fido bingung dengan tulisan sangat sederhana. Tulisan ‘susu’ selalu ia tulis ‘usus’… Menghadapi kenyataan itu, Fido berpikir dirinya sungguh anak bodoh, yang tidak tahu apa-apa sama sekali.” Di sekolah, ia biasa dipanggil “Fido, si buta huruf”.
Kita sedang membaca buku cerita berjudul Fido Bisa Membaca (2003) gubahan Won, Yoo-Soon. Cerita mengharukan dan membuat kita insaf masalah bocah di hadapan huruf-huruf. Di kelas, Fido terbukti sulit membaca dan “mustahil” menjawab soal-soal matematika. Ia menanggung derita tapi masih sanggup “menanggulangi” nasib dengan bermain dan jahil.
Guru kadang iba dengan Fido. Iba mudah tergantikan heran dan kesal. Fido sering gagal meski sudah diajari dengan cara-cara sederhana. Huruf-huruf mungkin kutukan bagi Fido, bocah tanpa asuhan bapak-ibu. Di kota, ia hidup bersama nenek (70) tahun dalam kemiskinan.
Pada suatu hari, guru memerintah: “Fido, coba kamu latihan membaca buku dengan nenekmu di rumah.” Si bocah menundukkan kepala. Di hati, ia bilang: “Nenek juga buta huruf.”
Hari-hari tak selalu buruk. Kelas itu kedatangan murid baru bernama Tina. Fido mendapat teman duduk memiliki perhatian, kebaikan, dan kesabaran. Pada hari penentuan, Tina menawarkan buku cerita kepada Fido. Teman-teman mengumumkan dan mengejek bahwa Fido tak bisa baca. Tawaran kebaikan justru menimbulkan keributan tapi memberi kesan untuk perubahan.
Tina mirip malaikat. Pada hari berbeda, ia mengajukan buku berisi gambar-gambar dan tulisan-tulisan besar. Ia membaca tulisan, berharap Fido mengikuti. Fido memilih menutup mulut meski ada keinginan mengikuti kata-kata dibaca Tina. Usaha belum rampung. Tina berkata: “Kalau tidak mau ikut membaca, dengarkan saja. Adikku juga begitu. Lama-lama pasti bisa membaca.” Tindakan penting dilakukan Fido: menaruh tangan di buku pemberian Tina. Tindakan mirip ibadah kecil sebelum menjadi pembaca.
Ibadah terus terselenggara bersama Tina. Kita mengutip dari buku berasal dari Korea Selatan: “Sejak itu, Tina selalu membawa buku cerita dan membacakannya untuk Fido pada jam istirahat. Fido mendengarkannya dan mulai ikut membaca. Dengan cara itu, selama sebulan, buku-buku yang telah dibacakan Tina untuk Fido berjumlah 10 buku. Fido selalu membawa pulang buku yang dipinjamkan Tina…” Hidup pun berubah. Fido perlahan akrab dan mengerti huruf-huruf. Ia bisa menjadi pembaca dan membuat tulisan seperti diperintahkan guru.
Kita berpindah alamat ke Afghanistan. Di sana, ada bocah bernama Hassan, lahir dengan bibir sumbing dan “tersisih”. Ia memiliki majikan baik. Hidup tak terlalu menderita. Anak majikan bernama Amir. Dua bocah (Amir dan Hassan) biasa bersama berbeda predikat dan nasib.
Di buku berjudul The Kite Runner (2006) garapan Khaled Hosseini, kita mendapatkan peristiwa mengesankan: “Kami duduk bersila, sinar matahari dan bayangan daun-daun pohon delima menari-nari di wajah Hassan yang tanpa sadar mencabuti rumput dari tanah saat aku membacakan cerita yang tak bisa dibacanya sendiri.
Hassan akan menjadi seorang buta huruf seperti Ali dan sebagian besar orang Hazara sudah diputuskan pada menit saat dia dilahirkan… Tapi meskipun dia buta huruf, atau mungkin karena dia buta huruf, Hassan terpikat pada misteri kata-kata, tergoda oleh dunia rahasia yang terlarang untuknya.”
