Kucing masuk dalam lakon kekuasaan. Pada hari bersejarah, 20 Oktober 2024, Prabowo Subianto resmi menjadi Presiden RI. Orang-orang tak sekadar mengikuti berita dan cerita mengenai Prabowo. Hari istimewa pun dialami oleh kucing berinisial BK. Kucing itu dipelihara Prabowo.
Di hari-hari ramai berita politik, kucing itu mendapat perhatian. Kucing tak cerewet tapi meredakan ketegangan-ketegangan bagi orang terlalu serius membahasakan politik. Di telinga, kucing itu bersuara: memberi kemerduan, bukan suara sumbang kekuasaan. Pendengar biasa membuat terjemahan atas keinginan-keinginan kucing. Binatang meminta kesabaran dan kepekaan manusia dalam jalinan “misterius”.
Kucing berubah nasib: dari jalanan menuju Istana Kepresidenan. Pada suatu hari, kucing liar datang ke rumah Prabowo di Jalan Kertanegara, Jakarta. Kucing itu dipelihara Prabowo dengan taburan kasih. Di Kompas, 27 Oktober 2024, kita membaca berita: “Terkini, BK sekaligus menjadi kucing pertama yang diperbolehkan bertandang hingga ke dalam Istana Merdeka.” Di situ, kucing tak mendapat jabatan. Ia sekadar bertambah terhormat dan memberi perubahan suasana kekuasaan.
Di tempat berbeda, kucing memicu pengisahan panjang untuk terbit menjadi buku. Kucing tak berada di ruang kekuasaan tapi ruang pengetahuan atau ruang keaksaraan. Kucing itu bernama Dewey, berada di Amerika Serikat. Vicki M dan Bret Witter mengisahkan dalam buku berjudul Dewey (2009). Kucing tak membaca buku-buku di perpustakaan. Ia memberi kehangatan, kasih, dan ketenangan bagi para pengunjung dan penikmat buku di perpustakaan. Kucing bukan masuk daftar koleksi perpustakaan. Ia menjadi penghuni setelah penemuan dan tata cara birokrasi diurusi dengan rapi.
Pengisahan kucing kadang menakjubkan ketimbang artis, pengusaha, atau penguasa. Di buku mengundang keharuan, kita mendapat undangan memuliakan kucing: “Berapa banyak kehidupan dapat disentuh oleh seekor kucing? Bagaimana mungkin seekor kucing buangan mengubah sebuah perpustakaan kecil menjadi tempat pertemuan dan daya tarik wisata, memberi inspirasi kepada penduduk di sebuah kota klasik Amerika Serikat, mempersatukan warga di seluruh kawasan, dan pelan-pelan menjadi terkenal di seluruh dunia?” Kucing itu bernama Dewey Readmore Books, beradi di Perpustakaan Umum Spencer, Iowa, Amerika Serikat.
Semua bermula dari hari dingin: 18 Januari 1988. Di kotak pengembalian buku, pustakawan tak cuma menemukan buku-buku. Suara terdengar menimbulkan penasaran. Di kotak, ia menemuka anak kucing dalam kondisi merana. Deskripsi: “Anak kucing itu mendekam di pojok kiri kotak, kepalanya menunduk, kakinya dilipat, dan berusaha kelihat mengecil. Buku-buku menumpuk kacau balau di bagian atas kotak, sedikit menyembunyikan anak kucing.” Pemandangan membuat sedih. Anak kucing itu masih hidup tapi bernasib buruk.
Pustakawan ingin hari itu bukan derita atau kematian. Ia terpanggil memberi kasih-penghidupan: “Aku mengangkat sebuah buku dengan hati-hati supaya dapat melihatnya lebih jelas. Anak kucing itu menandangku, pelan-pelan dengan muram. Kemudian, dia menundukkan kepala dan menyusupkannya ke celah-celah yang kotor. Dia tidak mencoba kelihatan galak. Dia tidak mencoba bersembunyi. Kurasa dia juga tidak takut.” Pengharapan hidup mulai tampak meski dingin telah memberi siksa.
Babak-babak perawatan dan sembuh terselenggara berbarengan keinginan untuk menjadikan kucing itu penghuni di perpustakaan. Kucing tak boleh terlantar. Ia berada dalam pengasuhan bersama, diperkenankan hidup bersama buku-buku membisu. Di lorong dan rak, ia dijanjikan memiliki lakon hidup berbeda ketimbang berkeliaran tak keruan di jalanan. Kucing seperti mendapat takdir berjumpa buku-buku. Kucing pun bertemu para pengunjung dan pembaca untuk mendapat sapaan, belaian, dan cerita.
Pengisahan kucing di ruang pengetahuan atau keaksaraan itu mencipta sejarah bersama. Penduduk di kota merasa memiliki dan berhak memberi kasih. Kucing dalam janji kehidupan meski ia pernah melakukan pengembaraan dan “marah”. Kucing sempat “menghilang”. Ia memang bukan pembaca buku tapi memerlukan “halaman-halaman” pengisahan hidup tak selalu dalam dikte-dikte manusia. Ia kadang menuruti naluri. Kucing dalam kerancuan kodrat saat mendapat kasih dan kemungkinan “bebas”.
Pada 1974, anak-anak di Indonesia mendapat buku cerita berjudul Kucing-Kucing yang Datang Kembali garapan Margaret Muth Alibasah dan Andreas Affandi. Cerita seru dengan ilustrasi-ilustrasi apik. Kita diajak mengenali kucing-kucing di tempat berbeda, bukan istana atau perpustakaan. Kutipan mengenai lakon kehidupan kucing bernama Tombo dan keluarga. Kucing istimewa beradarkan tempat dan siasat hidup: “Tombo dan keluarganya tinggal di sebuah hotel. Mereka tinggal di dapur yang terbesar, terhangat, dan termewah di seluruh kota. Mereka makan ikan yang paling enak, daging yang paling empuk, minum susu yang paling kental.”
Mereka dalam keberuntungan. Kucing-kucing di jalanan tentu bernasib beda. Mereka dianggap bahagia ketimbang kucing-kucing biasa dipelihara di rumah. Sukacita milik mereka: “Semua orang yang bekerja di dapur atau yang setiap hari datang berkunjung ke dapur: pencuci piring, tukang iris, juru masak, para pelayan, bahkan kepala restoran itu senang dan saya kepada kucing-kucing itu.” Kucing-kucing dalam kemanjaan dan kemewahan. Pada suatu saat, mereka mengerti kesulitan hidup bila segala hal tak selalu tersediah dan kasih tak selalu diberikan kepada mereka.
Pada suatu hari, kita mungkin bakal mendapat buku kecil atau film dokumenter mengenai kucing dan kekuasaan. BK tak sekadar kucing istimewa bagi Prabowo. Ia telah tampil di tatapan publik dan memasuki ruang-ruang (kekuasaan) sering menimbulkan berita-berita besar, panas, dan ruwet. Prabowo dan BK mungkin sudah memiliki mufakat “bahasa” dalam usaha mengerti segala gerak, kemauan, suara, dan dampak. Kita menjadi penonton tergoda mengikuti seri cerita mengenai kucing dan penguasa.
Pada babak awal kekuasaan Prabowo, kucing itu bakal memikat jutaan pasang mata saat bergerak atau memilih tempat terbaik untuk memberi tatapan mata lembut. Ia mungkin berada di depan rak buku atau duduk di atas rak buku. Pemandangan terduga estetis. Kita pun mengandaikan ia berada di sebelah buku terbuka sedang dibaca Prabowo. Kucing mencipta cerita minta diabadikan, dari hari ke hari. Ia pun memiliki pesona meski tak harus bersaing dengan Prabowo. Kucing tak berpolitik tapi memberi sentuhan dan citarasa berbeda saat kecerewetan politik bersumber dari ruang kekuasaan di Jakarta. Begitu.
Bandung Mawardi
Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah