Siapa pun yang pernah mendengar lagu “Gali Gongli” dari Virgiawan Listanto atau nama populernya: Iwan Fals, tentu mendapatkan bayangan betapa gelap kehidupan tokoh dalam lagu tersebut. Bukan tidak mungkin sosok anak karbitan – yang tak punya masa depan, ini masih berkeliaran sampai sekarang.
Siapakah Gali Gongli? Dalam kanal Youtube-nya, Iwanfalsmusica, Iwan menjelaskan bahwa Gali Gongli adalah sebutan untuk anak-anak yang lahir atau dibesarkan di lokalisasi. “Gali Gongli” bisa anak siapa saja. Dia adalah anak yang dibuang dan dibesarkan di kompleks lokalisasi.
Misalnya ketika seorang perempuan yang hamil di luar nikah memilih untuk menaruh bayinya di jalan atau di warung. Itu dilakukannya karena dia belum siap membesarkan bayi sedangkan pacarnya tidak mau bertanggung jawab dan menghilang.
Mungkin juga dia, anak “Gongli” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti gadis yang melacurkan dirinya untuk kesenangan semata tanpa memerlukan uang bayaran. Setelah lahir, dia pun dicampakkan.
Anak malang ini kemudian diurus dan dibesarkan oleh perempuan pekerja seks komersial yang hampir tiap malam menerima belaian ribuan pria hidung belang. Dia pun tidak tahu siapa ibunya, juga bapaknya.
Besar di lingkungan yang, seperti yang ditulis Iwan dalam liriknya “yang namanya dosa mungkin tak bicara” mereka tumbuh. Dalam asuhan yang seperti itu tak aneh bila kelak mereka menggumuli dunia yang lazim di lingkungan tersebut.
“Gali Gongli” merupakan satu dari sepuluh lagu dalam album “Aku Sayang Kamu” – yang dirilis pada 1 Januari 1986. Meski telah berusia lebih dari tiga dekade, toh lirik lagu ini masih sangat relevan hingga saat ini - sekali pun ketika zaman telah berubah.
Dalam video itu – yang diunggah pada 2021, Iwan mengutip data dari Kementerian Sosial pada 2015, yang menyebutkan setidaknya terdapat 168 tempat lokalisasi dengan jumlah pekerja seks komersial yang mencapai 62.438 orang.
Belakangan kementerian ini terus melakukan penutupan lokalisasi. Jumlahnya pun terus menyusut. Toh begitu munculnya sosok seperti Gali Gongli bukannya tidak pernah surut. Mereka tetap saja ada. Termasuk di zaman teknologi yang telah teramat maju seperti sekarang.
“Gali Gongli” di Masa Kini
Akar dari fenomena “Gali Gongli” masa kini tetap sama, yakni dipicu dari faktor ekonomi seperti kemiskinan, lalu minimnya pengetahuan, dan seks di luar nikah. Gali Gongli saat ini bukan lagi mereka yang lahir dan dibesarkan di lokalisasi namun justru mereka terjerumus dalam bisnis prostitusi.
Mengacu dari data pusiknas.polri bahwa sejak 2020, Polri menindak 221 anak yang menjadi korban pornografi, prostitusi, dan eksploitasi seksual di seluruh wilayah Indonesia. Para korban umumnya berusia dari 0 hingga 17 tahun, laki-laki maupun perempuan.
Data itu didapat dari laporan yang masuk ke EMP Pusiknas Bareskrim Polri pada 1 Januari 2020 hingga 25 September 2023. Data tersebut diakses pada Jumat 29 September 2023. Data menyebutkan 17, 13 persen dari jumlah total korban pornografi, pornoaksi, dan eksploitasi seksual itu masih berusia di bawah 17 tahun.
Terbaru, pada bulan Juli 2024 menurut laporan PPATK dan Komisi Perlindungan Anak menemukan fakta prostitusi daring yang melibatkan sekitar 24.000 anak dengan rentang usia 10-18 tahun. Tercatat ada sekitar 130.000 transaksi diduga terkait prostitusi daring senilai Rp127, 3 miliar.
Merujuk pada data itu, antisipasinya diperlukan edukasi tentang bahayanya seks di luar nikah, tentang kewaspadaan di tengah lingkungannya, membuka komunikasi dengan melibatkan para rohaniwan; ulama, pastur, bikhu, untuk mendidik sisi religiusitasnya.
Tentu hal ini dapat semakin optimal bila pemerintah juga ikut terlibat untuk mendidik, menafkahi, dan mengarahkan mereka agar mendapat bimbingan yang tepat. Selain itu, kehati-hatian pada teknologi menjadi keharusan. Teknologi kerap disalahgunakan untuk keperluan tidak bermanfaat
Sejatinya “Gali Gongli” yang menjadi sebuah kritik sosial, 38 tahun silam, tetap relevan sampai kini. Terkait banyaknya kasus anak muda yang terjerumus perzinahan akibat pergaulan bebas yang kemudian dianggap wajar. Padahal semestinya harus dicegah dengan aturan tegas maupun sanksi agar tidak terjadi terulang kembali kasus seks diluar nikah, dan bahkan hamil diluar nikah.
Walhasil, kritik sosial Iwan Fals tentang fenomena Gali Gongli merupakan pekerjaan rumah bagi semua pihak. Sebab sangat tidak fair jika menyoroti Gali Gongli hanya berkutat pada persoalan halal haram saja, sedangkan faktor sosial, peningkatan pendidikan, sisi religiusnya diabaikan.
Satu hal yang sangat penting diperhatikan adalah dengan terminimalisirnya Gali Gongli, otomatis akan mudah terciptanya keluarga yang bersih, baik dan harmonis. Sebab dengan melakukan kebaikan, biasanya akan lahir generasi yang baik pula.