“…’Tidak’ bukan hanya kata, tapi merupakan kalimat utuh. ‘Tidak’ memerlukan penjelasan lebih lanjut. Entah wanita itu kenalan, teman, pacar, pelacur, atau bahkan istri sendiri. Tidak berarti Tidak. Jika seseorang sudah berkata demikian, maka berhentilah!”
Ini adalah kalimat yang disampaikan Deepak Sehgal, salah satu tokoh dalam film Pink (2016) garapan sutradara Aniruddha Roy Chowdhury. Film drama berlatar sosial India ini berkisah penyebab pemerkosaan yang dilihat dari dua sisi; pelaku dan korban.
Korban, dalam case ini adalah perempuan, kerap disalahkan dalam banyak kasus kekerasan berbasis gender (KBG). Entah itu pandangan masyarakat maupun hukum, perempuan acap kali menjadi korban yang justru mendapat stigma negatif.
Alasan pun beragam. Perempuan sebagai korban KGK senantiasa dikritik karena pakaian yang dikenakannya, gerak tubuh, hingga cara bicara yang dianggap sebagai pemicu sekaligus tanda persetujuan.
Film Pink (2016) menyebut kondisi itu sebagai kode-kode moralitas zaman dahulu yang masih banyak diyakini oleh laki-laki dengan beragam latar belakang. Perempuan yang pergi bersama pria seorang diri, lalu pergi ke penginapan bersama, dimaknai sebagai kesediaan untuk diperlakukan dengan tidak pantas. Perempuan yang mengobrol dengan pria sambil tersenyum atau menyentuh akan dianggap sebagai “kode”. Perempuan yang minum dengan pria akan diartikan sebagai: kau mau tidur denganku. Pandangan-pandangan semacam ini berhasil digambarkan dalam film Pink sebagai alasan terjadinya percobaan pemerkosaan.
Alasan pendukung selain masih maraknya keyakinan akan kode-kode moralitas yang tidak adil, adalah masih minimnya pemahaman pada konsep consent atau persetujuan. Consent sering diartikan hanya berupa tanda-tanda tak jelas dan sebatas anggukan atau kata “iya”. Padahal, suatu hal disebut consent jika melibatkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu mencakup freely given, diberikan tanpa paksaan atau ancaman. Reversible, dapat dibatalkan kapan saja. Informed, semua informasi disampaikan secara jelas, terbuka, dan penuh kejujuran. Enthusiastic, semua pihak harus antusias dalam melakukannya.
Sayangnya, —seperti yang digambarkan dalam film Pink—, pemahaman masyarakat dalam memahami consent belum sepenuhnya berlaku. Bahkan, kata “tidak” tetap sering diyakini sebagai setuju. Kondisi itu semakin menyuburkan terjadinya angka kekerasan seksual.
Catatan tahunan Komnas Perempuan dari tahun ke tahun menunjukkan angka ratusan ribu kekerasan berbasis gender (KBG). Angka bisa berlipat dalam realitas sesungguhnya. KGB merupakan kejahatan serupa gunung es, lapisan tak terlihat lebih besar dari yang terlihat. Kita meyakini, masih banyak kasus-kasus yang belum tercatat.
Edukasi sejak anak usia dini soal pentingnya memahami konsep consent yang tepat, dirasa bisa menjadi salah satu alternatif di tengah usulan berupa kebijakan dan kampanye yang masif. Pengenalan persetujuan yang benar pada anak yang dilakukan secara terus menerus, tentu akan membawa perubahan pada cara pandang masyarakat di masa depan. The Golden Goose (2003) gubahan Dick King Smith, adalah salah satu buku anak yang bisa dijadikan sebagai daftar bacaan pendukung pemutus KBG dalam masyarakat.
The Golden Goose menceritakan seorang petani bernama Jhon Skint. Kehidupan John yang awalnya miskin berubah menjadi kaya setelah memiliki angsa emas. Kisah memuat beragam nilai, dari saling berbagi, kesabaran, kerja keras, saling menyayangi, dan kepercayaan. Nilai-nilai yang didendangkan mengandung ikhtiar bagaimana consent diajarkan dengan cara pengisahan.
Diceritakan, Sir Ottebury, seorang peneliti alam dan penyair diberitahu oleh petugas pos bahwa di rumah John ada angsa emas. Awalnya, Jhon tidak mau menunjukkan angsanya karena khawatir berbondong-bondong orang akan datang ke rumahnya, namun akhirnya ia memberitahu Ottebury dengan syarat kebenaran itu tidak boleh dikatakan pada siapapun.
Singkat cerita, Sir Ottebury berniat untuk mengabadikan angsa emas tersebut menjadi sebuah film dokumenter. Menurut data yang ia temukan, dalam sejarah Romawi, unggas emas lambat laun akan berubah menjadi putih. Ia tidak ingin kehilangan bukti keberadaan hewan langka tersebut. Sebelum merealisasikan keinginannya, Ottebury kembali menemui John untuk menanyakan pendapatnya soal rencana pembuatan film. Jika diperbolehkan, berarti keberanan soal angsa emas akan diketahui oleh dua orang, juru kamera dan juru rekam suara.
Awalnya, John menolak karena ia tidak ingin keberadaan angsa emasnya diketahui oleh banyak orang. Namun, setelah Otterbury menjelaskan maksud tujuannya, memberitahukan dampak positif dan negatifnya tanpa tendensi memaksa apalagi memanipulasi, John menyetujuinya. “Tapi John, hanya jika Anda mengizinkan saya untuk memfilmkannya, kita bisa memiliki dokumen tentangnya untuk selamanya.”
Kata “jika kau mengizinkan” diucapkan berkali-kali, disertai pertimbangan-pertimbangan yang mengiringinya mengajarkan pembaca soal persetujuan yang tidak berhenti hanya pada kata “iya” atau “tidak”. Keputusan melibatkan beberapa persyaratan, diantaranya freely given, reversible, informed, dan enthusiastic. Selama melakukan percakapan dengan John mengenai proyek penggarapan filmnya, Otterbury tidak melalukan paksaan atau ancaman, semua informasi disampaikan secara jelas, terbuka, dan penuh kejujuran, dan hingga di akhir cerita, semua pihak antusias dalam melakukannya.
Kisah dalam The Golden Goose sebenarnya tidak menuntun pembaca untuk memahami consent secara tekstual atau menggurui, tetapi menggunakan kontekstual. Anak-anak akan lekas tahu bahwa segala hal yang melibatkan orang lain memerlukan kompromi dan kesadaran penuh. Pemahaman makna consent didapat lewat imajinasi yang lebih lekat dengan ingatan. Anak tidak sekedar menghafal, tapi menghayatinya.
Yulita Putri
Bergiat di Bilik Literasi dan Kamar Kata Karanganyar.