Dua bocah berada di alam. Amir mengerti dan “memiliki” huruf-huruf menjadi cerita. Ia menerima pendidikan dan pengajaran untuk mengerti dunia dan menempuh jalan keaksaraan. Hassan dengan nasib “buru” tapi sanggup mengagumi huruf-huruf dan cerita dengan telinga saat menikmati pembacaan oleh Amir.
Si Amir itu baik sebagai pembaca buku untuk Hassan. Kebaikan diselingi “kenakalan”. Khaled Hosseini menguak tokoh: “Bagian kesukaanku saat membaca untuk Hassan adalah ketika kami mendapatkan sebuah kata sulit yang belum pernah didengarnya. Aku mengolok-oloknya, mengejek ketidaktahuannya.”
Kenakalan berlanjut dengan keberanian sebagai pencerita: ”Aku sedang membaca untuknya, dan tiba-tiba aku memutuskan berhenti membacakan kisah yang tertulis di buku. Aku berpura-pura tetap membaca, tetap membalik halaman buku, tapi aku tidak membaca tulisan dalam buku itu. Aku mengambil alih cerita itu dan menceritakan karanganku sendiri. Hassan, tentu saja tidak menyadarinya. Baginya, kata-kata yang tertulis di halaman buku hanyalah serangkaian kode acak, tidak terpecahkan, misterius. Kata-kata adalah pintu rahasia dan akulah pemegang kuncinya.”
Afghanistan masa 1970-an memiliki lakon mendebarkan dalam politik dan agama. Lakon itu disempurnakan kehadiran Amir dan Hassan. Jalinan dalam kenikmatan cerita membuat mereka berkelana jauh dengan imajinasi meski berbeda peran. Hassan bukan pembaca. Amir mahir membaca, berlanjut sebagai penulis cerita.
Di India, perempuan dan huruf dalam album penderitaan atas nama pernikahan, adat, kemiskinan, dan pekerjaan. Perempuan itu bernama Koly, mengalami pernikahan buruk, cepat menjadi janda. Gloria Whelan dalam novel berjudul Homeless Bird (2012) mengisahkan: “Salah satu buku sekolah Hari masih tergeletak di atas peti. Tak seorang pun yang menyentuhnya, dan hari demi hari buku itu tertutup oleh debu. Meskipun aku tidak bisa membaca, kadang-kadang aku membuka buku itu dan memandangi kata-kata di sana. Mereka adalah kata-kata yang telah diketahui Hari.” Ia terlalu menginginkan buku tapi sadar harus minta izin kepada keluarga Hari, berharap tidak mendapat kecaman atau kemarahan.
Nasib perlahan berubah atas kebaikan bapak mertua. Buku itu boleh dimiliki Koly. Bapak mertua malah mau mengajari agar Koly bisa membaca. Hari-hari tak mutlak derita demi bisa membaca buku: “Dia menunjukkan padaku setiap kata mengandung sepaket huruf. Dia pandai menggunakan pensil. Untuk setiap huruf, dia menggambar beberapa makhluk: seekor elang atau seekor babi. Dan, mencetak namanya di bawah huruf. Saat aku sudah memahami semua huruf, dia menggambar sebuah rel kereta api. Mesinnya mengeluarkan beberapa kata, sehingga sekarang aku memahami kalimat. Aku mempelajari rahasia si buku, halaman demi halaman.”
Ikhtiar menjadi pembaca memerlukan kebaikan dan keajaiban. Di hadapan buku, peran pembaca tak sekadar berurusan huruf. Ia dalam pengalaman dan pemaknaan. Buku-buku apik membuat terikat dan teringat. Gairah sebagai pembaca bisa terlunaskan. Kemampuan mengubah nasib menjadi pembaca dipengaruhi adat, agama, politik, dan sekolah. Kita mengerti keberhasilan menjadi pembaca belum “kemenangan” mutlak. Pembaca justru selalu dalam pertarungan untuk “hidup” dan “mati” dengan bacaan-bacaan. Begitu.
=============
Baca esai lainnya dari BANDUNG MAWARDI
Bandung Mawardi
Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah